Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Diah, di Antara Aku dan Felix

9 Juni 2024   19:55 Diperbarui: 9 Juni 2024   19:57 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam minggu-minggu ini kepalaku dipenuhi tiga hal. Pertama, Diah. Kedua, Diah. Ketiga, aduh, Diah lagi. Sebenarnya, kalau aku sebut "minggu-minggu", itu ada pemalsuan sejarah. Yang sebenarnya terjadi, sudah lebih dari setengah tahun.

Siapa Diah? Dia kawan sekantorku dan satu divisi denganku, yang tentu saja kami selalu berada di ruangan yang sama.

Kenapa Diah? Kalau aku ceritakan sebenarnya mungkin sedikit lebay, karena ini menyangkut perasaan. Bicara perasaan, sori, aku bukan penyair. Jadi, aku tidak tahu metafora atau ungkapan apa yang pas untuk menggambarkan sosok Diah.

Baiklah, kukutip saja apa yang dibicarakan teman-teman kantorku.

Budi Susilo: "Diah anaknya ramah, supel kepada siapa saja, hingga banyak yang senang menjadi temannya."

Tonny Syiariel: "Cantik."

Rudy Gunawan: "Kayaknya dia belum pacar."

Nah, ucapan Rudy ini aku beri huruf tebal. Kalau saja, kalau saja ...! Aku mulai menghayal. Kesempatanku lebih terbuka, karena Diah satu ruangan denganku, yang memudahkanku mendekatinya lebih jauh. Tapi Diah selalu ramah kepada setiap orang, jadi sulit menduga-duga hatinya.

Hal lain -- ini hal yang keempat -- yang luput aku ceritakan adalah tentang sosok satu ini. Dengan penuh rasa jengkel aku harus menuliskan: Felix!

Ngapain makhluk satu ini ikut-ikutan lirak-lirik kepada Diah. Dia kan lain ruangan? Kenapa tiap sebentar ke ruangan kami? Ada saja yang diomongkannya, tapi matanya selalu menuju ke arah meja Diah.

Felix, kuakui orangnya cerdas. Berdebat pantang kalah, selalu taat teori. Pancasilais sejati. Tapi, biasanya orang pintar sangat kaku untuk urusan asmara. Bersaing dengan orang seperti ini aku akan gampang melewati. Kecil!

Namun, aku harus tetap waspada. Ketertarikan seorang perempuan terhadap laki-laki kadang kriterianya agak aneh. Makanya aku harus gercep. 

***

Ini malam Minggu. Malam ini harus kucatat dalam ingatan; malam spesial. Aku sedang bersiap-siap menuju rumah Diah. Untuk pendekatan yang lebih dalam.

Astaga, kenapa aku harus nervous begini? Beberapa baju sudah kucoba, tapi belum ada yang pas. Akhirnya kupilih baju eman-eman. Kenapa aku sebut begitu karena baju itu sesekali kupakai. Baju lebaran kemarin.

Aku juga mengurangi dana setengah bungkus rokok untuk biaya cuci steam motor. Sudah, sudah kinclong. 

Dan, berangkat!

Tapi, saat sudah dekat pagar rumah Diah, kulihat ada motor menuju ke arah yang sama. Saat kuperhatikan ...?

"Felix! Ngapain lu ke sini?"

Felix terkejut. "Hah?! Kau? Ngapa pula kau kemari?"

"Gua mau ke rumah Diah. Biasa, malam Minggu."

"Kau?! Kau juga mau ke tempat Diah? Bah! Kau merusak rencanaku."  Felix tak senang.

"Apa-apaan! Lu yang ganggu acara gua."

"Kau!"

"Elo!"

Kami saling pandang, diam. Akhirnya. "Ya, udah, kita bareng-bareng aja," saranku, dan, "Lu bawa tentengan apa?"

"Ini, martabak. Diah kan suka dengan martabak." Felix begitu yakin.

Aku tertawa.

"Bah! Kenapa kau tertawa?"

"Felix, Felix ...! Udah nggak zaman ke rumah cewek bawa-bawa martabak. Ini zaman milenial, Bro." Aku makin ngakak. "Makanya, sering-seringlah nonton film Hollywood. Mana ada dalam film Hollywood cowok ke rumah ceweknya bawa martabak. Nih, contoh gua." Aku mengeluarkan setangkai bunga mawar yang dibungkus plastik bening.

Kulihat Felix agak malu. "Martabak ini ... aku buang saja?"

"Jangan! Biar gua bawa aja." Aku langsung mengambil bungkusan Felix.

Belum sempat Felix bereaksi, muncul Diah dari balik pagar. 

"Hey, kalian di sini? Ayo, masuk."

Tanpa menunggu kedua kali aku langsung masuk, mendahului Felix.

Di teras. "Aduh, bawa apa ini? Martabak? Wah, ini memang kesukaan aku." Diah senang, dan makin senang (aku menafsirkannya, 'tersipu') saat kuberikan bunga. "Terima kasih, ya," kata Diah lagi, sembari memandang Felix.

Felix makin kikuk. Dan Felix seperti tak duduk di tempatnya, karena aku dan Diah mendominasi pembicaraan. Sesekali Diah tertawa kecil (Felix makin gelisah). Aku tak memperdulikan ada kilatan dalam bola mata Felix. Aku juga menahan tak berteriak, "aduh", saat tulang keringku dihantam ujung sepatu Felix, di bawah meja.

Malam ini sukses. Tapi di tengah jalan, saat kami pulang, kerah bajuku dicengkeram Felix.

"Kenapa kau-"aku-aku" martabak itu, hah?!" Felix kesal.

"Lha, katanya mau dibuang?"

"Hantublau, kau! Itu karena kausebut-sebut si Hollywood segala macam itu."

"Apa kita balik lagi, bilang ke Diah, kalau martabak itu punya lu?"

"Malulah aku. Kauulangi sekali lagi, kutumbuk kau! Kau sudah mendalami Pancasila, belum?"

"Heh, ini soal cewek, Bro. Soal asmara. Apa hubungannya dengan Pancasila?"

"KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB!"

***

Ini tak dapat dibiarkan!

Ternyata Felix tak main-main. Aku harus lebih cepat daripada Felix dalam mendekati Diah. Berhari-hari aku memikirkan bagaimana cara yang pas mengutarakan isi hatiku. Menyatakan secara langsung? Tapi di mana? Di kantor, di rumahnya? Atau ...? Hatiku semakin tak karuan.

Akhirnya dalam suatu kesempatan aku menelpon Diah. Kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Gugup, cemas, kalimat berputar-putar.

"Heh, hampir sepuluh menit ngomong, udah tiga kali kamu menanyakan kabarku, dua kali aku ditanya sedang apa, empat kali aku sedang sibuk apa nggak. Kamu nggak sedang mensurvei orang, kan?" Diah bercanda, tapi malah membuatku makin keluar keringat dingin.

Bisul itu pecah juga, akhirnya.

"Aku, aku ... mm, Diah ... aku sudah lama suka dengan kamu. Kamu mau nggak ... jadi, jadi pacarku."

Diam sebentar, lalu terdengar tawa Diah. Tubuhku limbung. Tapi lega.

Diam lagi.

"Kamu nggak lagi becanda, kan?" tanya Diah.

"Aku serius," jawabku yakin.

***

Di kantor kulihat seperti tak ada perubahan apa-apa. Diah masih menikmati pekerjaannya, masih sering tersenyum menyapa rekan-rekan, termasuk kepada diriku. Aku yang menjadi salah tingkah, tak bisa fokus dengan pekerjaanku. Untunglah selama itu Felix jarang nongol ke ruanganku. Kalau tidak, tentu ia akan tahu perubahan yang aneh pada diriku.

Aku gelisah. Diah sendiri langsung mengalihkan pembicaraan ketika kusinggung apa jawabannya.

Dan malam itu kurasakan seperti ada ledakan. Ada pesan we-a masuk dari Diah. Aku langsung panas-dingin, sesak napas, dan ruh-ku serasa lepas dari tubuhku. Inti pesan itu: Kita berteman saja, ya?

Hingga pagi aku tak dapat tidur. Puntung rokok berserakan. Kopi sudah gelas yang kelima. Kuharap Diah salah kirim, atau keliru menulis. Bolak-balik aku buka hp kalimat itu tetap tak berubah.

Dulu aku sering menertawakan kawan-kawanku yang patah hati. Kalau mereka tahu keadaanku sekarang mungkin mereka akan mengatakan, "Rasain!"

***

Sampai sore aku merasa tubuhku meriang. Pagi tadi tak sarapan, hanya segelas kopi. Itu pun tak kuhabiskan. Rokok lagi. Berdiri lagi. Duduk lagi. Membuka hape, berharap ada keajaiban. Meriang lagi.

Aku pergi ke gardu ronda Gang Sapi, melepaskan kesuntukan. Di gardu ronda kulihat seseorang berbaring lesu di lantai keramik. Kakinya menjuntai. Felix?

"Felix? Lesu amat? Motorlu ditarik debt collector?" Kusepak kakinya.

Felix hanya melirik sekilas. Tiba-tiba ia bangkit dan menyalamiku. "Selamat, selamat! Kau memang lebih cocok dengan Diah. Biarlah, walaupun sakit tapi aku ikhlas kalau kau yang mendapatkan Diah."

"Gua nggak ngerti."

" Semalaman aku nggak bisa tidur. Napasku sesak, dadaku berdentum-dentum. Coba, apa kekuranganku? Aku sudah mengamalkan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen. Tapi Diah menganggapku hanya sebagai sahabat."

"Mak-sud ... lu?"

"Ya. Diah menolakku." Berat sekali Felix mengucapkan itu.

"Sama."

"Sama apanya?" Felix heran.

"Aku juga. Aku juga hanya dianggap sebagai teman. Aku ditolak."

"Kau?"

Aku mengangguk.

Felix langsung terbahak. "Terima kasih, Tuhan. Engkau sungguh adil. Hahaha!" 

Aku tak menanggapi.

"Tapi bagaimanapun, Diah tetap condong kepadaku. Diah menganggapku sebagai sahabat. Sedang kau, kau dianggapnya sebagai teman. Sahabat itu levelnya tiga kali lebih dibanding teman."

Kepalaku langsung keluar tanduk. "Nggak bisa. Sahabat, selamanya akan menjadi sahabat. Kalau teman dia bisa menjadi mesra." Aku tak mau kalah.

"Tapi nyatanya kita berdua ditolak."

"Ya," sahutku, lemah.

"Ya." Felix. Lebih lemah lagi.

***

Lebakwana, Juni 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun