Itu menandakan ancaman besar masih terus ia rasakan karena jarak Lao Sam atau Lasem dengan Tuban Selatan masih bisa dijangkau dengan hitungan hari. Bisa anak buah Blancak Nyilu dengan kekuatan besar langsung menyergapnya, tapi posisi Bah Tei dan Joko diuntungkan oleh medan yang sangat berat masuk ke hutan dan bersembunyi didalamnya yang sulit terlacak kembali.
Apalagi anak buah kepercayaan Blancak Nyilu pupus ditangan Joko. Blancak Nyilu pasti akan menganggap bahwa Joko bukanlah orang sembarangan dan harus mesti berhati-hati dengan pengawal Bah Tei itu. Sampai juga mereka bertiga dipondok Ki Baroto. Pondok kecil sederhana yang terbuat rapi dari kayu jati, kokoh, kuat, dan terkesan berbau Jawa. Ki Baroto hanya tinggal sendirian dipondoknya. Istri tak ada, anak juga tak punya.
“Ayo mari kita masuk.”
“Terima kasih Ki,”
Mereka bertigapun segera masuk diruangan beranda yang asri dan sejuk. Ki Baroto segera masuk ruangan dalam. Bah Tei dan Joko Kelono masih duduk-duduk dan melepas penat diberanda yang diterpa angin sepoi-sepoi. Burung-burung berkicau merdu menambah suasana hangat dan nyaman.
“Rumah indah Joko.”
“Iya, tinggal sendirian dikaki bukit, Ki Baroto masih bisa menata rumahnya dengan rapi.”
“Dimana istrinya?” tanya Bah Tei
“Ehm, tak tahu,”
“Anaknya?” tanya Bah Tei lagi.
“Juga tak tahu, atau mungkin sedang berada di ladang atau mungkin sibuk mencari kayu bakar.”