Kamu seperti orang bingung melihatku. "Ma-af, kamu ... bi-su?" tanyamu.
"Nggak. Ini supaya beda aja dengan sinetron." Aku tertawa kecil.
Kamu tak menanggapi, terlihat kesal. Mungkin kau menyangka aku sedang mempermainkanmu. Belum sempat berbincang lebih jauh, kereta datang. Kau menghilang ditelan kerumunan penumpang.
Dan beberapa minggu kemudian aku tak melihatmu. Sakit, kita berselisih jalan, atau memang kau sengaja menghindar? Atau yang sebenarnya kau tak terlalu peduli.
Aku melihatmu lagi. Aku tak mau kehilangan kesempatan. Masih sama, membentangkan karton di hadapanmu. Sekali ini kau menatapku, tersenyum tipis.
"Kay. Kayla." Kau menyebutkan namamu.
Ah, ternyata kau tidak yang kukira sebelumnya. Kau cukup ramah dalam percakapan singkat itu. Sangat standar: kerja di mana, sudah berapa lama, yach ..., yang semacam itulah. Dan yang lebih penting kukatakan, "Aku suka caramu memandang jauh saat menunggu kereta."
Kau menatapku aneh. Ah, tentu saja.
"Memang ada apa waktu aku nunggu kereta itu?" tanyamu.
"Nggak tahu. Suka aja."
Kau kembali menatapku. Cukup lama. Lalu, "Apa sebagai alasan untuk beda dengan sinetron?"