Mas Wijaya; Mas juga tidak tahu, sekian lama kenal adek. Baru kali ini merasa takut dan menjadi pengecut. Dulu tak sedikit pun ada rasa takut, entah berapa banyak yang menyukai adek, mas tidak takut. Tetapi semalam rasa takut itu kental terasa. Mas sangat takut.
Ada apa gerangan dengan mas Wijaya, tidak pernah dia bicara seperti ini, menjadi laki laki pengecut adalah hal yang paling dibenci dan dijauhinya, kenapa tiba tiba dia bilang seperti ini. Begitu rumitkah persoalan yang kau hadapi mas atau kau merasakan apa yang aku rasakan, tapi sudahlah cukup aku yang tahu bagaimana rasanya.
Aku ; Pasti ada penyebabnya mas.
Mas Wijaya ; Mas tidak tahu sayang, mas sendiri bingung. Semoga selepas Jumatan nanti pikiran ini  bisa sedikit lebih tenang.Â
Aku ; Mas takut adek menjauh atau sebaliknya
Mas Wijaya ; Mas pulang dulu. Semoga adek sehat selalu ya sayang. Mas sayang adek.
Aku ; Adek tunggu jawaban mas, apa yang menghantui pikiran mas.
Aku kembali meneruskan, menulis novel. Namun konsentrasiku terpecah dengan apa yang di tulis mas Wijaya tadi. Apakah dia merasakan apa yang aku tulis semalam, tentang kemarahan dan kegundahanku.Â
Apakah batin kami bisa kembali merasakan hal hal yang menjadi kegalauan hati. Setelah sholat  dzuhur,  aku mencoba meneruskan kembali menulis sembari menunggu suami pulang dari sholat Jumat dan menyiapkan makan siangnya sebelum berangkat kembali ke kantor.
Setelah suami berangkat ke kantor,  aku kembali meneruskan novelku, tapi belum ada tanda tanda mas Wijaya  menelepon aku, cukup lama aku menunggu padahal aku lihat sekitar jam 13.30 ponselnya  sudah aktif. Aku mencoba menyapa, walau terasa lama mas Wijaya menjawabnya.
Aku ; Sebenarnya ada apa mas.