“ Jangan hidup seperi lalat yang hanya melihat kotoran yang terbuang. Hiduplah bagai sang lebah yang melihat keindahan sang bunga di taman Surgawi”
Hari keberangkatan ke tanah suci telah tiba. Sesuai paket travel yang kami ambil kami menggunakan pesawat Emirates yang nantinya dapat langsung mendarat di kota Madinah.
“Sayangg…ayo buruan, nanti ketinggalan lho…”kataku sedikit khawatir karena sang istri terlihat agak lamban bergerak.
“Santai aja napa….nga bakalan ketinggalan kok…nga usah terburu-buru gitu…” jawabnya agak dongkol.
Aku yang sudah turun duluan dari tangga pesawat, terdesak untuk semakin jauh maju ke depan.
Tiba-tiba….
Mobil bis yang mengangkut kami telah penuh oleh orang-orang yang turun dari pesawat. Dan mobilpun meninggalkan sang istri sendirian.
Aku terdiam, dan hanya bisa melihatnya dari jendela bis yang terus melaju menuju bandara.
Kami terpisah….
Di bandara, akhirnya kami bisa bertemu kembali, setelah sempat terpisah. Dia terlihat sempat “shock” karena terpisah denganku.
Sepanjang bandara sang istri hanya diam dan sepertinya ada perasaan bersalah telah berkata demikian.
Akupun mencoba mendekatinya dan memeluknya untuk memberikan rasa aman.
“Lain kali, ikuti aja apa kata suami yah…banyak dengar dan lihat yang baik yah” kataku mengingatkan.
“Iya dehhh….”katanya sambil menunduk malu tapi mulut mengkerut.
Ketika semua orang terlihat mengantri untuk keluar dari bandara.
Tiba-tiba seorang petugas menendangku dan melarangku untuk keluar.
“What happen….??”aku bertanya bingung.
Sang petugas hanya mengomel dalam bahasa Arab.
Aku tak paham, apa yag dikatakannya, dia hanya marah-marah dan memegang pasporku.
Ternyata dari tadi aku tidak melihatnya yang sedang duduk.
Jadinya dia sekarang menahan pasporku dan tidak ingin menyerahkannya. Sepertinya dia kecewa karena aku tidak melihatnya dan melewatinya begitu saja.
Akupun juga heran, kok bisa tidak melihatnya.
Setelah beberapa lama, akhirnya pasporku diberikan setelah mendapat bantuan dari pihak travel. Dia memberikan pasporku kembali dengan sedikit ocehan dimulutnya.
“Hmmmm, ini bukan perjalanan wisata seperti ke Australia, ini perjalanan ke tanah suci….”Aku mengingatkan diriku kembali.
Alhamdulillah, akhirnya semua berjalan dengan lancar kembali. Dan kami tiba di hotel yang besar dan megah pas depan Masjid Madinah yang sangat indah. Aku rebahkan tubuhku di kasur hotel yang empuk untuk sekedar beristrahat.
“Ehhhhh, ayah….malah tidur….ayooooo kita sholat ke masjid ayahhhh…..”Sang istri terlihat sedang bersemangat dan bersiap-siap untuk segera ke masjid.
“Masih……kelelahan aku sayang, sebentar yah….”kataku sambil menutup mata sebentar.
“Masya Allah…ayo dong ayah!!!…keburu telat nanti, kan ramai di masjidnya!!!…”ujarnya memberi semangat sambil memakai gamisnya yang berwarna hitam.
Wajah sang istri yang telah tersiram air suci dengan pakaian hitam makin memunculkan cahaya bulan yang terang menerangi seisi kamar.
“Baiklah sayang….” Akupun bangkit dan langsung berwudhu menuju masjid.
Kami turun dari kamar menuju lobby hotel yang megah dengan warna keemasan, kondisi masjid sangat bersih dan berkilauan. Semua pelayan berpakaian rapi dan necis siap melayani para tamu Allah. Aku merasa seperti seorang raja yang berada dalam kerajaan surga.
Kami turun dari hotel dan keluar menuju masjid. Beberapa orang yang ikut jalan bersama kami, terlihat meneteskan air mata haru. Aku sendiri tak henti-hentinya mengucapkan syukur alhamdulillah, dapat menginjak kota suci dan tanah suci Madinah dan Makkah.
Kami berdua tak sabar untuk segera masuk ke dalam masjid sang nabi yang kami cintai.
Didepan masjid terbuka lebar pintu gerbang yang sangat besar, sehingga mobil trontonpun rasanya dapat untuk masuk. Diseluruh pintu dihiasi kaligrafi quran yang sangat indah, rasanya ingin menciumnya, ketika terlihat beberapa orang menciumnya dengan penuh cinta.
Didalam masjid dekat Raudah seolah hadir seorang sang nabi Allah dengan kudanya menyambut kami dengan perasaan senang. “wahai kekasihku, umatku yang aku cintai, selamat datang di masjidku…semoga selalu dalam rahmat dan ridho Allah” Bayangannya sekejap menghilang.
Didepan terlihat sebuah makam nabi yang sangat besar tepat disebelah “taman surgaNya”. Surga yang aku dan istri impikan telah ada dihadapan. Suasana sangat tenang dan damai, ramai tapi menenangkan sang jiwa. Sangat banyak yang berdesakan untuk masuk ke dalam taman surga. Di Raudah “sang taman surga” di sebuah tempat sebelah mihrab sang nabi aku berdoa…
“Ya Allah… jadikan aku selalu menjadi manusia yang bermanfaat dan beramal sholeh serta menjadi penghuni surgaMu ya Allah SWT. Jadikan kami selalu menjadi hamba yang bersyukur, mampu berderma, dan memiliki kekasih sejati sepanjang masa dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah warahmah. Aamiin…” Kututup wajahku dengan usapan lembut jemari tanganku dengan rasa khusuk yang dalam.
Di dalam masjid, aku sangat terkagum dan terkesima dengan arsitektur masjid yang sangat indah dan islami. Sangat terasa nuansa kedamaian di dalam hati dan jiwa yang terdalam. Pantaslah orang semakin ketagihan untuk datang kesini.
“Subhanallah…”aku berucap tak berhenti.
Dalam hati, aku berniat jika ada dana kiranya dapat membangun masjid yang minimal mirip dengan masjid Madinah yang indah ini. Dimulai dengan memiliki anak yang bernama Madinah suatu hari nanti. “Allahuma shalli alaa Muhammad….” Ucapku berkali-kali…
Setelah menunaikan sholat di “taman surga”, mendadak ada seseorang yang berwajah Arab berpenampilan bersih, meminta uang 1 dollar, tapi aku malah memberikan 10 dollar sebagai sedekah. Tapi ditolaknya dengan berkata “1 dollar only…” Aku merasa dalam hati “wah, dikasih lebih banyak kok malah mau yang sedikit?....Aneh yah”
Aku lalu menarik uang 1 dollar dari saku celanaku yang lain dan memberikan kepadanya, lalu aku berbalik untuk sholat kembali. “Thank you…” katanya
Sesaat aku berbalik untuk melihatnya kembali, sang pemuda sudah tiada, lenyap dari pandangan mata.
Aku sempat mendengar pembicaraan, bahwa saat ini di Makkah sedang ramai dan akan sangat sulit jika besok kami datang untuk mendekati Hajar Aswad apalagi untuk menciumnya.
Aku jadi berfikir bagaimana caranya agar dapat mencium sang batu surgawi tanpa berdesakan tapi malah dipersilahkan dengan hormat oleh sang askar. Aku kan bukan orang penting. Aku lalu berdoa…..
“Ya Allah…kabulkanlah impianku ya Allah…kabulkanlah…..” sambil meniup tanganku dan kuusapkan ke seluruh wajah ini.
Besoknya kami bersama rombongan travel naik bis menuju kota Makkah Al Mukarromah. Disepanjang jalan sang Muthawwif memberikan penjelasan tentang umrah dan haji dengan cara yang menarik, sambil menikmati suasana pegunugan gurun yang tandus tak berpohon tapi penuh keberkahan. Kami tak bisa membayangkan bagaimana bisa daerah yang panas dan tandus begini, malah terasa seperti laksana surga yang dirindukan umat sedunia.
“Subhanallah. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan…”
Hari sudah menjelang malam, kami bersama rombongan tiba di kota Makkah. Beberapa anggota rombongan terlihat meneteskan air mata dan mengelapnya dengan jarinya.
Aku melihat sang istri juga ikut merasakan rasa terharu yang dalam…matanya merah tapi dengan raut wajah bahagia.
“Tour guide/muthawwif” mengajak kami semua untuk langsung masuk ke dalam Masjidil Haram, tanah haram bagi para kaum kafir. Beberapa orang langsung ikut thawaf qudum dan berusaha untuk mencium Hajar Aswad sebagai rasa sayang. Beberapa orang hanya terduduk diam, memandangi Baitullah dengan rasa takjub dan sayang.
Sayangnya, mereka kembali dengan rasa syukur dapat thawaf pertama kali, tapi tak mampu mencium Hajar Aswad karena kondisi Baitullah yang sangat ramai. Setiap orang yang ingin menciumnya malah terdorong keluar entah oleh siapa.
“Masya Allah…..Aduh…bagaimana yah caranya agar aku tidak berdesakan dan dimudahkan oleh Allah… Ya Allah bantu aku, mudahkan aku ya Allah” Tak henti-hentinya aku berdoa dalam hati.
Aku hanya sholat didepan Kabah….dan tak menyangka melihat yang tak terlihat. Sosok “malaikat putih” bagai seekor burung raksasa yang menutupi Kabah dengan sayapnya. Bagai seorang bidadari yang berpakaian gamis yang mengangkat kedua belah tangannya….
Samar bercahaya tapi jelas memiliki bentuk bagai burung.
“Masya Allah…..pertanda apakah ini….?”
“Mengapa tak ada orang lain yang memperhatikannya…selama ini….?
Aku melihatnya sendiri atau hanya halusinasi, entahlah. Semoga nanti akan terungkap.
Esoknya, setelah sholat subuh aku merasakan energi dan jiwa yang luar biasa bersemangatnya.
Aku kembali ingin beribadah thawaf dan mencium sang batu surgawi, namun ternyata justru makin ramai dan padat sekali….
Matahari juga sangat terik dan panas menyengat, karena tanpa pelindung matahari.
“Ya Allah, bantu kau ya Allah, lindungi aku ya Allah…payungi aku ya Allah…”
Mendadak ada seseorang keturunan Arab Eropa yang juga dengan thawaf disebelahku. Badannya yang tinggi besar hampir 2 meter membuatku terlindungi dari paparan sinar matahari yang panas selama thawaf. Aku berjalan dibawah bayangnya. Akupun thawaf berputar beberapa kali bersamanya. “Alhamdulillah terima kasih ya Allah atas lindunganMu…”
Selesai thawaf qudum, aku mengantri untuk menunggu giliran mencium Hajar Aswad. Walaupun banyak juga yang tidak mau antri, tapi aku pasrah dan sabar menunggu giliran dibawah naungan Kabah dan Askar yang memperhatikan, sambil banyak mengucapkan doa, zikir dan sholawat.
Tiba-tiba, datang beberapa Askar yang membawa beberapa tanda dan memberi pembatas serta meminta semuanya untuk keluar dari putaran Kabah. Lalu terlihat sebuah mobil kecil yang memiliki sapu mesin pembersih lantai.
“Sepertinya sebentar lagi lantai sekitar Kabah akan segera dibersihkan.” Aku berfikir dalam hati.
Otomatis keadaan menjadi lengang dan aku yang sedang menunggu antrian malah dipersilahkan oleh sang askar untuk mencium Hajar Aswad dengan baik tanpa harus berdesakan.
Aku dengan penuh rasa syukur dan senang, langsung mengambim tempat untuk berdiri pas didepan Hajar Aswad.
Dengan perlahan aku maju untuk menciumnya dan sebelum menciumnya aku lihat dengan jelas 3 batu kecil yang bercahaya lebih terang dalam batu hitam tersebut.
Pandangan yang sangat jarang orang ketahui.
“Alhamdulillah ya Allah kuasaMu meliputi semua…” aku semakin khusuk bersyukur.
Balik dari mencium sang batu suci, aku berjalan menyusuri jalan-jalan kota Madinah yang bersih dan indah walaupun banyak penjual yang menawarkan dagangannya.
Aku masuk ke dalam hotel untuk segera beristrahat bersama sang kekasih. Berdua bersama kekasih hati, sang istri berkunjung ke makam nabi dan Baitullah sungguh sebuah mimpi terbaik yang menjadi nyata.
Kesendirianku, kesedihanku telah dihapuskan olehNya, digantikan dengan anugrah dan rahmat yang tiada habisnya. Hubunganku denganNya aku harmoniskan dengan mencintai sang kekasih. MencintaiNya dan mencintainya adalah wujud dari rasa cinta itu sendiri yang berasal dari zat Sang Maha Cinta dan Kasih.
Syairku yang pernah kutulis di sebuah buku hidup, kusimpan sementara di “atas langit” di sebuah media langit.
“Saat ini, mulai hari ini aku akan berusaha untuk selalu mencintai sang cinta dan membuatnya bahagia hingga ke anak cucu keturunanku kelak.” Janjiku pada Zat Maha Cinta.
Akhirnya kami selesai menjalankan umrah dan melakukan thawaf wada sebagai thawaf perpisahan. Tiba di Jeddah kami mampir di “floating mosque” masjid terapung kota Jeddah yang terpajang indah di laut Merah.
Cinta kamipun bersemi dan mengapung lepas terbang diatas lautan yang membiru.
Ibadah menuju cintaNya, sunnah sang nabi kami jalankan sebagai bentuk amalan pahala dengan nikmat yang penuh berkah.
Sang matahari sore mengantar kami ke hotel di Jeddah, dan masuk hingga ke jendela kamar yang indah dan romantis.
Wangi harum bunga semerbak menyelimuti kamar yang bernuansa lembut penuh kasih dan sayang berwarna pastel. Kamar putih romantis dengan corak bunga yang lembut.
Sang raja sehari telah bersuci, menanti sang permaisuri yang menari di pancuran air suci. Tak kuasa sang raja meminum madu sang sari bunga. Hingga kini perlahan sang bulan terselimutkan oleh sang matahari hingga cahayanya tak tampak, yang ada kegelapan malam yang tenang.
Sang bidadari yang suci, memeluk sang jiwa bagai pertemuan pertama yang telah terpisah sejuta tahun cahaya.
Sepasang suami istri di peraduan suci, meraih cinta dan cintaNya. Bagai memasuki lembaran buku baru yang baru saja dibuka dari hijabnya.
Putih dan suci bagai mata air surgawi. Mata yang bercahaya memancarkan cahaya yang selembut rembulan semesta alam. Tubuh sang bidadari menari bak penari dari langit nan biru. Kuangkat sang kekasih ke peraduan, dan memadu cinta hingga pagi menjelang.
Cinta yang murni dari masjid untuk masjid, bagai curahan rahmat yang datang tiada terhenti.
Cinta yang berbalut air suci hingga kembali suci kembali. Bagai air hujan yang turun dari lembah ke lautan yang dalam, menyusur perlahan masuk ke setiap pori tanah, memeluk dahan, memetik sang bunga, bagai sang lebah menghirup sari bunga yang sedang berkembang.
Kehidupan baru sang insan akan terus berlanjut hingga jutaan generasi yang menyusuri jalan jutaan kilometer hingga ke pintu yang cahaya nan suci.
Dan aku buka kitab yang sedang menunggu untuk dibuka dan kini kutemukan kembali yang kucari.
“Segala puji bagiMu ya Allah, Tuhan semesta alam….” Aku bersyukur tiada henti.
Perjalanan baru kamipun kembali dimulai, dengan pesawat terbaik Indonesia Garuda airline mengantar kami kembali ke tanah air, negeri sang tetesan surgawi.
Dalam pesawat aku membuka secarik kertas putih dan disitu terbaca syair yang baru.
Menulis Mimpi Baru
Kembali ke awal.
Titik permulaan.
Mulai dari nol.
Kembali mulai.
Jatuh terhempas
Walaupun bukan ke tanah
Merasakan pahit gelisah
Walaupun bukan minuman
Menulis mimpi baru.
Harapan baru.
Tujuan baru…
Agar hidup berubah.
Kutahu kan terjadi
Tapi ku tak tahu rasa
Rasa yang menusuk
Bagai jarum tak terlihat
Menusuk hati dan jiwa
Terkoyak habis
Merubah segala
Segala yang ada.
Hanya ada satu tujuan
Tujuan terindah
Tempat suci dan disucikan
Tempat yang dituliskan
Dari aliran sungai yang mengalir
Tercipta danau bermata indah
Hijau dan semerbak
Wangi dan damai
Berkumpul bersama
Ceria bersama
Bahagia bersama
Harta terindah.
Atas nama cinta
Cinta yang abadi
Yang suci dan mensucikan.
Dari Sang Maha Suci.
Meraih negeri terjauh
Dengan negeri yang ada
Membangun rumah suci
Tuk negeri tak tersentuh…
Di nusantara kami tiba dengan selamat. Dan malam pertama kami lewati di bumi Indonesia. “Sang malaikat” yang ikut bersama kami memberikan “filmNya” yang dimasukkan dalam mimpi sang istri.
Keesokan paginya, sambil menyiapkan sarapan sang istri bercerita tentang mimpinya semalam.
“Ayah….semalam aku bermimpi…aneh deh…”
“Oh…..yah mimpi tentang apa itu????” Aku bertanya dengan rasa ingin tahu.
“Iya, semalam aku bermimpi sedang sendirian berada di sekitar Kabah….” Istri mulai bercerita.
“Lalu……?” aku semakin tak sabar ingin mendengarnya.
“Lalu tiba-tiba, datang sesosok makhluk yang badannya semua tertutupi hijab, sampai-sampai aku tak dapat melihat wajahnya”
“Hmmmm, lalu….apa yang dilakukannya terhadapmu??” Aku bertanya lagi.
“Dia menghampiriku dan memberikan seorang anak bayi yang digendongnya di depan Kabah dan akumenerimanya” Kata sang istri.
“Oh….yah….?”
“Masya Allah… itu pertanda dari Allah, itu tandaNya…Buruan kita ke rumah sakit dan periksa ke dokter…!!!” Aku langsung bersiap-siap dan mengajak sang istri untuk segera berangkat.
Perjalanan selama 1 jam ke rumah sakit terasa sangat menyenangkan karena ada kemungkinan “proposal” doa kami dikabulkan olehNya di Makkah sesuai dengan mimpi semalam. Aku percaya itu. Mimpi itu nyata.
Di rumah sakit, kami harus antri menunggu selama 2 jam lamanya, untuk bisa berkonsultasi dengan sang dokter favorit ini. Dokter lain semuanya sepi hanya dokter ini yang paling ramai dikunjungi. Ini disebabkan karena sikap sang dokter yang selalu ramah dan tersenyum. Setiap kali orang masuk ke ruang dokter, akan tersenyum lebar saat keluar ruangan. Dokter ini bekerja bagai malaikat.
“Ibu silahkan masuk ke ruangan, biar saya periksa dengan USG” kata sang dokter dengan senyumnya yang ramah sambil berdiri dan menjabat tangan kami dengan erat.
Setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti bersama suster yang membantunya. Dokter menghela napasnya dan berkata,
“Selamat yah bapak ibu, anda akan menjadi seorang ayah dan ibu. Di USG tadi terlihat di rahim ibu ada janin…”
“Alhamdulillah ya Allah….akhirnya…tidak sia-sia doa dan ikhtiar kami. Terima kasih ya Allah…Terima kasih banyak dokter…” Puja kami tersenyum riang serempak, sambil terus menjabat tangannya. Sang dokterpun tersenyum bahagia, bagai malaikat tak bersayap yang terus bekerja untuk makhlukNya demi cinta dan ridhoNya.
Keluar dari ruangan, kami tak hentinya untuk tersenyum lebar dan rasanya sangat bahagia yang tak terucap dapat menantikan lahirnya seorang anak manusia dari doa yang diijabah.
“Akankah itulah “sosok” yang kugambar?...”
Wallahu alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H