"Ya, kita akhiri. Tapi untuk babak pertama. Untuk babak selanjutnya tentu kita melangkah dari awal."
"Aku nggak ngerti."
"Kay, semua orang punya masa lalu. Semua orang pernah merasa kecewa. Tapi haruskan itu membuat kita selalu curiga? Kamu seperti orang terpenjara, terlalu tegang menyikapi hal-hal yang ada di sekelilingmu. Lihat! Dinding yang di pojok itu, sampai nggak terperhatikan oleh kamu. Hiasan dan segala pernak-perniknya itu aku yang pesan."
Kamu melihat ke arah yang kutunjuk. Kamu tentu bisa membaca tulisan, "Happy Engagement" dan dua buah huruf yang cukup besar.
"Itu inisial nama kita," terangku.
"Kamu, maksudmu ... lamaran? Tunangan?"
Aku mengangguk.
"Gila, kamu! Apa orang tuamu sudah tahu, sudah setuju kalau aku lebih ....?"
"Makanya, kecewa itu jangan sampai menghantuimu berlama-lama, hingga tak sadar ada perubahan di sekeliling kita. Coba lihat siapa yang duduk di belakangku. Mereka kedua orang tuaku dan adik perempuanku."
Kamu kaget, gugup. Wajahmu memerah, berusaha tersenyum ke arah tempat duduk orang tuaku.
"Tapi, tapi ... kok mendadak begini? Aku harus bicara dengan orang tuaku, dengan keluargaku."