“Baiklah, Nad. Aku akan mencobanya.”
Nadia hanya diam. Matanya menatap halaman stasiun yang masih saja sepi. Hanya ada beberapa orang mondar-mandir tak tahu tujuannya. Aku tahu ia kecewa. Aku hanya berani bertemu di stasiun untuk menjemputnya lalu aku antar dengan sepeda jengki cukup sampai di depan pasar Bangilan.
“Ehm, aku mau pulang, mas.”
“Masih mau aku antar?”
Kau hanya mengangguk tak bersemangat.
Dan esoknya ketika ia akan balik lagi ke kota Bojonegoro, ia mengajakku bertemu di bawah pohon Trembesi raksasa dekat telaga, anginya sepoi-sepoi menerpa rambutmu yang bergoyang-goyang sendu. Sesendu wajahmu menatapku. Seakan-akan kau enggan untuk membuka pembicaraan denganku. Seperti ada gumpalan kecemasan yang menindih hatimu. Ikan-ikan yang biasanya berloncat-loncatan di telaga juga tak tampak. Hanya yuyu yang terlihat malu-malu menampakkan supitnya, matanya menatapmu seakan-akan ingin mencubitmu dan mengajakmu bercanda.
“Ada apa Nad?” aku beranikan diri lagi untuk bertanya.
“Kau tidak marah atau kecewa jika aku mengatakan hal ini padamu, mas?”
“Kenapa?.” Tanyaku cemas.
“Dari mana aku harus memulai untuk mengatakannya, mas. Aku bingung bercampur takut.”
“Sudah katakan saja!”