Belum sempat Felix bereaksi, muncul Diah dari balik pagar.Â
"Hey, kalian di sini? Ayo, masuk."
Tanpa menunggu kedua kali aku langsung masuk, mendahului Felix.
Di teras. "Aduh, bawa apa ini? Martabak? Wah, ini memang kesukaan aku." Diah senang, dan makin senang (aku menafsirkannya, 'tersipu') saat kuberikan bunga. "Terima kasih, ya," kata Diah lagi, sembari memandang Felix.
Felix makin kikuk. Dan Felix seperti tak duduk di tempatnya, karena aku dan Diah mendominasi pembicaraan. Sesekali Diah tertawa kecil (Felix makin gelisah). Aku tak memperdulikan ada kilatan dalam bola mata Felix. Aku juga menahan tak berteriak, "aduh", saat tulang keringku dihantam ujung sepatu Felix, di bawah meja.
Malam ini sukses. Tapi di tengah jalan, saat kami pulang, kerah bajuku dicengkeram Felix.
"Kenapa kau-"aku-aku" martabak itu, hah?!" Felix kesal.
"Lha, katanya mau dibuang?"
"Hantublau, kau! Itu karena kausebut-sebut si Hollywood segala macam itu."
"Apa kita balik lagi, bilang ke Diah, kalau martabak itu punya lu?"
"Malulah aku. Kauulangi sekali lagi, kutumbuk kau! Kau sudah mendalami Pancasila, belum?"