“Aku pernah mendengar nama itu. Ya betul, ia adalah salah satu pengikut pembesar-pembesar Majapahit yang menelikung.” Bicara Ki Baroto serius sambil mengernyitkan alisnya yang juga beruban.
“Ia adalah tokoh yang berwajah ganda, disatu sisi ia dekat dengan Demak, ia juga dekat dengan Majapahit, ia licin dan pengikutnya banyak tersebar didaerah Tuban selatan ini. Berhati-hatilah, ia banyak menyebarkan pengikut-pengikutnya untuk menjadi begal dan perompak. Hasilnya ia gunakan untuk membangun padepokan Tlatah Adil itu.” Terang Ki Baroto.
“Pisau bermata dua.”
“Betul, bahkan ia punya rencana mengadu domba antara Demak dan Majapahit terutama Kadipaten Tuban. Ia ingin menguasai beberapa daerah Jawa ini. Tak perduli ia membangun persekutuan dengan orang-orang asing seperti orang Ispanya bahkan juga orang-orang Peranggi demi menghancurkan kedua kekuatan itu, jika lumpuh ia akan menyerangnya dari dalam.” Terang Ki Baroto lagi.
“Lantas, kami harus bagaimana Ki untuk menghindari Blancak Nyilu?” tanya Joko.
“Tetaplah terus bersembunyi di hutan untuk sementara, jika kau masuk kampung menyamarlah, jangan berbuat yang berlebihan. Mata-mata Blancak Nyilu banyak tersebar didaerah perkampungan Tuban Selatan ini.” Pesan Ki Baroto.
“Aku punya rencana Ki,”
“Rencana apa Joko?”
“Kami punya rencana membangun sekutu dengan banyak orang tak perduli orang dari kalangan apapun bahkan perampok sekalipun jika mau bersekutu aku akan pertimbangkan.” Terang Joko.
“Bisa Joko, tapi perlu waktu lama untuk membangun sekutu itu. Lebih baik bersembunyi dulu dan menghindar, baru jika kesempatan datang bisa kau coba caramu itu.”
“Apakah dengan cara Joko kami tidak termasuk orang yang mementingkan diri sendiri Ki?” Tanya Bah Tei.