"Menjadi tua hanyalah membiasakan diri dengan orang yang pergi." Dhika, mencoba menjadi orang bijak. "Semua orang pada akhirnya berubah menjadi kenangan."
"Kurasa itu benar." Nena menatap ke dasar jus jeruk yang keruh. "Tapi berbicara tentang ibu, Dhika, kurasa kita tidak bisa bersama-sama lagi. Ibumu tidak menginginkanku."
"Apa? Mengapa?"
"Ah, pikirkanlah. Seorang lelaki sepertimu di depan umum dengan perempuan sepertiku?"
"Tapi apa yang akan kamu lakukan?"
"Selalu ada orang yang membutuhkan seseorang sepertiku," kata Nena ceria. "Dan jika kamu membutuhkanku, kamu akan mengerti."
Dia berdiri dan mengambil jaketnya, anti air yang pudar dan apak, dan menyampirkan ke bahunya. Tudungnya menutupi wajah, sampai dia menghilang di balik rinai hujan.
***
Nena balas menatapnya di lift. Mata cokelat yang menyala-nyala. Dhika berkedip.
Dia cantik. Ramping, langsing, pucat. Kulit seputih mutiara, seperti belum pernah tersentuh matahari. Dua puluh dua, dua puluh empat. Tigapuluh.
Manusia hanya menua seperti yang mereka rasakan.