Mohon tunggu...
asni asueb
asni asueb Mohon Tunggu... Penjahit - Mencoba kembali di dunia menulis

menyukai dunia menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jujur Sekalipun Itu Perih (Percakapan yang Tak Terselesaikan)

19 Februari 2021   21:15 Diperbarui: 19 Februari 2021   21:31 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

   Mas Wijaya  ; Siang sayang

Di saat aku sedang fokus menulis novel, sekilas melihat sapa mas Wijaya di ponsel. Cukup lama aku biarkan. Namun hatiku tergerak untuk menjawab, aku tak ingin mas Wijaya curiga dengan keputusan yang aku ambil untuk mengalah dari semua cerita ini.

Aku ; Siang mas

Mas Wijaya ; Semoga di siang Jumat ini adek sayang dilimpahkan kesehatan selalu. Aamiin

Tak biasanya mas Wijaya menulis seperti ini, ada apa ya dengan mas Wijaya? tanyaku dalam hati. Semoga mas Wijaya tak bertengkar lagi dengan istrinya.

Aku ; Aamiin. Begitu pula dengan mas, sehat selalu bersama keluarga.
Mas Wijaya ;  Terima kasih sayang

Aku tahu kekakuan dalam perbincangan telah terjadi, perbincangan yang tak biasanya, seakan ada skenario yang mesti diikuti dan dijalani. Seakan  kita hanya sebagai pelakon  dan bukan sutradara serta penulisnya.

Aku ; Kok nggak ada puisi atau lagu siang ini.


Mas Wijaya ;  Entah,  sejak semalam ada rasa takut yang tidak dipahami.

Aku ; Kenapa takut
            Apa yang mas takutkan

Mas Wijaya; Mas juga tidak tahu, sekian lama kenal adek. Baru kali ini merasa takut dan menjadi pengecut. Dulu tak sedikit pun ada rasa takut, entah berapa banyak yang menyukai adek, mas tidak takut. Tetapi semalam rasa takut itu kental terasa. Mas sangat takut.

Ada apa gerangan dengan mas Wijaya, tidak pernah dia bicara seperti ini, menjadi laki laki pengecut adalah hal yang paling dibenci dan dijauhinya, kenapa tiba tiba dia bilang seperti ini. Begitu rumitkah persoalan yang kau hadapi mas atau kau merasakan apa yang aku rasakan, tapi sudahlah cukup aku yang tahu bagaimana rasanya.

Aku ; Pasti ada penyebabnya mas.

Mas Wijaya ; Mas tidak tahu sayang, mas sendiri bingung. Semoga selepas Jumatan nanti pikiran ini  bisa sedikit lebih tenang. 

Aku ; Mas takut adek menjauh atau sebaliknya

Mas Wijaya ; Mas pulang dulu. Semoga adek sehat selalu ya sayang. Mas sayang adek.

Aku ; Adek tunggu jawaban mas, apa yang menghantui pikiran mas.

Aku kembali meneruskan, menulis novel. Namun konsentrasiku terpecah dengan apa yang di tulis mas Wijaya tadi. Apakah dia merasakan apa yang aku tulis semalam, tentang kemarahan dan kegundahanku. 

Apakah batin kami bisa kembali merasakan hal hal yang menjadi kegalauan hati. Setelah sholat  dzuhur,  aku mencoba meneruskan kembali menulis sembari menunggu suami pulang dari sholat Jumat dan menyiapkan makan siangnya sebelum berangkat kembali ke kantor.

Setelah suami berangkat ke kantor,  aku kembali meneruskan novelku, tapi belum ada tanda tanda mas Wijaya  menelepon aku, cukup lama aku menunggu padahal aku lihat sekitar jam 13.30 ponselnya  sudah aktif. Aku mencoba menyapa, walau terasa lama mas Wijaya menjawabnya.

Aku ; Sebenarnya ada apa mas.

Mas Wijaya ; Tak tahulah mungkin perasaan saja

Aku  ; Pasti ada penyebabnya, nggak mungkin tanpa penyebab.

Mas Wijaya ; Sudahlah dek, tak usah terlalu dirisaukan yang terpenting kita sama sama sehat.

Perasaanku membacanya seperti ketus dan ingin menyudahi percakapan ini. aku kembali membalasnya

Aku ; Bukankah mas sendiri yang bilang merasa takut, kalau tidak ada yang mesti ditakutkan kenapa ada rasa takut. Sebenarnya ada apa

Mas Wijaya ; Iya mas sendiri tidak tahu penyebabnya, hanya perasaan itu bergelantungan di pikiran mas.

Aku ; Pasti ada pemicunya, nggak mungkin muncul begitu saja, contoh hati adek nggak tenang karena anak belum pulang atau adek merasa ada yang ingin menyakitkan atau menjauhi.

Mas Wijaya : Mas benar-benar tidak tahu, selesai sholat malam itu terasa cemas tak menentu.

Aku  ; Coba mas bawa tenang dulu. Apa ... Mas takut istri mas tahu karena masih sering menghubungi adek secara diam diam. Masihkah  istri mas sidak isi ponsel mas atau mas diam-diam ingin menjauhi adek.

Mas Wijaya ; Tidak... tidak semuanya!

Aku ; Kalau itu yang terbaik.

Mas Wijaya ; Iya, semoga kita sama-sama mendapatkan yang terbaik, mas kerja dulu ya dek.

Aku ; Berarti benar mas harus memilih

Hanya di baca tanpa ada jawaban.

Aku ; Adek mengenal mas, bukan kemarin sore, walau kita tidak pernah dipertemukan bertahun tahun. Jujur itu memang menyakitkan. Tak ada salahnya berkata jujur hasilnya tetap sama.

Kembali tanpa dijawab hanya di baca. aku kembali menulis, kebiasaan mas Wijaya, kalau aku sudah bertubi- tubi bertanya dia akan diam dan menghilang, dan muncul lagi dan seakan tak terjadi apa apa. kebiasaan Klise. Aku mengirimkan beberapa tulisanku yang berkaitan dengan semua dan rasa takutnya.

Aku ;Mungkin tulisan ini ada kaitannya dengan apa yang mas rasa.

Aku ; Mungkin bisa menjawab kegelisahan dan ketakutan mas.

Aku; Mungkin saat adek buat mas merasakan semua. Kegalauan adek, kemarahan, dan kebencian. Tapi adek tak mampu mengungkapkan, menjaga rasa mas

Aku ; Keinginan adek hanya satu, ingin berbincang dengan mas tanpa sembunyi-sembunyi, apa salah? dan istri mas bisa menganggap adek seperti adek sendiri dan bukan pengganggu, yang selama ini disematkan di hatinya.

Aku ; Selayaknya kakak dan adik seperti yang mamak  dan bapak amanahkan

Aku ; Jika kemarin mas lihat, sikap adek dingin dan tidak seperti biasanya.  Agar mas membenci  dan sekaligus marah atas perlakuan adek, setidaknya ada alasan  yang tepat untuk menjauh.

Apa yang aku tulis di ponselnya tak satu pun di jawabnya.  Tiga jam lebih aku menunggu  mas Wijaya menjawab, tapi tak satu pun di jawab hanya di baca. Kesal rasanya tapi itulah kebiasaan mas Wijaya, akan mendiamkan aku, hingga hatiku luluh kembali dan berbincang seperti tanpa terjadi apa apa.

Mas, itu dulu ketika aku masih labil - labilnya, tak susah kau membujukku jika aku marah padamu, tapi sekarang aku wanita dewasa yang mempunyai anak dan suami. Aku ingin tak berlarut - larut semua menjadi selesai dengan baik.

Mas, telepon dengan sembunyi itu tidak nyaman . Mas di mata suamiku adalah kakakku dan anak anakku adalah  pak De mereka. Sekarang tinggal keluarga mas. Kalau tidak aku akan memblokir nomor mas, dari pada aku merasa tidak nyaman. Biarlah aku menanggung dosa atas amanah mamak dan bapak yang tidak aku laksanakan dari pada merasa bersalah sepanjang hidupku.

Ruang Kosong, 19022021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun