Poros-poros kekuatan partai melecehkan demokrasi
Sungguh sangat kurang elok jika tradisi pesta demokrasi di negeri ini sangat diwarnai ulah parpol-parpol yang berusaha saling menjalin poros-porosan.
Menjalin poros kekuatan pasti untuk memperkosa pilihan rakyat dengan kantong kresek isi sembako sekadarnya. Dan lebih memalukan lagi jika poros kekuatan itu mengerahkan pula pasukan tuyul yang menyebarkan "ayat-ayat" SARA di tengah rakyat yang taat beribadah.
Hal demikian mungkin sangat menunjukkan rendahnya mutu demokrasi di jiwa kaum elit politik di Indonesia.
Capres tunggal butuh Cawapres sebagai kembarannya
Menjelang Pilpres 2019. Buat apa banyak tokoh bangsa di negeri ini sibuk mencari orang untuk dipetandingkan melawan Presiden Jokowi?
Jangan bilang bahwa tidak boleh Presiden Jokowi selaku petahana maju sebagai Capres tunggal.
Sungguh mengada-ada dengan mengatakan bahwa jika hanya ada Capres tunggal berarti menunjukkan kemunduran negara dalam berdemokrasi.
Bung Karno dan  juga Pak Harto. Mereka berdua tidak pernah dihadapkan dengan sosok lain sebagai pesaing maupun sebagai tandingan.
Capres tunggal tidak diharamkan di negeri ini. Selama yang bersangkutan bersedia ikhlas dan sanggup menyerahkan "kemerdekaan dan kepentingan pribadi" atas keluarganya. Sanggup menjadi "satrio piningit" menurut Pujangga Ronggowarsito. Dan yang bersangkutan tidak minta syarat harus ada Capres lain.
Seorang Capres yang butuh pesaing menunjukkan bahwa dia menghormati orang lain yang sepantasnya dimajukan juga sebagai Capres. Tetapi juga bisa menunjukkan ada "keraguan" untuk maju sendirian tanpa ada tandingan.