Kurasa aku sedang jatuh cinta. Cinta pertama, padamu.
Sebutlah ini kejadian yang tiba-tiba. Aku tak mengenalmu, tak tahu namamu. Aku tahu tentang dirimu dalam sebuah perjumpaan sangat biasa. Semua orang mungkin pernah mengalami. Bertemu di jalan, stasiun kereta, terminal, atau di tempat-tempat yang sering kita lalui.
Namun, seberapa kemungkinannya bertemu orang yang sama, di tempat yang sama? Sangat kecil. Kalaupun toh bertemu, mungkin sekadar saling tatap sebentar. Sedikit senyum. Atau ber-"hai", mengucap sepatah dua patah kata. Lalu kita ditenggelamkan oleh kesibukan masing-masing. Esok kita bertemu lagi orang yang berbeda.
Tapi dirimu lain. Beberapa kali aku melihatmu saat aku akan berangkat kerja. Di stasiun ketika kau menunggu kedatangan kereta. Entah kenapa, aku suka caramu memandang jauh saat kereta akan memasuki stasiun. Ada keindahan yang asing yang sebelumnya tak pernah kutemui.
Aku seperti terhisap, lama memperhatikan dirimu. Sayangnya itu terhenti oleh gemuruh kereta dan orang-orang keluar-masuk gerbong.
***
Barangkali itu awal yang biasa. Tapi untuk dirimu ada pengecualian. Aku seperti menunggu momen-momen itu berulang. Ada rasa berdebar, juga penasaran. Terbawa hingga ke rumah. Kurasa, aku sedang jatuh cinta. Tentu ini tak dapat dibiarkan begitu saja.
Tapi bagaimana caranya?
Pada suatu kesempatan aku memberanikan diri. Situasinya saat kau menunggu kereta, seperti biasa, kau memandang jauh ke arah kedatangan kereta.
Aku menghampirimu. Membentangkan kertas karton kecil di hadapanmu, yang memang sudah dipersiapkan. Ada tulisannya: Aku, Dick. Namamu siapa?
Kamu seperti orang bingung melihatku. "Ma-af, kamu ... bi-su?" tanyamu.
"Nggak. Ini supaya beda aja dengan sinetron." Aku tertawa kecil.
Kamu tak menanggapi, terlihat kesal. Mungkin kau menyangka aku sedang mempermainkanmu. Belum sempat berbincang lebih jauh, kereta datang. Kau menghilang ditelan kerumunan penumpang.
Dan beberapa minggu kemudian aku tak melihatmu. Sakit, kita berselisih jalan, atau memang kau sengaja menghindar? Atau yang sebenarnya kau tak terlalu peduli.
Aku melihatmu lagi. Aku tak mau kehilangan kesempatan. Masih sama, membentangkan karton di hadapanmu. Sekali ini kau menatapku, tersenyum tipis.
"Kay. Kayla." Kau menyebutkan namamu.
Ah, ternyata kau tidak yang kukira sebelumnya. Kau cukup ramah dalam percakapan singkat itu. Sangat standar: kerja di mana, sudah berapa lama, yach ..., yang semacam itulah. Dan yang lebih penting kukatakan, "Aku suka caramu memandang jauh saat menunggu kereta."
Kau menatapku aneh. Ah, tentu saja.
"Memang ada apa waktu aku nunggu kereta itu?" tanyamu.
"Nggak tahu. Suka aja."
Kau kembali menatapku. Cukup lama. Lalu, "Apa sebagai alasan untuk beda dengan sinetron?"
Aku tertawa.
Selanjutnya kita saling bertukar nomer WA. Dalam setiap kesempatan aku selalu menanyakan kabarmu, membuat janji untuk bersama ke tempat kerja. "Aku udah di stasiun, nih," katamu suatu ketika.
Nonton film, makan, atau ... ah, masih kayak sinetron, ya?
Dan ...!
"O, jadi kamu baru dua enam?" katamu memastikan berapa usiaku.
"Ya. Kamu memang berapa?"
"Udah 32. Tua, udah tua, ya?"
"Nggaklah. Malah aku pikir dulu kamu itu baru lulus kuliah. Sekitar 22 sampai dua empat lah."
"Halah, kamu memang pintar menghibur orang."
"Nggak. Ini serius!"
***
Sejak itu entah kenapa kamu seperti sengaja menghindar dariku, ada saja alasanmu. Ada apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kutanya lewat we-a kamu menjawab singkat: Sibuk!
Akhirnya kamu tak bisa lagi menghindar. Aku sengaja menunggumu di depan tempatmu bekerja. Aku membawamu ke ..., "Taman Kota atau kafe?" Aku menawarkan.
"Sambil jalan aja."
Aku setuju. Setelah beberapa langkah dan kurasa cukup tepat, "Kenapa? Kenapa kamu menghindar dariku?" Akhirnya terucap juga tanya itu.
"Sudahlah, kamu kuanggap adik saja. Aku, kita, tak perlu berharap lebih jauh."
"Itu? Karena itu? Karena soal usia? Aduh, kamu kok baperan begitu, sih? Apa aku terlihat seperti kekanak-kanakan, begitu?"
"Ng, nggak."
"Lantas?"
"Aku tidak ingin kamu menjadi lelaki yang kelima mengecewakan harapanku. Sebelum hatiku terlalu dalam terhadap dirimu." Kamu menatapku.
"Aku bukan lelaki yang kelima. Tapi lelaki yang pertama."
Kamu tertawa, seperti tak yakin. "Juga," katamu lagi. "Kamu sering mengatakan ingin beda dengan sinetron-sinetron itu. Tapi aku lain. Aku ingin seperti dalam sinetron itu."
"Maksudmu?"
"Kamu tahu, kebanyakan sinetron itu berakhir sama." Kamu menatapku tajam. "Aku ingin happy ending."
***
Lima bulan. Bagi sebagian orang mungkin itu waktu yang sangat pendek untuk ukuran sebuah, katakanlah, pacaran. Tapi untukku sudah cukup. Itu sebabnya pagi ini aku mengajakmu ke sebuah tempat, sebuah restoran yang tak terlalu besar. Tapi penataan ruangannya begitu menarik. Restoran ini cukup banyak direkomendasikan di media sosial.
Masih sepi. Tentu saja, ini bukannya jam makan. Jam 10 pagi. Kulihat kamu tak terlalu antusias. Kau pun tak begitu memperhatikan hiasan-hiasan di dinding.
Kita duduk berhadap-hadapan. Kamu tak berselera untuk memesan makanan. Akhirnya kita hanya memesan minuman.Â
Kubaca kegelisahanmu. "Ada apa sebenarnya, nggak biasanya kamu mengajakku sepagi ini?" Akhirnya kamu tak tahan untuk tak bersuara.
Aku diam. Malah sibuk mengetikkan sesuatu di HP. Kamu jengkel, hingga tak memperhatikan ada beberapa tamu datang. Duduk dekat kita.
"Sudah! Kita sudahi semuanya!" Kamu meledak.
Baru aku menatapmu. "Oke." Aku mengangguk.
"Kamu setuju?" Itu bukan pertanyaan tapi ungkapan kekecewaan.
"Ya, kita akhiri. Tapi untuk babak pertama. Untuk babak selanjutnya tentu kita melangkah dari awal."
"Aku nggak ngerti."
"Kay, semua orang punya masa lalu. Semua orang pernah merasa kecewa. Tapi haruskan itu membuat kita selalu curiga? Kamu seperti orang terpenjara, terlalu tegang menyikapi hal-hal yang ada di sekelilingmu. Lihat! Dinding yang di pojok itu, sampai nggak terperhatikan oleh kamu. Hiasan dan segala pernak-perniknya itu aku yang pesan."
Kamu melihat ke arah yang kutunjuk. Kamu tentu bisa membaca tulisan, "Happy Engagement" dan dua buah huruf yang cukup besar.
"Itu inisial nama kita," terangku.
"Kamu, maksudmu ... lamaran? Tunangan?"
Aku mengangguk.
"Gila, kamu! Apa orang tuamu sudah tahu, sudah setuju kalau aku lebih ....?"
"Makanya, kecewa itu jangan sampai menghantuimu berlama-lama, hingga tak sadar ada perubahan di sekeliling kita. Coba lihat siapa yang duduk di belakangku. Mereka kedua orang tuaku dan adik perempuanku."
Kamu kaget, gugup. Wajahmu memerah, berusaha tersenyum ke arah tempat duduk orang tuaku.
"Tapi, tapi ... kok mendadak begini? Aku harus bicara dengan orang tuaku, dengan keluargaku."
"Ya, bicara aja. Ini juga sudah kurencanakan sebulan lalu, bersama kedua orang tuamu."
"Ngaco!"
"Nggak ngaco. Orang tua dan dua kakakmu juga sudah di belakangmu."
"Hah?!" Kamu reflek menoleh ke belakang. "Ma? Pa? Kok nggak bilang-bilang?"
Kedua orang tuamu tertawa kecil. Menunjukkan dagunya ke arahku.
"Drama apa ini?"
"Yah, sejenis sinetron. Tapi kita sebagai pemeran utamanya. Kita yang menentukan jalan ceritanya. Ke depannya nanti, nanti. Tentu kita juga yang menentukan akhir ceritanya. Seperti yang diinginkan banyak orang. Aku, kamu, ingin happy ending, bukan?"
***
Lebakwana, Mei 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H