Mohon tunggu...
Aufa Aulia
Aufa Aulia Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Nursing Student

only you can change your life, nobody else can do it for you.♡

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tetesan Darah Sang Revolusi

21 November 2021   17:11 Diperbarui: 21 November 2021   18:52 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  Aku duduk terpaku diteras rumah menikmati rintikan air hujan yang terus menerus menetes dan besatu dengan tanah sehingga wangi petrichor mulai menyeruak kedalam indra penciumanku. Nyaman, hal inilah yang aku rasakan saat ini. Akupun meminum teh hangat yang sedari tadi sudah tersedia diatas meja seolah-olah menunggu sang empu untuk segera meminumnya, sembari menyeruput teh hangat dan menikmati wangi petrichor dan suara tetesan air hujan yang saling beradu, akupun membuka handphone untuk mendengarkan playlist lagu kesukaanku.

   Aku melirik kearah tanggal dan jam yang tertera pada homescreen handphone ku, jam 16.30 tanggal 30 September 2021. Ternyata hari ini tepat tanggal 30 September, peristiwa G30SPKI yang merupakan peristiwa pilu yang dialami bangsa ini tepat 56 tahun yang lalu. Pikiranku pun melayang-layang seolah-olah memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Apakah hari ini aku dapat meminum teh dengan tenang didepan rumah sembari menikmati hujan jika tanpa perjuangan mereka kala itu?. 

--
  "Pahlawan Revolusi", dua kata beribu makna yang frasanya akan selalu abadi dalam sejarah ingatan Bangsa Indonesia. Tetesan darah, keringat, dan air mata menjadi saksi bisu dedikasi dan perjuangan mereka terhadap bangsa ini. Lantas jika bukan karena perjuangan mereka apakah kita hari ini dapat menghirup udara segar dan mendapat kehidupan yang tentram?. Lantas pantaskah kita sebagai penerus bangsa rela dengan mudahnya melupakan perjuangan mereka terhadap bangsa ini?.

--

  Pada bagian selatan negeri, di wilayah yang disebelah utara dan timurnya berbatasan langsung dengan Selat Madura lalu patung sura dan baya yang menjadi ciri khas kota ini, hari 20 bulan 1 tahun 1924 atas berkat dari Yang Maha Kuasa lahir seorang anak adam ke bagian penjuru bumi di kota yang cantik nan indah, Surabaya.

"Tirtodarmo Haryono."

"Aku beri nama kamu Mas Tirtodarmo Haryono." ujar sang ayah Mas Harsono Tirtodarmo.


  Ia lahir ditengah-tengah hijrahnya Mas Harsono Tirtodarmo ke Sidoarjo, namun karena takdir semesta, istrinya yaitu Ibu Patimah yang sedang mengandung lalu melahirkan di New Holland Straat, Surabaya. Mas Tirtodarmo Haryono lahir di keluarga yang sangat berkecukupan, ayahnya merupakan seorang B.B. (Pamong Praja) yang saat itu mendapat kehidupan yang lebih istimewa daripada pegawai Belanda yang lainnya. Sebab kala itu nasionalisme timbul di kalangan orang yang terpelajar, maka sudah tak heran dan tidak sedikit dari putra putri seorang B.B. yang nantinya akan menjadi penggerak dan pemimpin nasionalisme.

"Mas Tirtodarmo Haryono, nama yang gagah dan tampan seperti parasnya. Aku ingin anak ini di masa depan menjadi anak yang berguna bagi orang banyak." ujar Ibu Patimah.

--

  Rintik hujan mulai menetes di pekarangan rumah yang rimbun akan tamanan dan pohon, bau petrichor mulai menyeruak kedalam indra penciuman. Satu tetes dua tetes air sudah mulai diturunkan oleh semesta. Hal ini tidak mengurungkan niat Tirto yang sedang bermain kapal otok-otok di pekarangan rumahnya. Sampai tiba-tiba terdengar bunyi

Gluduk duarrrr

  Suara gemuruh petir menyambar salah satu pohon di pekarangan rumah tersebut, hal ini mebuat tirto ketakutan dan langsung berlari kedalam rumah.

"Tirtoo awas jangan lari-lari begitu, lantainya baru ibu pel nanti kamu jatuh!." seru Ibu Patimah kepada anaknya.

"Huaa ibuu aku takut, tadi ada petir yang menyambar salah satu pohon didepan buu." tangis seoarang anak berusia 5 tahun kepada ibunya, ia langsung memeluk ibunya karena merasa sangat ketakutan.

"Sudah-sudah jangan menangis, lagian kamu ada-ada saja sudah tau hujan tetapi masih main dipekarangan rumah, ibu daritadi mencari kamu kemana-mana tetapi tidak ketemu." ujar ibu Patimah sembari mengelus-ngelus punggung Tirto yang terus menerus menangis.

"Lebih baik sekarang kamu makan, kakak-kakakmu sudah menunggu di meja makan. Ibu sedang menunggu ayahmu yang membeli minyak tanah untuk lampu petromak malam ini tetapi mengapa lama sekali ya?." ujar Ibu Patimah terheran-heran.

"Okee siap laksanakan buu." jawab tirto.
Beberapa detik setelah itu terdengar suara ketukan pintu

Tok tok tok "Assalamualaikum."

"Ibuu itu ayah sudah pulang." seru Tirto kepada ibunya sembari loncat-loncat dan segera memeluk ayahnya.

"Aduh jagoan ayah kenapa matanya sembab begini? Tirto habis menangis?." tanyanya kepada sang anak.

"Iya ayah tadi ada petir yang kencang sekali, aku jadi ketakutan." ujar Tirto dengan suara lirih.

"Sudah-sudah daripada mengobrol disini lebih baik ayah dan tirto ke meja makan, ibu sudah siapkan makanan untuk kalian." seru Ibu Patimah kepada suami dan anaknya.

"Yee ayoo kita makan." Tirto terlihat senang sekali padahal air mata dipipinya masih belum kering. Ia berlari menuju meja makan hingga akhirnya

Brukkkk

"Tirtoo kan sudah ibu bilang jangan lari-lari begitu nanti jatuh." ujar sang Ibu dengan nada yang lumayan tinggi.

--

  Mentari pagi mulai muncul dengan malu-malu dibalik jendela kamar, disertai dengan bergeraknya alarm dengan bunyi nyaring diatas nakas membuat sang empu bangun dari tidurnya. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh alarm yang sedari tadi sudah mengganggu tidurnya.

"Sudah pukul 06.00 pagi, aku harus segera bergegas." ujar Mas Harsono Tirtodarmo.

  Ia langsung bergegas menuju kamar mandi dan bersiap-siap berangkat ke kantor, setelah memakai seragam yang rapi dan bersih tiba tiba Ibu Patimah masuk kedalam kamar

"Aku sudah menyiapkan sarapan dibawah, mas lebih baik sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat kerja, anak anak sudah menunggu dibawah." ujar Ibu Patimah kepada sang suami.

"Aku sedang menyiapkan berkas-berkas untuk beberapa kasus yang aku urus hari ini, kamu turun saja duluan ke bawah nanti aku menyusul." jawabnya.

  Mas Harsono Tirtodarmo merupakan seorang jaksa di Sidoarjo lalu diangkat menjadi wedana di Kertosono dan mereka akhirnya pindah ke kota itu. Dan akhirnya Mas Tirtodarmo Haryono bersekolah di HIS 6 (Hollandsch-Inlandsche School = Sekolah Dasar). Tirto umur 6 tahun tumbuh menjadi orang yang suka bermain dan memiliki banyak teman, ia juga merupakan seorang anak yang pandai.

  Setelah menyiapkan beberapa berkas yang akan dibawa Mas Harsono Tirtodarmo turun kebawah untuk bergabung dengan anak istrinya di meja makan.

"Aduh anak-anak ayah sudah pada rapi begini, ayo kita makan sebelum nanti ayah antar ke sekolah." ujarnya sembari menarik sebuah kursi tepat dihadapan istrinya dan duduk dikursi tersebut.

"Ayah juga sudah rapi begitu, terlihat sangat tampan sekali." jawab Agus yang merupakan saudara kandung dari Tirto.

"Sudah-sudah semuanya terlihat cantik dan tampan hari ini, sekarang waktunya kita sarapan nanti kalian telat." ujar Ibu Patimah.

  Sebelum makan mereka memanjatkan doa terlebih dahulu yang dipimpin oleh sang ayah Mas Harsono Tirtodarmo, lalu seusai berdoa mereka pun menyantap makanan yang dibuat oleh Ibu Patimah dengan lahap, mereka terlihat lahap sekali memakan makanan yang tersedia, bak ikan diair yang sangat antusias melahap makanan jika kita taburkan makanannya kedalam air, mereka pun tampak antusias memakan makanan tersebut. Lalu seusai sarapan Mas Harsono Tirtodarmo beserta anak-anaknya berangkat ke sekolah.

--

Tring tring tring

  Bel disekolah berbunyi menandakan waktunya para siswa untuk beristirahat, tahun ini merupakan tahun pertama Tirto menempuh pendidikan di HIS 6, walau tahun ini merupakan tahun pertama tirto namun dia tidak tampak kesulitan untuk bersosialisasi. Ia tumbuh menjadi anak yang periang dan pandai sehingga memiliki banyak teman di sekolahnya.

"Tirto ayo kita bermain kejar-kejaran, kami bosan bermain petak umpet terus dan pasti sudah ketebak jika kamu yang menang." ujar salah satu teman kelas Tirto.

"Ayoo kita bermain kejar-kejaran, sepertinya kalian juga bosan jika bermain petak umpet terus." jawab Tirto.

  Akhirnya mereka pun bermain kejar-kejaran di lingkungan sekitar sekolah, setelah cukup lama bermain kejar-kejaran lagi dan lagi ternyata permainan ini dimenangkan oleh Tirto. Karena terus menerus memenangkan permainan dengan strategi bermainnya yang cerdik maka Tirto dijuluki dengan sebutan "Si Kepala Macan" oleh teman-temannya.

--

  Tirto pun tumbuh menjadi anak yang periang, cerdas, dan mudah bersosialisasi. Jiwa kepemimpinannya pun muncul sedari ia bersekolah di HIS 6 atau pendidikan dasar. Tak heran saat tumbuh remaja Tirto tumbuh menjadi remaja yang gagah, rajin nan tampan hingga pada suatu hari ia harus menentukan akan dibawa kemana jalan hidupnya ini.

  Tirto remaja menempuh pendidikan di HBS (Hogere Burgerschool) di Bandung yang mengharuskan ia berpisah dengan kedua orang tuanya, sebagai remaja pelajar ia suka berolahraga. Ia gemar berolahraga atletik, tenis dan baseball. Hanya dalam masa libur ia pulang ke orang tuanya yang sejak tahun 1939 telah dipindahkan menjadi wedana di Gorang-Gareng, Mangetan, Madiun.

--

  Dipojok kamar yang sunyi sembari memandangi jendela kamar yang terbuka sehingga liar angin pun menyeruak masuk kedalam kamar, Tirto bergelut dengan pemikirannya sendiri. Ia bingung harus dibawa kemana jalan hidupnya ini. Apakah menjadi seorang jaksa yang mengurus berbagai macam kasus seperti sang ayah? Atau menjadi tentara yang harus siap dimedan pertempuran manapun? Atau menjadi dokter yang dapat membantu ribuan orang yang sedang bergelut dengan berbagai macam penyakitnya?, ah belasan bahkan puluhan profesi yang sekiranya dapat dia tekuni di masa depan nanti terus bergelut di fikirannya.

  Namun ketika GHS (Geneeskundige Hogeschool: Perguruan Tinggi Kedokteran) di Jakarta dibuka kembali oleh Jepang sebagai Ika Dai Gakko, maka Tirto masuk Perguruan Tinggi Kedokteran tersebut untuk meneruskan studinya.

"Mungkin memang sudah menjadi takdirku untuk menjadi seorang dokter, mungkin kelak aku dapat membantu negeri ini lewat obat dan jarum suntik yang aku berikan pada setiap pasienku." ujar Tirto dalam hati. Ia terus menerus memantapkan hatinya untuk menjadi seorang dokter.

  Tetapi baru tiga tahun lamanya Tirto belajar di lka Dai Gakko tiba-tiba Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu dan hal ini membuat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Tirto  sebagai pemuda mahasiswa Ika Dai Gakko tidak mau ketinggalan, ia membanting stir dan segera menceburkan dirinya dalam kancah perjuangan militer.

  Saat dirinya masuk kedalam ranah militer ia merasa bahwa disinilah seharusnya ia berada, bukan dalam dunia kedokteran yang memakai jas putih setiap harinya namun ia merasa lebih nyaman menggunakan baret yang melekat dikepalanya.

--

  Tirto remaja tumbuh menjadi seorang pria yang gagah dan dewasa, Mayor M.T Haryono merupakan panggilannya saat ini, selama perjuangan bersenjata ia tidak memikirkan hal-hal yang berbau pernikahan sampai akhirnya ia menjatuhkan pilihannya pada seorang wanita bernama Mariatni, ia merupakan putri Mr. Besar Martokusumo yang saat itu berdomisili di Jakarta.

"Mariatni, aku mencintaimu dengan ketulusan hatiku. Apakah engkau bersedia menjadi teman sehidup sematiku dan bersedia menerimaku disaat senang maupun susah?." tanya M.T Haryono kepada Mariatni dengan box cincin berlian yang cantik nan indah yang ia buka tepat dihadapan sang pujaan hatinya.

"Ya, aku bersedia menjadi teman sehidup sematimu Haryono, aku bersedia menemanimu dikala sedih maupun senang." jawab Mariatni dengan lugas. Tidak disangka air mata keduanya pun jatuh tepat setelah Mariatni menjawab, keduanya diselimuti rasa haru.

  Pertunangan M.T Haryono dan Mariatni akan dirayakan pada tanggal 2 Juli 1950 namun pertunangan keduanya diganti dengan pernikahan karena pada waktu itu Pemerintah memerlukan seorang Atase Militer untuk Negeri Belanda dan pilihannya jatuh pada Mayor M.T. Haryono. Hal ini disebabkan karena Mayor M.T. Haryono merupakan seorang yang terpelajar, ia sangat fasih berbahasa Belanda, Inggris dan Jerman ia pun sempat terlibat dalam KMB yang baru saja berlalu.
  Lalu M.T Haryono dan Mariatni  pun berangkat ke Negeri Belanda sebagai pengantin baru untuk sementara mereka hidup di gedung Kedutaan Besar Indonesia di Den Haag, ibu kota Negeri Belanda dan seolah-olah berbulan madu di luar negeri. 

--

  Setelah beberapa tahun melangsungkan pernikahan M.T Haryono dan Mariatni dianugerahi lima orang anak. Dua orang anak yang tertua lahir di Den Haag waktu ia menjabat Atase Nliliter di Negeri Belanda. Yang sulung bernama Bob Haryanto, yang kedua Haryanti Mirya, anak yang ketiga Rianto Nurhadi, yang keempat Adri Prambanto dan yang kelima Endah Marina.

  Keluarga kecil M.T Haryono merupakan keluarga kecil yang sangat bahagia, ia dan sang istri Mariatni gemar menanam bunga anggrek yang beraneka ragam dan warna. Hal ini mencerminkan bahwa ia dan sang istri merupakan orang yang tekun, sabar dan ulet.

--

  Disepertiga malam yang sunyi tercatat dalam sejarah yaitu pada tanggal 01 Oktober 1965 pukul 03.30 WIB anggota Tjakrabirawa yang menyebut diri mereka adalah Gerakan 30 September mendatangi rumah M.T Haryono dan Mariatni di Jalan Prambanan No 8. Seolah tau hal buruk yang akan terjadi Mariatni terbangun karena mendengar suara-suara riuh di pekarangan rumahnya. Ia lalu membangunkan M.T Haryono

"Mas bangun, perasaanku tidak enak, aku rasa ada beberapa orang yang sedang berada di pekarangan rumah kita." ujar Mariatni sembari membangunkan M.T Haryono yang sedang tertidur lelap. M.T Haryono pun terbangun dengan perasaan yang tidak enak pula, ditambah melihat ekspresi sang istri yang terlihat ketakutan.

"Kamu bawa anak-anak pergi ke kamar sebelah!, aku rasa diluar sana banyak orang yang sedang mencariku." seru M.T Haryono kepada sang istri.

"Nak ayo bangun, kita bersembunyi ke kamar sebelah." Ujar Mariatni sembari membangunkan anak-anaknya. "Huaa ada apa bu? Ini kan masih malam, kenapa ibu malah membangunkan kita?." tanya Rianto yang merupakan anak ke tiga dari M.T Haryono.

"Sudah-sudah kalian jangan banyak bertanya ya sekarang ikuti saja ibu kekamar sebelah, nanti ayah menyusul kalian." ucap M.T Haryono kepada anak-anaknya tersebut. Akhirnya Mariatni membawa kelima anaknya untuk bersembunyi di kamar sebelah.

  Beberapa lama setelah itu terdengar ketukan pintu dari luar yang diduga merupakan resimen Tjakrabirawa mengetuk pintu rumah.

Tok tok tok

"Permisi, selamat malam bisakah saya bertemu dengan Jendral M.T Haryono." ucap Sersan Boengkoes. Mendengar tidak ada jawaban dari dalam ia terus menerus mengetuk pintu dengan kasar

Tok tok tok

"Maaf, Jendral dipanggil oleh Presiden Soekarno untuk mengahadap sekarang juga." ucap Sersan Boengkoes sembari terus menerus mengetuk pintu rumah M.T Haryono.
"Jika ingin bertemu saya besok pagi saja di kantor jam 08.00." teriak M.T Haryono dari dalam rumah.

  Mendengar teriakan M.T Haryono dari dalam rumah, pasukan Tjakrabirawa itupun langsung mendobrak pintu rumah tersebut. M.T Haryono bergegas mematikan semua lampu yang berada didalam rumah itu dan ia langsung mencari tempat untuk bersembunyi. Kendati pintu rumah didobrak pada saat pintu tersebut terbuka ruangan didalam rumah tersebut gelap gulita seperti tidak ada kehidupan. Pasukan Tjakrabirawa itupun kebingungan dan langsung bergerak untuk mencari M.T Haryono.

"Semuanya berpencar, cari dia sampai dapat!." seru Sersan Boengkoes kepada para Pasukan Tjakrabirawa.

  Setelah semua pasukan Tjakrabirawa berpencar didalam ruang tamu, seketika sekelibat bayangan bergerak. Sersan Boengkoes langsung menembakkan senjatanya ke arah sosok yang bergerak itu.

Dor dor dor

  Bunyi tembakan menyeruak terdengar dipenjuru ruangan, tetesan darah pun mengalir diatas lantai ruangan tersebut.

Brukkk

  Terdengar sebuah raga yang jatuh tergeletak tak berdaya dilantai, darah segar mengalir keluar dari baju tidurnya. Tak disangkanya, sosok itu adalah Mayjen M.T. Haryono.


Peluru Boengkoes seketika menewaskannya.

  Jenazah M.T. Haryono kemudian dibawa oleh pasukan pimpinan Sersan Boengkoes. Regu tim ini melempar jenazahnya ke dalam truk untuk dibawa ke Lubang Buaya. Di Lubang Buaya itulah mereka disiksa hingga tewas dan jasadnya dimasukkan ke dalam sumur di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur.


  Jenazah baru ditemukan pada 4 Oktober 1965, di sumur tua dengan kedalaman sekitar 12 meter setelah dilakukan pencarian oleh satuan Resimen Para Anggota Komando Angkatan Darat (RPKAD) di kawasan hutan karet Lubang Buaya. Para jenderal diberi pemakaman kenegaraan. M.T Haryono dimakamkan dengan rekan-rekannya di Taman Makam Pahlawan di Kalibata pada tanggal 5 Oktober 1965. Pada hari yang sama, atas perintah Presiden Soekarno, ia secara anumerta dipromosikan dan menjadi Pahlawan Revolusi.

--

  Selain M.T Haryono terdapat 6 pahlawan revolusi lainnya yang dibunuh dan disiksa oleh pasukan Tjakrabirawa ini yaitu Jenderal Ahmad Yani, Mayjen R Soeprapto, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, Brigjen Sutoyo Siswodiharjo, dan Lettu Pierre Andreas Tendean.

  Ternyata tujuan utama G30S PKI ternyata adalah menggulingkan pemerintahan era Soekarno dan mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis. Seperti diketahui, PKI disebut memiliki lebih dari 3 juta anggota dan membuatnya menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia, setelah RRC dan Uni Soviet.

  Lalu pada akhirnya dimulai dari bulan Oktober terjadi Penumpasan G30SPKI semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi.
--

  Betapa hebatnya perjuangan para pahlawan dalam menghadapi integrasi yang terjadi pada saat setelah kemerdekaan bangsa ini, kita sebagai penerus bangsa wajib mengambil banyak pelajaran dan banyak hal dari kisah perjuangan para tokoh integrasi bangsa terutama Jendral M.T Haryono. Banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari beliau, semoga beliau ditempatkan ditempat terbaik disisi Tuhan Yang Maha Esa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun