Mohon tunggu...
Aulya Noersamawati
Aulya Noersamawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Si letoy

Hanya perempuan biasa yang suka Kpop dan anime

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pemuda yang Tak Punya Hati

15 Februari 2022   11:48 Diperbarui: 15 Februari 2022   11:48 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : Unsplash Petr Sevcovic

Sejujurnya aku merasa makin bosan kalau harus keluar rumah dan berkumpul dengan teman-teman. Bukan karena aku tipe orang yang sulit bergaul atau bagaimana, tapi jika kalian dalam posisiku sekarang pasti akan paham. 

Tengok kanan, ada Budi yang sibuk mengelus-elus rambut pacarnya. Tengok kiri, ada Nurdin lagi suap-suapan dengan pacarnya yang nomor dua. Kalau menatap lurus ke depan akan terlihat lebih banyak lagi pasangan muda-mudi dimabuk kasmaran. Meresahkan. Padahal dulunya tongkrongan ini adalah tempat yang asik untuk kami bermain, sejak kapan coba tongkrongan ini beralih fungsi jadi tempat kencan?

Ah, aku tau. Itu pasti sejak Mang Danu memasang dekorasi lope-lope di dinding untuk spot foto. Sialan.

Kalau tidak ingat bahwa aku ini masih waras, sudah kurobek semua benda-benda itu dan mengusir semua perempuan di sini.

Memang begitulah diriku. Sangat benci hal-hal berbau romansa.

"Oi, seruput kopi dulu gih. Kok kusut banget muka lo?"

Inilah alasan mengapa aku tetap pergi ke tongkrongan meski sudah bosan dan muak setengah mati; Edo, laki-laki tinggi besar yang sering berlagak seolah dia adalah ketua dari tongkrongan ini. 

Selain benci hal-hal berbau romansa, aku juga benci dia. Berbagai cara telah kulakukan untuk menghindarinya, tapi makhluk jelemaan banteng jantan ini selalu berhasil menemukanku. Menjadikanku alat untuk menutupi kekurangannya.

Aku menyeruput kopi yang sudah mendingin, bukan karena perintah Edo, tapi karena aku yakin kopi dingin bisa mengikis perasaan kesalku. Nyatanya tidak bisa, baru saja meletakkan kembali cangkir, dadaku langsung panas dan berasap mendengar suara tawa aneh bak kikikan kutilanak.

"Ari kayaknya lagi ada masalah ya? Lagi badmood? Muka keselnya lucu banget, jadi pengen nyubit deh." Jessica dengan genitnya menjawil hidungku, setelah itu dia kembali bergelayut pada Edo. Mereka berdua tertawa seolah itu adalah hal yang biasa. Memang biasa. Bagi Jessica aku ini bukan manusia, melainkan hanya sebuah benda. Entah sebatas sabun colek atau apa.

Jadi kesimpulanya aku juga membenci perempuan itu.

Bagaimana bisa ada seorang perempuan terang-terangan menggoda laki-laki lain di depan pacarnya sendiri? Aku pun tak habis pikir ketika Edo pergi ke kamar mandi, dengan sengaja Jessica mengedip genit padaku sebelum mengikuti pacarnya lagi.

Aku masih dengar Edo mengatakan sesuatu pada Jessica diselingi tawa meremehkannya. "Jangan goda Ari kayak gitu lagi lah, kasian dia jadi gugup gitu."

"Hm, 'kan cuma bercanda. Lagian hatiku cuma buat kamu kok," balas Jessica genit.

Cih.

Lebih baik aku merokok saja.

Ketika mengeluarkan korek, Budi menoleh padaku. Sempat kukira dia juga mau merokok, tapi ternyata dia hanya berujar. "Udahlah, Bro. Semua masalah bakal selesai kalau lo punya cewek. Cepet cari, biar hidup lo lebih berwarna."

Tak kusangka malam itu aku merenungkan perkataannya, padahal sebelumnya aku sudah ratusan kali mendengar kalimat serupa. Mungkin karena efek bosanku sudah melebihi batas.

.....

Malam selasa pukul delapan. Di sinilah aku sekarang. Berdiri tepat di depan pagar rumah mungil berwarna biru dengan sekotak coklat berpita pink di tangan kanan.

Pintu rumah itu terbuka, menampilkan seorang perempuan muda yang rambutnya disemir pirang, katanya supaya sesuai dengan namanya yang ke barat-baratan. 

Sepasang mata cantik itu membola, tampak agak terkejut melihat kehadiranku di rumahnya yang tergolong langka, apalagi sendirian.

"Ari? Ngapain?" tanyanya.

Aku menyodorkan coklat yang kubawa. "Valentine masih belum selesai 'kan?"

Perempuan itu, Jessica, mengerjap bingung, tapi tetap menerima pemberianku. "Maksudnya apa ya?"

"Gimana kalau kita pacaran aja? Gue tau lo suka sama gue dari dulu."

Rona merah hiasi kedua pipi mulus Jessica, senyum malu-malu kucing tersungging di bibirnya. "Akhirnya lo peka!"

Setelah itu kutunggu dia berdandan. Kita pergi keliling kota. Aku punya banyak uang untuk singgah ke berbagai tempat. Senyum Jessica malam itu adalah senyum tercerahnya yang pernah kulihat. Jauh lebih cerah ketimbang dia habiskan waktu kencan di tongkrongan bersama Edo.

Kami sepakat untuk pura-pura amnesia tentang laki-laki yang satu itu. Kubiarkan Jessica unggah foto mesra kami di sosial medianya.

.....

Sesuai dengan dugaanku, malam ini Edo datang sendiri ke tongkrongan. Langkahnya menghentak bumi. Terlihat sangat emosi. Berikutnya dia menghampiri meja tempatku dan Jessica berada.

Buagh!

Aku juga sudah menduga tinjunya akan melayang mulus menghantam daguku. Teriakan Jessica yang melengking pun sudah ku perkirakan. Jadi aku tidak kaget-kaget amat.

"Pengkhianat!" hardik Edo.  Napasnya tersenggal karena menahan amarah."Lo ngerebut pacar gue?! Gue lihat story Jessica kemarin malem."

Jessica membantuku berdiri, ketika mendongak, ku dapati seluruh perhatian anak tongkrongan tertuju pada kami.

"Lo ngomong apa?! Kita udah nggak pacaran lagi! Sekarang pacar gue Ari!" teriak Jessica. Perempuan yang tenaganya tak seberapa itu mendorong tubuh Edo.

Pemuda tinggi besar itu hanya bergerak mundur satu langkah secara fisik, tapi secara batin dia sudah hancur total.

Raut wajah garangnya menghilang berganti dengan pucat pasi, sendu, sedih, kecewa bercampur jadi satu. Aku kembali duduk sementara Jessica dan Edo menyelesaikan dramanya.

Sempat ada Budi dan Nurdin menghampiriku untuk meminta kejelasan, kukatakan saja bahwa yang diucapkan Jessica adalah kebenaran. Mereka berdua tak bisa berkata-kata, tapi kekasih masing-masing memandangku jijik. Seolah aku adalah penyakit yang bisa menulari pacar mereka.

Mang Danu datang melerai setelah kembali dari kamar mandi. Drama antara Jessica dan Edo pun berakhir. Jessica puas karena merasa bisa berhasil melindungiku sekaligus terbebas dari jeratan Edo, sementara Edo pulang dengan seribu kekecewaan. Dia harus diseret babu-babunya yang lain agar mau pergi. Sebelum menyalakan mesin motor, pandangan kami sempat bertemu. Tanpa perlu berujar sudah kupastikan dia dendam padaku.

.....

Keesokan harinya, aku mendatangi rumah seorang perempuan. Namanya Anik, pacar Nurdin yang nomor satu. Saat itu Anik masih mengenakan seragam SMA, belum ganti baju. Aku berdecih dalam hati. Bocah seperti ini pasti gampang dibujuk, apalagi dia juga telah mengenalku.

Tanpa basa-basi, segera kuberitahu dia bagaimana kelakuan Nurdin saat di tongkrongan. Sesuai dugaan, menangislah Anik.

Aku segera merengkuhnya. Bukan karena aku takut disangka macam-macam dengan anak orang sehingga membuatnya menangis, aku melakukan ini justru agar seseorang yang mengikutiku tahu.

Kubelai rambut pendek Anik, berbisik padanya. "Jangan bilang kalau gue yang ngomong ya, gue begini demi lo. Kasian."

Perempuan lugu itu mengangguk.

Setelah itu aku pulang ke rumah, minum air putih dan duduk sebentar di sofa. Tak lama kemudian bel rumah berbunyi. Aku segera menghampirinya.

Itu Jessica, dengan mata merah berkaca-kaca.

Sesuai dugaanku.

"Ngaku, kamu habis ketemu siapa?!" tanyanya tanpa basa-basi.

"Ha-hah?" Aku pura-pura bingung.

Lalu dimulailah drama pasangan kekasih yang membuatku mual. Aku terus berkilah dari segala tuduhannya dan mengatakan dia mengada-ada. Mungkin karena sudah berada di ujung kesabaran, akhirnya Jessica mengucapkan apa yang aku mau.

"Jangan merasa sok kecakepan deh. Belum ada dua puluh empat jam pacaran udah berani selingkuh. Asal lo tau, gue itu aslinya cuma suka uang lo doang!"

Aku menyeringai. "Akhirnya lo ngaku!"

Jessica terbelalak. Bibirnya mengkerut, seperti ingin menyumpahiku, namun tidak bisa. Akirnya dia memilih balik badan dan pergi. Baru sampai pagar rumahku, Jessica mendapat sebuah panggilan. Aku masih bisa mendengar sedikit apa yang dia ucapkan.

"Iya. Gue putus sama dia, makasih lo udah ngasih tau, Do. Tapi gue tetep nggak mau balikan! Nggak ada untungnya!"

.....

Malam ini aku datang ke tongkrongan dengan langkah kaki lebih ringan. Kulihat meja di mana kawananku sering berkumpul, ada Edo, Nurdin, dan Budi. Tanpa kekasih mereka.

Ketika menyadari kedatanganku, wajah Edo menggelap. Tapi aku tidak peduli. Aku lekas ambil tempat duduk di samping Nurdin yang wajahnya kusut.

"Kenapa, Bro?" tanyaku.

Nurdin mendengkus. "Yayang gue, Anik sama Ningrum pada kompak minta putus. Kayaknya ada yang ngasih tau mereka deh."

Aku mengangguk prihatin. Mengalihkan pandangan pada Budi. "Lah lo kenapa kok kelihatan bete juga?"

Budi menjawab lemas. "Lo tau 'kan si Ningrum temennya Ranti. Jadi dia lebih milih nemenin temennya daripada gue malam ini."

Aku lagi-lagi mengangguk. Kali ini pandanganku jatuh pada sosok Edo. Suasana tiba-tiba berubah menjadi tegang. Budi dan Nurdin sampai menegakkan punggung, mungkin mau berjaga-jaga kalau kami berantem.

"Kenapa? Kayaknya lo mau ngomong sesuatu?"

Edo dengan gengsi besarnya, untuk pertama kali menunduk setelah beradu tatap denganku.

Tak masalah jika aku akhirnya tidak bisa menghindari Edo, tapi setidaknya mulai sekarang dia tau bagaimana caraku bermain.

"Thanks," bisiknya super pelan. 

Ini di luar dugaanku.

Alisku bertaut. Apa maksudnya berterimakasih?

Ah sudahlah, yang penting untuk malam ini tongkrongan kembali seperti dulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun