Kami saling menatap. Lelaki itu menanti sebuah jawaban. Aku bangkit berniat meninggalkannya. Seketika tangannya meraih tanganku, menahan agar tetap di tempat ini. Sekarang dia bangkit, kami saling berhadapan. Kujawab pertanyaannya dengan sesingkat mungkin. Namun sepertinya ia menginginkan sebuah penjelasan.
“ Aku sedang memiliki masalah dalam keluarga. Lagipula, untuk apa tuan kemari? Dan bagaimana tuan tahu bahwa aku sedang berada di tempat ini? “
“ Ceritakan padaku, Lucia “
“ Tidak. Sebelum kau menjawab pertanyaanku, tuan “
“ Baiklah. Sepanjang mata kuliahku, wajahmu tak secerah sebelumnya. Aku mengikutimu sejak tiga hari yang lalu kemari. Aku bukan ingin mencampuri masalah orang lain, namun sepertinya kau membutuhkan sedikit bantuan. Satu lagi, diluar jam perkuliahan kau dapat memanggil namaku, Vito. Tak perlu menggunakan sebutan tuan “
Aku melangkahkan kaki, singgah di sebuah batu besar. Di tempat itu, aku menceritakan bahwa ayah tengah marah terhadapku. Vito menyimak hingga rela mengusap air mata yang terjatuh dari kelopak mataku. Matahari mulai enggan berlama-lama, aku menyaksikan sunset dengan bersandar di bahunya.
Berbaring diatas kasur, didalam kamarku yang sederhana ini. Aku masih memikirkan kejadian tadi bersama Vito. Bayangannya terlihat jelas, seakan tak ingin pergi dari hadapanku. Aku sudah berbohong kepada ayah ketika berkata bahwa aku menyukai Vito. Namun sepertinya, sekarang aku memakan perkataanku sendiri. Alurnya terasa sangat singkat, berjalan begitu saja.
“ Ini tidak boleh dibiarkan. Aku tidak boleh mencintai seorang manusia lagi. Tidak boleh. Lagipula, dalam mata manusia, rentang usiaku dan usianya sangat jauh. Tahun ini adalah ke tiga puluhnya, sedangkan aku ke delapan belas. Walaupun secara harfiah aku delapan puluh delapan tahun lebih tua darinya “
Kepalaku terasa sakit. Nafas menjadi cepat. Mencoba keluar dari kamar untuk memanggil ibu. Tapi
seketika aku terjatuh, dan benturan kepalaku terdengar sangat kencang. Ayah berlari melihatku tergeletak dilantai, ia menggendongku dalam meletakanku diatas kasur kembali. Setelah itu, ia memasukan cairan berwarna merah kedalam mulutku hingga aku tersadar. Masih dalam pelukan ayah, tangannya yang dingin mengusap kepalaku. Aku hanya menatapnya tanpa bersuara.
“ Bagaimana rasanya, Lucia? “