Selama ini tak pernah ada lelaki manapun yang menatap lebih jauh kedalam bola mataku yang berwarna hazel lembut itu, mereka semua sepertinya lelaki dari jenis yang sama, hanya tertarik dengan seluruh kecantikan wajahku saja. Entah mengapa lelaki disampingku ini berbeda, bahkan pada saat pertama bertemu dan kemudian setelah beberapa hari berkenalan, dia, lelaki itu dengan santai bilang “kanaya mata kamu itu indah, aku suka, apalagi dengan bola mata warna hazel itu, terlihat lembut dan dalam, tetapi aku melihat kekosongan yang amat sangat disana , seolah jika terus menerus menatap matamu aku akan ikut hanyut dalam kekosongan yang hampa itu” dia berbicara seperti itu sambil mengunyah makanan yang tersedia di meja event music yang sedang kami hadiri. “Apa yang kamu sembunyikan didalam sana Kanaya?” lanjutnya terlihat santai namun serius.
Semenjak itu, aku dan lelaki itupun menjadi dekat. Awalnya aku hanya penasaran tentang apa yang dikatakannya tempo itu, tentang mataku. Mana mungkin ia bisa meliahat kedalam mataku seperti pintu terbuka, secara tidak langsung lelaki itu telah masuk kedalam jiwaku bukan?, karena mata adalah jendela jiwa.Seolah tanpa ia sendiri sadari, dia telah menghembuskan napas kehidupan lewat tatapan matanya, menghidupkan kembali jiwaku yang tekah lama sengaja kutikam dengan belati paling sunyi agar ia mati.
**
Kudengar lelaki disampingku tertawa pelan, aku menoleh dan menatap wajahnya dengan heran. Apa? Mimik wajahku seolah bertanya. “kamu itu lucu kalo lagi ngelamun, gemesin!” candanya dengan tawa yang lebih lebar, aku merengut kembali, kesal dan malu namun ada perasaan senang didalamnya. “kau tahu sudah berapa lampu jalan yang kita lewati?” tanyanya kemudian dngan nada yang agak serius.”entah” jawabku singkat, buat apa dia bertanya seperti itu?. “fokus dong kanayaa, jangan biarkan kepalamu itu terus menerus berkelana kemana-mana, bisa kan isi kepala sama tubuh kamu nyatu? Ada disini disamping aku”. Aku hanya bisa tercekat mendengarnya.
“kamu bisa mulai dengan melihat hal-hal yang kita lewati sepanjang jalan ini, menghitung lampu jalanan misalnya. Kurasa itu akan membuat kepalamu tetap berada di tempat. Jujur ya selama kenal kamu, aku sempat heran kenapa kamu gak pernah hafal jalan padahal kamu tinggal di kota ini sudah lama. Dan aku baru tahu setelah kita sering keluar bareng, ternyata selama perjlanan kamu hanya diam, duduk manis dan membiarkan pikiranmu entah pergi kemana, bahkan ngobrol pun jarang, malah hamper gak pernah. Aku kadang suka ngerasa kalo lagi jalan sama boneka, tak ada percakapan dalam mobil, tapi waktu itu aku masih biarin kamu karena aku memang suka kalo ngeliat kamu ngelamun, lucu” ia menoleh sebentar kearahku untuk menunjukan bahwa ia sedang serius.
Aku hanya bisa menunduk dalam-dalam, tak bisa menjawab apapun, membenarkan apa yang ia katakan. “kamu gak bisa kaya gitu terus kanaya, tidak baik hidup di duniamu sendiri sementara kamu sedang bersama orang lain di dunia nyata” ia berkata dengan lembut.
“kamu lagi protes tentang kebiasaan aku?” tanyaku sedikit kesal. “bukan begitu kanayaa, tapi aku tidak mau kamu tenggelam sendirian disana” jawabnya. “kan ada kamu” sanggahku. “aku tahu kamu gak pernah ngebiarin orang lain masuk ke kehidupan kamu selain aku, kamu gak boleh gitu, kenapa kamu gak nyoba buat buka diri kamu, gak semua orang mau lihat ke dalam matamu dan masuk kedalamnya” ahh kenapa lelaki ini selalu mengerti.
“kamu aja cukup, Arka!”. Ucapku setegas mungkin.
“Aku ga akan bisa selalu ada buat kamu kanaya, “ tunduknya tiba-tiba lesu. “maksud kamu?”mata hazelku membulat meminta penjelasan darinya. “tidak, tidak apa kanaya.” Jawabnya seraya kembali memandang lurus kedepan, pura-pura kembali berkonsentrasi dengan jalanan didepan.
Aku terlalu panakut untuk bertanya lebih lanjut. Hanya pikiranku saja yang tidak karuan.
Cemas mendekapku sepanjang sisa perjalanan selanjutnya yang kami lewati dalam diam.