Sejujurnya aku merasa makin bosan kalau harus keluar rumah dan berkumpul dengan teman-teman. Bukan karena aku tipe orang yang sulit bergaul atau bagaimana, tapi jika kalian dalam posisiku sekarang pasti akan paham.Â
Tengok kanan, ada Budi yang sibuk mengelus-elus rambut pacarnya. Tengok kiri, ada Nurdin lagi suap-suapan dengan pacarnya yang nomor dua. Kalau menatap lurus ke depan akan terlihat lebih banyak lagi pasangan muda-mudi dimabuk kasmaran. Meresahkan. Padahal dulunya tongkrongan ini adalah tempat yang asik untuk kami bermain, sejak kapan coba tongkrongan ini beralih fungsi jadi tempat kencan?
Ah, aku tau. Itu pasti sejak Mang Danu memasang dekorasi lope-lope di dinding untuk spot foto. Sialan.
Kalau tidak ingat bahwa aku ini masih waras, sudah kurobek semua benda-benda itu dan mengusir semua perempuan di sini.
Memang begitulah diriku. Sangat benci hal-hal berbau romansa.
"Oi, seruput kopi dulu gih. Kok kusut banget muka lo?"
Inilah alasan mengapa aku tetap pergi ke tongkrongan meski sudah bosan dan muak setengah mati; Edo, laki-laki tinggi besar yang sering berlagak seolah dia adalah ketua dari tongkrongan ini.Â
Selain benci hal-hal berbau romansa, aku juga benci dia. Berbagai cara telah kulakukan untuk menghindarinya, tapi makhluk jelemaan banteng jantan ini selalu berhasil menemukanku. Menjadikanku alat untuk menutupi kekurangannya.
Aku menyeruput kopi yang sudah mendingin, bukan karena perintah Edo, tapi karena aku yakin kopi dingin bisa mengikis perasaan kesalku. Nyatanya tidak bisa, baru saja meletakkan kembali cangkir, dadaku langsung panas dan berasap mendengar suara tawa aneh bak kikikan kutilanak.
"Ari kayaknya lagi ada masalah ya? Lagi badmood? Muka keselnya lucu banget, jadi pengen nyubit deh." Jessica dengan genitnya menjawil hidungku, setelah itu dia kembali bergelayut pada Edo. Mereka berdua tertawa seolah itu adalah hal yang biasa. Memang biasa. Bagi Jessica aku ini bukan manusia, melainkan hanya sebuah benda. Entah sebatas sabun colek atau apa.