“Ehm, kepulanganku kemarin ada maksud dari bapak bahwa malam itu sehabis kau antarkan aku pulang dari stasiun, ada tamu dari teman dekatnya bapak, dari kota Banjarmasin yang sengaja datang ke rumah, karena ingin memintaku untuk dijodohkan dengan anaknya. Anak laki-laki semata wayangnya yang baru saja menuntaskan studinya di fakultas kedokteran di Jakarta dan saat ini sudah dinas di rumah sakit Banjarmasin.”
Tulang-tulang persendianku serasa copot, rasanya ingin ambruk, hatiku panas seakan-akan disambar geledek di siang ini, aku tak bisa berkata-kata, hanya wajahku yang senantiasa gugup menyimpan luka. Aku bersandar pada pohon trembesi raksasa, terkulai lemas dengan menatap telaga yang airnya seakan menderu-deru tersapu sang bayu.
“Kau menerimanya?” kataku lesu.
“Tak tahu mas, bapak yang mengatur semuanya.”
Dan aku semakin terpojok dengan jawaban Nadia. Sebentar lagi aku menjadi orang yang kalah, lalu menepi dengan perasaan dongkol yang menyelimuti hati seumur hidup. Apalah arti diriku bagi dia dan keluarganya?. Hanya sepotong gabus dan tak berarti apa-apa, itulah alasanku sampai saat ini aku tak punya cukup keberanian untuk melamarmu. Orang kecil yang hanya ingin mengayuh rembulan. Sampai kapanpun takkan pernah sampai. Meski mengayuh cinta tak kan pernah salah. Semua manusia berhak merengkuhnya.
“Mas, kenapa diam?”
“Aku sedang membayangkan kau akan pergi jauh dariku. Dan bisakah kau pergi dariku sekarang? Agar aku punya kesempatan untuk melukis punggungmu.”
“Mas, aku belum memberikan jawaban padanya. Kenapa kau sudah menyuruhku pergi?”
“Pergi sekarang atau pergi nanti, sama saja. Karena sama-sama pergi.”
“Katanya tadi tidak akan emosi. Kenapa sekarang malah emosi.”
Sejenak kita hanya terdiam. Mematung dan membisu, namun kereta tua jurusan Bojonegoro telah datang, dan kita masih membisu, hanya memandang semua orang yang hilir mudik menuju tempat tujuan masing-masing. Kereta api punya stasiun untuk berhenti dan berlalu, manusia punya hati untuk merasakan kenangan-kenangan yang datang dan berlalu.