Mohon tunggu...
Khayra
Khayra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

menulis adalah cara terbaik mengungkapkan hal yang sulit terucap

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pintu yang Terkunci

13 Januari 2024   15:17 Diperbarui: 13 Januari 2024   15:32 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pinterest : https://pin.it/3bDNN9sBs

"Agnes tolong ... terbuka sama kita, kita itu sahabat kamu!"

Lagi dan lagi suara Jowie bergema di kamarku. Dia adalah temanku sejak kita sama-sama  menginjak kelas 1 SMP. Jowie adalah "happy virus" dalam pertemanan kami, tawanya yang unik dan wajahnya yang selalu ceria mampu membuat siapa saja tertawa dengan tingkah konyolnya. Selain Jowie ada juga Hana, dia memiliki sikap dan sifat yang hampir mirip dengan Jowie, banyak yang mengira mereka adalah anak kembar walaupun nyatanya tidak, hanya saja yang membedakan mereka adalah Hana anak yang lemah, lembut. Lalu bagaimana dengan ku? Aku sendiri tak dapat mendeskripsikan diriku, aku tak mengenali siapa diriku sebenarnya.

Kami bertiga sudah berteman sejak kelas 7, menghabiskan waktu bersama, mengobrol, kebenarannya sih mereka yang selalu mengajakku bergabung dengan mereka. Aku dengan mereka berdua sangatlah bertolak belakang, aku adalah orang yang tertutup, tak bisa seterbuka mereka, bercerita tentang hari-hari yang menyenangkan, menyedihkan, dan lainnya. Seperti saat ini, Jowie memintaku untuk terbuka pada mereka.

"Come on Nes... mendem semuanya sendirian itu nggak baik! Kita ada di sini buat kamu. Aku dan Jowie bakal selalu ada dengerin semuanya!" lanjut Hana padaku.

"Nggak Hana, aku nggak apa-apa. Nggak ada yang perlu di ceritain!" tegasku meyakinkan mereka.

"BOHONG! Nes kita sayang sama kamu, kita nggak mau kamu sakit dan terluka, bukan badan kamu doang yang sakit, tapi hati kamu, jiwa kamu!"

"Kita khawatir sama kamu. Kita nggak pengen kamu stress dan terlalu memendam semuanya sendirian." ucap Jowie lembut dengan mata cokelatnya yang menatapku dalam.

Haruskah ku percaya pada mereka?

"Aku bingung ... harus dari mana aku menceritakan semuanya." ucapku sedikit ragu.

Dapat ku lihat raut wajah keduanya yang nampak terkejut. Apakah setidak pernah itu ku menceritakan kisahku sampai-sampai mereka terkejut saat tahu aku akan bercerita tentang hidupku?

"SERIUS? KAMU BENAR-BENAR  SERIUS AKAN BERCERITA TENTANG DIRIMU PADA KITA AGNES?"

" Okay wait ... sebenarnya kita ingin menanyakan ini sejak lama. Kejadian waktu kelas 7 kamu tiba-tiba berubah drastis, kamu jadi lebih tertutup dan pendiam sampai saat ini, apakah terjadi sesuatu saat itu, Sampai membuat kamu berubah?" tanya Jowie padaku.

"Ah, betul yang itu!!! Kamu saja bahkan selalu mengabaikan kita dan susah di ajak berbicara waktu itu Nes, kamu jadi sering memakai baju tertutup sampai lengan  kalo sedang bermain dengan kita, biasanya kan bajumu lucu-lucu terus pendek -- pendek." Celetuk Hana.

"Bener -- bener!! Aneh aja gitu, kamu jadi beda nggak kayak biasanya. Terus kamu jadi lebih suka sendirian." Lanjut Jowie.

"Deg ..." badanku seketika membeku. Memori-memori itu mulai mengelilingi kepalaku, ketakutan tiba-tiba saja menyerangku. Haruskah ku ceritakan cerita itu pada Jowie dan Hana? Sejenak aku terdiam, memikirkan jawabannya. Di tengah keheningan tiba-tiba saja Jowie membuyarkan lamunanku.

"Hey ... Nes ... are you okay?"

"It's  okay kalo kamu belum bisa cerita, kita nggak akan memaksa." Tuntasnya sambil memegang pundakku, merasa tak enak. Disaat keheningan terjadi aku memberanikan diri.

"Waktu itu ..." ucapku terpotong.

***

Hari sabtu, aku dan teman SD ku berniat untuk bermain di rumahku, kita banyak tertawa, bercerita banyak hal lucu. Sebenarnya, aku masih belum meminta izin pada ayah dan bunda. Aku terlalu takut pada mereka, hubunganku dengan kedua orang tuaku tidak harmonis. Mereka terlalu banyak menghabiskan waktu di luar rumah dan sibuk dengan urusan pekerjaan mereka masing-masing, hingga mereka lupa memiliki putri kecil yang membutuhkan mereka. Sejak dulu aku selalu menghabiskan waktu sendiri.

Hal tak terduga terjadi hari ini, peristiwa yang akan selalu menjadi luka bagiku yang sulit tuk dilupakan. Disaat teman-temanku sudah pulang, malamnya ayah dan bunda pulang. Dilihat dari raut wajah mereka, sepertinya keadaan sedang tidak baik-baik saja yang membuatku semakin takut untuk memberitahu perihal teman-temanku. Disaat ayah hendak memasuki ruang kerjanya, tiba-tiba saja ayah berteriak padaku.

Dengan nada tinggi ia berteriak "AGNES! APA YANG KAMU LAKUKAN PADA RUANG KERJA AYAH?"

Teriakkannya mampu membuatku gemetar.

"Ada apa ini? Apa yang terjadi? Ada apa dengan ruang kerja ayah? Aku saja tidak berani menyentuhnya, mengapa ayah menanyaiku?" monolog ku dalam hati.

Jika menyangkut ruang kerja ayah, aku menjadi gelisah. Pasalnya tempat itu adalah segalanya bagi ayah. Tidak ada yang berani masuk selain dirinya, bagi ayah ruang kerjanya adalah privasi, bahkan bunda saja tak ia perbolehkan memasuki ruangan itu. Dengan tubuh yang masih gemetar, aku berjalan menuju ruang kerjanya.

"SIAPA YANG MEMASUKI RUANG KERJA AYAH?" ujarnya.

"tidak ada yah, Agnes juga tidak masuk ruang kerja ayah." Jawabku dengan ketakutan.

"LALU SIAPA LAGI JIKA BUKAN AYAH YANG MASUK RUANGAN INI?"

"Gawat ... apakah ada temanku tadi yang bermain di ruang kerja ayah saat aku sedang tidak melihatnya. Bagaimana aku harus menjawabnya, apakah aku harus menceritakan tentang temanku yang main kerumah." Ujarku dalam hati.

"JAWAB AGNES! HANYA KAMU YANG ADA DIRUMAH HARI INI!" matanya yang tajam mengintimidasiku seolah meminta jawaban pasti. Dengan sedikit keberanian aku memberitahu ayah tentang teman-teman.

"Maaf ayah, sebenarnya tadi pagi sampai siang, teman SD Anes datang. Mere-" belum selesai ku melanjutkan ucapanku ayah sudah lebih dulu memotong.

"APA KATAMU? MEREKA DATANG KERUMAH?"

Dengan suara lemas aku menjawab "iya ayah, maaf."

"SEENAKNYA KAMU MEMBAWA ORANG LUAR MASUK KEDALAM RUMAH TANPA MEMINTA IZIN, DIMANA SOPAN SANTUN KAMU AGNES!!!" bentaknya padaku.

" SEKARANG BAGAIMANA? PINTU RUANG KERJA AYAH TERKUNCI, TIDAK DAPAT DI BUKA. SEDANGKAN BARANG YANG AYAH BUTUHKAN BERADA DI DALAM! BAGAIMANA KAMU AKAN BERTANGGUNG JAWAB ATAS PERBUATAN KAMU AGNES?!"

"KAMU MEMANG TIDAK BISA DI ANDALKAN AGNES!" bentaknya lagi dan lagi.

Sedangkan aku hanya bisa menunduk dan berusaha menahan air mataku yang hampir keluar. Entah mengapa ini adalah pertama kalinya bagiku melihat ayah semarah itu, sedingin dinginnya ayah, ia tidak akan sampai membentakku seperti ini, aku terkejut melihat sikap ayah barusan, yang bisa kulakukan hanyalah meminta maaf. Aku tak sanggup melihat wajahnya, tanganku sudah gemetar dan hatiku berdebar tak karuan, aku pikir ayah hanya akan membentakku, nyatanya tidak. Pecahan kaca mulai memenuhi tempat ku berdiri saat ini, ayah terlihat sangat frustasi. Membanting tanpa arah barang sekitar dengan kemarahan yang ada pada dirinya. Aku masih mematung di tempat menyaksikan yang ayah lakukan, Jujur aku tak tahan dengan situasi ini, takut, gelisah, panik, semua bercampur menjadi satu.

Ternyata suara keributan yang dari tadi terjadi di saksikan oleh bunda dari tangga, awalnya bunda hanya diam menonton kejadian ini tapi setelah itu bunda menghampiri kita. Ku pikir bunda akan menjadi penengah. Nyatanya tidak, kehadiran bunda di sini membuat ayah semakin meluapkan emosinya dan tanpa disadari beberapa pecahan kaca itu mengenai badanku. Sekarang aku tak memperdulikan itu, yang ku pedulikan hanyalah bagaimana aku bisa keluar dari situasi ini. Setelah keheningan terjadi, tanpa pamit ayah meninggalkan rumah malam ini.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam dan aku masih bersandar pada tembok, kali ini pemandangan malam dari luar jendela kamar yang menemaniku. Sambil memejamkan mata kini lagu "Breathe" dari Lee Hi terputar dalam telingaku, mungkin lagu inilah yang dapat mengungkapkan rasa yang tak sanggup lagi ku utarakan.

'Tarik nafas dalam-dalam, Sampai kedua sisi dadamu terasa sesak dan mulai terasa sakit, Lalu hembuskan nafasmu Sampai kau merasa tak ada yang tersisa dalam dirimu'

Saat lirik itu terputar air mata yang kini sudah tak sanggup lagi ku tahan, ku biarkan ia terjun bebas membasahi pipiku. Dadaku terasa sangat sesak, aku lelah. Aku butuh seseorang memelukku dan meyakinkanku bahwa semuanya baik-baik saja. Aku merasa aku terlalu kecil untuk mengalami ini. Aku butuh bunda di sampingku, aku berharap bundalah yang menenangkanku dan mengobati tubuhku yang terluka akibat pecahan kaca. Nyatanya bunda malah sibuk dengan dunianya dan membiarkanku menghadapi ini sendirian.

Aku sudah biasa di marahi dan di bentak ayah, tapi kenapa hari ini terasa begitu sakit, apakah sekarang ayah membenciku? Kejadian tadi benar-benar membuatku tak dapat berpikir dengan benar, tangan yang masih gemetar dan banyaknya pertanyaan yang memenuhi otakku seakan meminta jawaban, yang bahkan aku pun tak dapat menjawabnya.

"Apakah hanya karena pintu ruang kerja ayah terkunci, ayah semarah itu? Atau ada masalah lain tapi ayah lampiaskan padaku? Apakah perbuatanku sesalah itu?"

Semenjak kejadian itu semuanya berubah, bagiku melewati hari- hari terasa semakin berat, setiap malam tanganku selalu penuh dengan tanda baru, kepalaku selalu berisik. Ayah dan bunda tidak ada yang menanyai keadaanku, mereka melanjutkan hari -- hari seperti biasanya tanpa tahu bahwa dunia putrinya terasa hancur banyaknya pertanyaan dalam kepalaku yang masih belum ku temukan jawabannya.

"Bunda ... ayah ... Anes capek, kepala Anes berisik."

"Bunda ... tolong peluk Anes, Anes butuh kalian ..."

"Tuhan ... Anes capek, Anes butuh Ayah sama Bunda, mereka masih sayang Anes kan?"

Kalimat -- kalimat itulah yang tiap malam selalu aku ucapkan. Aku merasa benar -- benar sendiri saat itu, rasanya tangan mereka terlalu sulit untuk ku gapai, raga mereka terlalu jauh untuk dapat ku nikmati kehangantannya. Aku selalu bertanya -- tanya pada Tuhan tentang apa yang Tuhan rencanakan pada hidup gadis malang ini, akankah suatu hari aku merasakan kehangatan mereka, dapatkah aku menghabiskan hari -- hariku dengan mereka disampingku setidaknya sebelum aku pergi. Aku yang menjadi sangat tertutup pada orang tuaku dan semakin jauh dengan "rumahku" serta trauma yang terus tertanam di dalam. Aku tahu mungkin bagi sebagian orang aku terlihat berlebihan, namun kejadian itulah yang membuatku benar-benar berubah dan jauh dari diriku sendiri.

***

Dengan menutupi tangan yang gemetar ku akhiri cerita itu dengan senyum yang ku layangkan pada kedua perempuan di depanku ini, memberitahu bahwa aku tidak apa-apa.

"Nes... I'm sorry, aku bener bener minta maaf, nggak seharusnya aku membuka luka lama kamu." Dengan wajah yang panik Jowie langsung memegang pundakku dan memberikan usapan lembut.

"nggak apa-apa Jo, ini keputusanku dan kemauanku untuk menceritakan hal tersebut, itu sudah lama, aku juga sudah mulai bisa berdamai dengan kejadian itu." Balasku pada Jowie.

Bohong jika aku bilang aku sudah berdamai dengan kejadian itu, memori tentang rasa sakit dan trauma yang kurasakan pada saat itu dan hari -- hari setelahnya masih dapat terasa sampai sekarang, walaupun aku sudah mencoba melupakan kejadian itu dan mulai menjalani hari-hari seolah kejadian itu hanyalah mimpi buruk yang kualami, kenyataannya rasa itu masih ada. Aku berbohong karena tidak ingin membuat mereka merasa semakin bersalah. Lagi pula ini keputusanku untuk menceritakan kejadian itu.

"Kenapa ayahmu bisa semarah itu, padahal kamu saja tidak tahu kenapa kunci pintu ruang kerja ayah kamu bisa hilang, betul kan?" tanya Hana, yang hanya ku balas dengan anggukkan.

"Lalu kamu tahu kenapa ruang kerja ayah kamu bisa terkunci? Atau kamu tahu siapa yang iseng mengambil kunci ruang kerja ayah kamu?" lanjut Jowie.

"Iya aku tahu, teman SD ku Rangga yang mengambilnya. Dia bilang dia tidak sengaja mengambilnya dan memasukkan kunci itu pada saku jaketnya, lalu dia lupa mengembalikannya." Jawabku.

"HAH?! DEMI APA? PUNCAK KOMEDI BANGET COWOK ITU, DENGAN ENTENGNYA DIA BILANG LUPA? NGGAK HABIS PIKIR AKU SAMA ORANG ITU. CEPAT TEMUI AKU DENGAN ANAK ITU NES! AKU AKAN MENGHAJAR WAJAHNYA DENGAN PANCI KESAYANGAN IBUN!" Balas Jowie dengan rasa jengkel.

Aku tertawa dengan respon yang Jowie lontarkan. "Sudahlah Jo, itu juga sudah lama, mungkin dia memang tidak sengaja."

"Wah nggak bisa gitu Nes! Masalahnya dia itu nggak sopan banget dan ketidaksengajaan dia ngebuat kamu jadi kayak gini." Balas Hana

"Hahahahaha ... nggak apa -- apa, dia juga sudah meminta maaf padaku waktu itu kok, everything is fine now." Jawabku menenangkan.

"But Nes, Terimakasih ya kamu sudah mau berbagi cerita kamu pada kita, terimakasih sudah percaya pada kita." Final Hana sebelum akhirnya kita berpelukan, menyalurkan perasaan saling menyayangi dan melindungi satu sama lain.

Setelah aku menceritakan itu rasa tenang sedikit kurasakan pada diriku, apakah karena aku sudah berani melawan traumaku dengan menceritakan kembali cerita itu pada sahabatku atau aku lega dapat berbagi beban pikiran yang selama ini ku pendam pada mereka?

Entahlah, intinya sekarang aku tahu apa artinya bersahabat. Berbagi cerita senang maupun sedih, saling mendukung dan menjaga satu sama lain. Aku sangat bersyukur Tuhan pertemukanku dengan mereka. Mereka yang selalu menenangkanku di saat aku merasa dunia sedang tak adil pada ku, di saat aku merasa jika aku tak berhak bahagia dan merasa aku tidak seharusnya berada di sini. Jowie dan Hana selalu mengatakan bahwa aku berhak bahagia dan menemukan kembali jati diriku, mereka selalu meyakinkan ku bahwa semuanya pasti berlalu, dan pelangi akan segara hadir. Ayah dan bunda masih asik dengan dunianya hingga saat ini, entah kapan mereka akan menganggap bahwa mereka seharusnya merangkulku dan memelukku. Aku hanya berharap kedepannya ayah dan bunda akan memperlakukanku seperti Jowie dan Hana memperlakukanku. Mungkin jika aku tak bertemu mereka, Aku akan terus menghadapi semuanya sendirian. Aku sangat berterimakasih pada Jowie dan Hana, mereka adalah rumahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun