Dwika juga. Selalu sama. Menunggunya. Sudah bertahun-tahun, dan bertahun-tahun.
Apa itu tahun? Dia tidak tahu.
Tahun-tahun dalam hidup lebih dari tahun yang ada di benakmu. Buat beberapa orang, sebaliknya.
***
Jadi mereka berdebat. Nena tak lagi penyabar seperti dulu.
"Kamu harus belajar hidup tanpaku! Jangan sedikit-sedikit meneleponku setiap kali ada masalah."
Dwika menatap mesin cucinya. Air menggenang di dalamnya. Sabun bubuk ditaburkan di genangan air, berputar, menebarkan aroma lavender yang samar.
"Aku tidak tahu harus menelepon siapa lagi." Dia menutup matanya untuk mengendalikan perasaannya. Membukanya untuk melihat Nena membersihkan lantai. Lantai keramik berkilau seperti mata wanita yang dicintainya.
"Tapi kamu bisa hidup sendiri selama ini. Tidak ada alasan untuk meneleponku jika hal seperti ini terjadi. Hubungi aku hanya untuk keadaan darurat." Senyumnya terpaksa.
Dwika mengangguk. "Baik, Nena. Aku mengerti."
Nena itu bersiap untuk pergi, tapi Dwika belum siap untuk ditinggal.