Sejak itu entah kenapa kamu seperti sengaja menghindar dariku, ada saja alasanmu. Ada apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Kutanya lewat we-a kamu menjawab singkat: Sibuk!
Akhirnya kamu tak bisa lagi menghindar. Aku sengaja menunggumu di depan tempatmu bekerja. Aku membawamu ke ..., "Taman Kota atau kafe?" Aku menawarkan.
"Sambil jalan aja."
Aku setuju. Setelah beberapa langkah dan kurasa cukup tepat, "Kenapa? Kenapa kamu menghindar dariku?" Akhirnya terucap juga tanya itu.
"Sudahlah, kamu kuanggap adik saja. Aku, kita, tak perlu berharap lebih jauh."
"Itu? Karena itu? Karena soal usia? Aduh, kamu kok baperan begitu, sih? Apa aku terlihat seperti kekanak-kanakan, begitu?"
"Ng, nggak."
"Lantas?"
"Aku tidak ingin kamu menjadi lelaki yang kelima mengecewakan harapanku. Sebelum hatiku terlalu dalam terhadap dirimu." Kamu menatapku.
"Aku bukan lelaki yang kelima. Tapi lelaki yang pertama."
Kamu tertawa, seperti tak yakin. "Juga," katamu lagi. "Kamu sering mengatakan ingin beda dengan sinetron-sinetron itu. Tapi aku lain. Aku ingin seperti dalam sinetron itu."