Aku sempat mendengar pembicaraan, bahwa saat ini di Makkah sedang ramai dan akan sangat sulit jika besok kami datang untuk mendekati Hajar Aswad apalagi untuk menciumnya.
Aku jadi berfikir bagaimana caranya agar dapat mencium sang batu surgawi tanpa berdesakan tapi malah dipersilahkan dengan hormat oleh sang askar. Aku kan bukan orang penting. Aku lalu berdoa…..
“Ya Allah…kabulkanlah impianku ya Allah…kabulkanlah…..” sambil meniup tanganku dan kuusapkan ke seluruh wajah ini.
Besoknya kami bersama rombongan travel naik bis menuju kota Makkah Al Mukarromah. Disepanjang jalan sang Muthawwif memberikan penjelasan tentang umrah dan haji dengan cara yang menarik, sambil menikmati suasana pegunugan gurun yang tandus tak berpohon tapi penuh keberkahan. Kami tak bisa membayangkan bagaimana bisa daerah yang panas dan tandus begini, malah terasa seperti laksana surga yang dirindukan umat sedunia.
“Subhanallah. Maka nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan…”
Hari sudah menjelang malam, kami bersama rombongan tiba di kota Makkah. Beberapa anggota rombongan terlihat meneteskan air mata dan mengelapnya dengan jarinya.
Aku melihat sang istri juga ikut merasakan rasa terharu yang dalam…matanya merah tapi dengan raut wajah bahagia.
“Tour guide/muthawwif” mengajak kami semua untuk langsung masuk ke dalam Masjidil Haram, tanah haram bagi para kaum kafir. Beberapa orang langsung ikut thawaf qudum dan berusaha untuk mencium Hajar Aswad sebagai rasa sayang. Beberapa orang hanya terduduk diam, memandangi Baitullah dengan rasa takjub dan sayang.
Sayangnya, mereka kembali dengan rasa syukur dapat thawaf pertama kali, tapi tak mampu mencium Hajar Aswad karena kondisi Baitullah yang sangat ramai. Setiap orang yang ingin menciumnya malah terdorong keluar entah oleh siapa.
“Masya Allah…..Aduh…bagaimana yah caranya agar aku tidak berdesakan dan dimudahkan oleh Allah… Ya Allah bantu aku, mudahkan aku ya Allah” Tak henti-hentinya aku berdoa dalam hati.
Aku hanya sholat didepan Kabah….dan tak menyangka melihat yang tak terlihat. Sosok “malaikat putih” bagai seekor burung raksasa yang menutupi Kabah dengan sayapnya. Bagai seorang bidadari yang berpakaian gamis yang mengangkat kedua belah tangannya….