Jessica terbelalak. Bibirnya mengkerut, seperti ingin menyumpahiku, namun tidak bisa. Akirnya dia memilih balik badan dan pergi. Baru sampai pagar rumahku, Jessica mendapat sebuah panggilan. Aku masih bisa mendengar sedikit apa yang dia ucapkan.
"Iya. Gue putus sama dia, makasih lo udah ngasih tau, Do. Tapi gue tetep nggak mau balikan! Nggak ada untungnya!"
.....
Malam ini aku datang ke tongkrongan dengan langkah kaki lebih ringan. Kulihat meja di mana kawananku sering berkumpul, ada Edo, Nurdin, dan Budi. Tanpa kekasih mereka.
Ketika menyadari kedatanganku, wajah Edo menggelap. Tapi aku tidak peduli. Aku lekas ambil tempat duduk di samping Nurdin yang wajahnya kusut.
"Kenapa, Bro?" tanyaku.
Nurdin mendengkus. "Yayang gue, Anik sama Ningrum pada kompak minta putus. Kayaknya ada yang ngasih tau mereka deh."
Aku mengangguk prihatin. Mengalihkan pandangan pada Budi. "Lah lo kenapa kok kelihatan bete juga?"
Budi menjawab lemas. "Lo tau 'kan si Ningrum temennya Ranti. Jadi dia lebih milih nemenin temennya daripada gue malam ini."
Aku lagi-lagi mengangguk. Kali ini pandanganku jatuh pada sosok Edo. Suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang. Budi dan Nurdin sampai menegakkan punggung, mungkin mau berjaga-jaga kalau kami berantem.
"Kenapa? Kayaknya lo mau ngomong sesuatu?"