REVOLUSI SPIRITUAL
Pesta demokrasi yang salah kaprah
Tradisi pertarungan politik dalam demokrasi di Indonesia bisa dibilang tidak ada beda dengan di negara-negara Barat yang juga menganut demokrasi konvesional, kalau tidak boleh disebut sebagai demokrasi primititif.
Yaitu demokrasi salah kaprah yang hanya ditandai dengan adu banyak-banyakan suara pemilih. Artinya yang dianggap benar dan menang adalah yang paling banyak suaranya. Demokrasi seperti itu agaknya harus ditinjau kembali atau diuji lagi kebenarannya.
Dalam Pemilu. Kalau kelompok yang brengsek yang banyak maka yang dianggap benar adalah yang brengsek. Pada hal yang brengsek mendapatkan suara banyak dengan menghalalkan segala cara.
Sebagai contoh. Ada kemungkinan Pilkada DKI Jakarta 2017 berlangsung bukan saja dalam demokrasi konvesional. Tetapi lebih buruk lagi, yaitu dalam demokrasi yang "primitif."
Anomali demokrasiÂ
Mengingat bahwa jumlah suara menjadi parameter demokrasi yang bersifat harus mengalahkan yang lain. Ternyata sangat mendorong timbulnya banyak anomali demokrasi.
Wujud anomali antara lain, rakyat sebagai pemilik kekuasaan negara bisa sering menjadi korban demokrasi primitif karena ambisi elit politik yang mengaku demokratis sering bersikap memaksakan tuntutan atas hasil penghitungan suara pemilu yang memenangkan pihak yang menang.
Demokrasi yang demikian bisa berpengaruh pada jiwa rakyat untuk cenderung ikut bersikap ngotot mau menang sendiri atau tidak perlu malu menjual suaranya dengan harga tidak sepatutnya atau "murah."
Demokrasi warisan leluhur
Demokrasi yang diwariskan leluhur umat manusia---Bangsa Indonesia, yang bijak berwujud kerja sama---gotong royong, bermusyawarah untuk kebaikan kepentingan bersama. Yaitu demokrasi yang menghadirkan kesejahteraan bersama yang berkeadilan.
Dalam demokrasi yang diwariskan para leluhur tidak ada kepentingan dinasti, golongan atau kelompok yang mau dengan sengaja mengurangi kesejahteraan siapa pun pribadi sesamanya. Dan tidak ada seorang pun yang faham demokrasi kukuh berpendirian tidak mau peduli dengan kepentingan bersama.
Kampanye yang menjual penderitaan rakyat
Pesta demokrasi pasti diwarnai pertarungan "program"---janji kampanye, antar parpol.
Dan yang pasti kampanye seringkali diikuti dengan pertarungan kepentingan yang menjual penderitaan rakyat sebagai modal untuk kemenangan partainya. Terlebih di negara-negara yang masih tergolong sebagai negara sedang berkembang. Atau negara yang sedang dalam proses belajar bernegara.
Mungkin begitu pula kiranya dengan semua Parpol Indonesia dalam menggunakan demokrasi untuk menyelenggarakan negara sampai saat ini?
Semua parpol, ahli tatanegara dan ahli hukum di negara ini seperti masih belajar praktik bernegara di dalam negara yang sudah sempurna berdiri.
Buktinya, pada setiap rezim berkuasa tidak pernah sepi dengan memperdebatkan kebenaran atas kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah. Mungkin agak bisa dikecualikan ketika zaman rezim Soeharto.
Demokrasi buta atau liar
Sejak zaman Bung Karno sampai zaman "Now" demokrasi yang berisi pertarungan kepentingan demi kekuasaan yang menguasai seluruh kekuasaan diperaktikkan secara "primitif" kalau tidak bisa dikatakan buta atau liar. Â Demokrasi tanpa aturan. Demi kemenangan dalam pemilu-pemilu.
Ya. Dipraktikkan secara primitif dan "liar" karena yang kalah pasti merasa dicurangi. Yang menang pasti dituduh macam-macam. Karena dekat dengan yang berkuasa, banyak duit, mahir dan ampuh merekayasa keunggulan mutlak lewat survei dan sebagainya.
Keliaran demokrasi yang buta itulah yang terpaksa membuat Bung Karno harus menyerukan perlunya "demokrasi terpimpin" dalam manifesto politiknya yang terkenal sebagai Manipol USDEK.
Kampanye membeli kesadaran rakyat
Praktik kampanye Pemilu yang membakar rasa permusuhan rakyat terhadap suatu partai hendaknya segera diakhiri. Khususnya pada Pilpres 2019.
Ada baiknya kampanye---setiap "pemilu" hendaknya berganti paradigma. Yang sudah-sudah dalam kampanye berparadigma menjual janji dan menjajakan aspirasi partai.
Maka pada kampanye-kampanye yang akan datang hendaknya semua parpol berusaha "membeli" kesadaran rakyat untuk tidak salah memberikan suara demi kemenangan bagi mereka yang selalu "mengidam  jadi penguasa."
Bebaskan rakyat untuk memilih siapa pun yang dipercaya. Bukan memilih mereka yang ngotot minta-minta dipercaya.
Tuhan Mewajibkan pemimpin berbakti kepada yang dipimpinÂ
Rakyat harus disadarkan bahwa Tuhan tidak butuh bakti seorang pemimpim bangsa KepadaNYA.
Tuhan mewajibkan seluruh pemimpin bangsa Indonesia mutlak harus berbakti kepada bangsanya. Seperti yang diteladankan pada zaman para sahabat Nabi Muhammad saw.
Rakyat harus dihimbau untuk memilih pemimpin-peminpin yang tegas, cerdas dan terbuka apa adanya. Pemimpin yang tidak berjubah kepalsuan.
Rakyat harus disadarkan bahwa pemimpin yang benar adalah yang tidak takut disalahkan, dihujat ataupun dihina. Apa lagi hanya dikritik atau difitnah. Karena di negara hukum siapa pun harus bertanggungjawab atas ucapan dan perbuatannya.
Pemimpin yang benar-benar menerima dan menghargai kehormatan "dipercaya rakyat" pasti menjaga kehormatan yang diterima. Dengan cara taat konstitusi, berani mengaku salah dan siap dihukum demi kehormatan negara dan bangsanya.
Ide awal mendirikan negara
Ide awal Bangsa Indonesia menyelenggarakan negara adalah secara bergotong royong. Bukan dengan cara bersaing atau bertarung berebut kekuasaan seperti yang dipraktikkan selama ini. Meski pertarungan politik juga di singgung dalam pidato Bung Karno 1 Juni 1945. Tetapi perdebatan politik di dewan perwakilan rakyat. Bukan di mimbar-mimbar kampanye.
Pertarungan politik di zaman Bung Karno sangat alami. Karena setiap kekuatan politik yang berjuang untuk Indonesia merdeka dihormati dan diakui tidak semua seideologi yang sama dengan Bung Karno.
Jika toh mereka semula terpaksa ikut menerima Pancasila sebagai dasar negara sangat bisa dimaklumi karena mungkin Pancasila dianggap bisa menerima aspirasi dari semua ideologi. Baik yang berwawasan kebangsaan, marxis, islam maupun yang berwawasan tradisional yang termasuk yang dianut para bangsawan yang berdarah penguasa nusantara dan sebagainya.
Perjuangan berat membangun jiwa bangsa.
Perjuangan berat Bung Karno tidak hanya menghadapi perlawanan kawan-kawan seperjuangan yang agaknya tidak lagi bisa menerima Pancasila yang mungkin dianggapnya sebagai ideologi yang masih baru, belum diuji dan belum jelas benar untuk dipakai sebagai ideologi negara.
Bung Karno juga harus berjuang keras melawan kekuatan asing yang luar biasa hebat yang ingin memecah belah bangsa dan negara agar kekayaan negeri ini tidak hanya dinikmati oleh Bangsa Indonesia sendiri.
Perjuangan berat Bung Karno yang sangat menentukan adalah membangun jiwa rakyatnya agar memiliki kebanggaan atas bangsa dan negaranya.
Perjuangan membangun jiwa bangsa bisa dikatakan dari nol besar. Karena sebelum proklamasi rakyat Indonesia sepenuhnya adalah orang-orang berjiwa jajahan negara lain.
Hari ini Bangsa Indonesia tampak bangga dan semakin bersyukur dengan kebangsaan dan negaranya. Â Dan yang demikian itu bisa diakui bahwa jiwa bangsa yang bersyukur atas negaranya itulah jiwa Indonesia yang dibangun oleh Bung Karno. Dan berhasil.
Poros-poros kekuatan partai melecehkan demokrasi
Sungguh sangat kurang elok jika tradisi pesta demokrasi di negeri ini sangat diwarnai ulah parpol-parpol yang berusaha saling menjalin poros-porosan.
Menjalin poros kekuatan pasti untuk memperkosa pilihan rakyat dengan kantong kresek isi sembako sekadarnya. Dan lebih memalukan lagi jika poros kekuatan itu mengerahkan pula pasukan tuyul yang menyebarkan "ayat-ayat" SARA di tengah rakyat yang taat beribadah.
Hal demikian mungkin sangat menunjukkan rendahnya mutu demokrasi di jiwa kaum elit politik di Indonesia.
Capres tunggal butuh Cawapres sebagai kembarannya
Menjelang Pilpres 2019. Buat apa banyak tokoh bangsa di negeri ini sibuk mencari orang untuk dipetandingkan melawan Presiden Jokowi?
Jangan bilang bahwa tidak boleh Presiden Jokowi selaku petahana maju sebagai Capres tunggal.
Sungguh mengada-ada dengan mengatakan bahwa jika hanya ada Capres tunggal berarti menunjukkan kemunduran negara dalam berdemokrasi.
Bung Karno dan  juga Pak Harto. Mereka berdua tidak pernah dihadapkan dengan sosok lain sebagai pesaing maupun sebagai tandingan.
Capres tunggal tidak diharamkan di negeri ini. Selama yang bersangkutan bersedia ikhlas dan sanggup menyerahkan "kemerdekaan dan kepentingan pribadi" atas keluarganya. Sanggup menjadi "satrio piningit" menurut Pujangga Ronggowarsito. Dan yang bersangkutan tidak minta syarat harus ada Capres lain.
Seorang Capres yang butuh pesaing menunjukkan bahwa dia menghormati orang lain yang sepantasnya dimajukan juga sebagai Capres. Tetapi juga bisa menunjukkan ada "keraguan" untuk maju sendirian tanpa ada tandingan.
Bahwa pribadi Capres yang bersangkutan sangat butuh Cawapres yang "sejiwa" sebagai "kembarannya," menunjukkan bahwa dirinya tidak sanggup memimpin negeri ini sendirian. Menjadi Presiden tanpa wakil Presiden di NKRI sangat mungkin akan menjadikan penyelenggaraan negara kurang sempurna. Hal demikian pernah terjadi pada zaman Bung Karno dan Pak Habibie.
Kedewasaan demokrasi
Menurut penulis. Demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi murni yang pantang memaksakan kehendak.
Pantang "memperalat" rakyat atau pun lembaga apa pun di luar kepentingan bangsa dan negara. Kalau perlu "negara demokrasi" harus bisa berlaku otoriter terhadap semua lembaga yang ada dalam negara. Tetapi bukan otoriter terhadap rakyat.
Demokrasi di Indonesia tidak membebaskan setiap orang berbicara semaunya yang bisa merusak tatanilai kehidupan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi di Indonesia tidak membebaskan rakyat untuk membentuk organisasi yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Rakyat bebas membentuk organisasi sepanjang untuk memperkuat persatuan dalam kesatuan bangsa.
Sangat dilarang mendirikan organisasi hanya untuk membela golongan tertentu. Semua golongan yang ada dalam negara dibela dan dilindungi negara bila terancam.
Demokrasi di Indonesia menghargai dan menerima pemikiran dari siapa pun yang bermanfaat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pancasila bagi NKRI adalah hukum mutlak kehidupan bernegaraÂ
Penyelenggara dan pemilik negara di negeri ini harus tahu bahwa konstitusi negara  adalah sebagai "kitab suci" negara yang harus disusun berdasar "perintah mutlak para pendiri negara," yang dirumuskan sebagai Pancasila.
Bisa dianalogikan dengan tata nilai keagamaan. Konstitusi adalah sebagai kitab suci, sedang perintah mutlak para pendiri negara adalah "firman para rasul yang membawa pesan kepada umat manusia untuk menyelenggarakan negara yang sempurna."
Menurut penulis. Semua kitab suci agama pun pada hakikatnya mengarahkan seluruh umat manusia untuk hidup saling bergantung dalam tatanan hidup bernegara.
Pemerintah belum memahami Pancasila, rakyat sudah mengamalkannyaÂ
Ada pendapat bahwa akar persoalan yang selalu mengguncang dan menggelisahkan kehidupan bernegara adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat---sila kelima Pancasila. Sedang empat sila yang lain tidak lagi perlu dipersoalkan.
Tetapi juga ada pendapat yang berbeda. Bahwa sila kelima Pancasila akan mudah diwujudkan bila dalam penyelenggaraan negara konsisten dijalankan sesuai empat sila yang lain dalam Pancasila.
Ironisnya. Sampai hari ini bagaimana cara mewujudkan empat sila dari Pancasila tersebut belum diketahui oleh para penyelenggara negara, para ahli tatanegara, ahli hukum apalagi oleh para para pengajar Pancasila.
Keindahan NKRI. Gaya hidup berpancasila sudah diamalkan oleh seluruh rakyat yang bhinneka tunggal ika jauh sebelum Pancasila berhasil dirumuskan Bung Karno. Dan jauh sebelum NKRI dinyatakan kemerdekaannya oleh Bangsa Indonesia atas nama Soekarno-Hatta, 17 Agustus 1945.
 Demikian. Terimakasih dan salam sejahtera kepada yang telah membaca tulisan ini.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H