Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Editor - Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sekarang di Sana, di Sini Dulu (1)

11 September 2024   05:53 Diperbarui: 11 September 2024   08:41 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

SEKARANG DI SANA

kata mariama,
aku pasti tertular dari seorang gadis kecil pekerja
dia berkata, kau tertular karena mencium orang, bukan?
ular hitam di jalan masuk carport.
kau tidak bisa membedakannya,
padahal selangnya lebih panjang.
muntah, menolak obat kuning yang mengerikan itu.


apa pun yang berwarna kuning di dapur.
bukankah kau tertular dari jarum bekas?


kunjungan setiap hari,
bawakan makanan kesukaannya
pajang gambar
bawakan majalah
tonton film lama
 cobalah untuk membuat hal-hal yang seharusnya terjadi terjadi. Sisanya terserah padanya.


dan kemudian ada sapi di halaman belakang rumah kami pagi ini. Mereka pasti menyeberang jalan ke hutan dari kandang peternakan tetangga.


oh, kejar saja mereka di jalan masuk rumahmu
seberangi jembatan.


tampak mereka seperti orang-orang yang kita kenal,
hampir seperti teman.
kita ingin memberi mereka nama.


elysium, kata mariama, mengingat
iklan susu cap nona belanda dulu.


tidak ada tidak punya kendali atas apa yang terjadi
atau siapa yang akan melakukannya
seperti yang pernah dikatakan kandidat ketua partai.


hah, kamu tahu, kata  mariama sambil melambai
seperti yang biasa dilakukannya, semua ini---
sudah berakhir.


Kau tahu, katanya tanpa tanda tanya
kita hanyalah atmosfer atom
kita bahkan tidak ada di sini.


Di teras, kursi empuk, sofa, pemandangan,
hutan, udara segar.
langit biru tersenyum seru padaku.


katanya dia bisa melihat dirinya sendiri di dalam kuburnya.
tanah liat merah, basah, dingin, tidak bisa bergerak.
akan tetapi, ketika aku membungkusnya dengan selimut,
dia bilang mungkin dia akan hidup.


apakah kau tidak mendapatkan itu dari transfusi darah?
tanya mariama.


sepanjang sore berfoto bersama
di antara kembang tempuyung.
mariamam mencuri umbi
untuk ditanam di halaman belakangnya sendiri,
rumah masa kecilnya.

membenci apa pun yang bukan saat itu.

perasaan kehilangan seperti statis tak mau pergi,
kata penyiar di radio.


menyajikan sambal matah untuk tamunya

dengan piring terbaik warisan mendiang ibunya.


tahukah kau, katanya mariama tanpa bertanya,
bahwa gunung himalaya bertambah tinggi setiap tahun?


dia ingin pulang.

waktu aku bangun pagi ini, katanya,
rasanya aku hampir hidup.
aku bisa merasakan tulang belakang
percaya aku bisa turun ke bawah menumbuk lesung
minum susu, tidak muntah
makan pisang dan ingat namaku.


rasanya nyata.

aku benci hidupku.


biasanya, dia akan mengeluarkan protes berdebar debat
seolah sakit
dia suka protes.


namun kini, seketika perawat dan aku bergumul dengannya
kembali ke ranjang dia bernyanyi,
dengan suara serak gagak dan tak salah lagi,
tidak lagi seperti seorang wanita ...


aku katakan kepadanya bahwa dia seperti gandhi.
yang tidak banyak makan tetapi mengubah dunia.
yang menyesap tetes air seninya sendiri setiap hari.
dua minggu lalu, beratnya 131. Hari ini beratnya 123.


vokalis profesional yang suka mengarang.
suaranya berulang kali dihapus, dan dihapus
liriknya tentang hal-hal tidak dapat disatukan lagi.


kata dokter, sangat penting bagimu
untuk meminum setiap dosis obat setiap hari.


sindrom mielodisplastik
rontgen dada normal
jumlah sel darah putih sedikit rendah
infeksi jamur pada wajah dan mulut
Sejenis pra-leukemia


sakit kepala dan mual serta kelemahan umum
meningitis


aku mengirim seikat bunga peony, 1984.
kulit membentang di tulang pipi yang tinggi.
transparan tembus cahaya, cantik, 1986.
meninggal pada usia 42.
meninggal pada usia 24.
meninggal iang hari.


berapa dekade lalu,
mariama  tidak lagi muda.
mariama tak lagi cantik.
tapi, ya! ya, andromeda kekasih Tuhan.


tahukah kau welwitschia mirabilis
hidup di gurun selama seribu tahun karena embun?


mungkin aku tak bermimpi saat aku depresi.
hidup berjalan mundur
 setiap kunjungan mungkin yang terakhir.


bagaimana masa depanku, katanya.
aku tak akan pernah pulang lagi, apa pun yang terjadi.


pernahkah terlintas dalam benakmu, katanya,
bahwa lagu-lagu dalam album machine messiah sepultura
bisa jadi tentang Tuhan?

pikirkan dirimu sebagai Dirimu.

siapa yang berkata padaku,
maukah kau menikah denganku?


Bunga aster selebar satu inci di hutan bintik-bintik.
seorang pria fobia pada batik.
katanya, jangan terlihat terlalu sedih!
karena itu membuatku tertawa.
mengapa dia enggan menyelamatkan diri sendiri?


aku bertanya pertama kali bagaimana keadaannya, pengasuh itu berkata: oke.

Aku bertanya kepadanya untuk kedua kalinya
bagaimana kabar tuannya,
dia berkata:meninggal.
dia berkata tuannya meninggal, lalu menangis.

dia duduk tegak di tempat tidur
dadaku sakit sekali, katanya.


kata-kata terakhir yang dia katakan kepadaku,
ketika aku mengatakan kepadanya bahwa aku tidak datang
karena aku punya tenggat waktu,
adalah: aku minta maaf.


aku tahu dia sudah muak ketika dia berhenti bernyanyi.
dia bisa mengenakan setelan putih
seperti tidak ada urusan dengan orang lain.


tempat dia benar-benar ingin berada
adalah  masa kecilnya
atau seperti yang akan dia katakan
'dulu'.


mata setengah tertutup,
mulut terbuka lebar.
seprai bertuliskan mariama


pot kembang sepanjang sisi jalan
akhir musim kemarau, sore hari,
kehangatan dunia yang berputar.


aku tak tahu ke mana kita akan pergi, kata mariama,
tetapi kita tidak akan pernah sampai di sana.


kami berkumpul. tanah yang ditumpuk dari lubang kecil
di area kuburan.
membuka tali yang menutup kafan putih letakkan di kaki,
membuang gumpalan tanah berwarna cokelat kelabu
putihlah tulangmu abadi, sayangku, kamu.


aku masih menyimpan foto kita
di padang kembang pempuyung.

Cikarang, 11 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun