Demokrasi yang diwariskan leluhur umat manusia---Bangsa Indonesia, yang bijak berwujud kerja sama---gotong royong, bermusyawarah untuk kebaikan kepentingan bersama. Yaitu demokrasi yang menghadirkan kesejahteraan bersama yang berkeadilan.
Dalam demokrasi yang diwariskan para leluhur tidak ada kepentingan dinasti, golongan atau kelompok yang mau dengan sengaja mengurangi kesejahteraan siapa pun pribadi sesamanya. Dan tidak ada seorang pun yang faham demokrasi kukuh berpendirian tidak mau peduli dengan kepentingan bersama.
Kampanye yang menjual penderitaan rakyat
Pesta demokrasi pasti diwarnai pertarungan "program"---janji kampanye, antar parpol.
Dan yang pasti kampanye seringkali diikuti dengan pertarungan kepentingan yang menjual penderitaan rakyat sebagai modal untuk kemenangan partainya. Terlebih di negara-negara yang masih tergolong sebagai negara sedang berkembang. Atau negara yang sedang dalam proses belajar bernegara.
Mungkin begitu pula kiranya dengan semua Parpol Indonesia dalam menggunakan demokrasi untuk menyelenggarakan negara sampai saat ini?
Semua parpol, ahli tatanegara dan ahli hukum di negara ini seperti masih belajar praktik bernegara di dalam negara yang sudah sempurna berdiri.
Buktinya, pada setiap rezim berkuasa tidak pernah sepi dengan memperdebatkan kebenaran atas kebijakan-kebijakan yang ditempuh pemerintah. Mungkin agak bisa dikecualikan ketika zaman rezim Soeharto.
Demokrasi buta atau liar
Sejak zaman Bung Karno sampai zaman "Now" demokrasi yang berisi pertarungan kepentingan demi kekuasaan yang menguasai seluruh kekuasaan diperaktikkan secara "primitif" kalau tidak bisa dikatakan buta atau liar. Â Demokrasi tanpa aturan. Demi kemenangan dalam pemilu-pemilu.
Ya. Dipraktikkan secara primitif dan "liar" karena yang kalah pasti merasa dicurangi. Yang menang pasti dituduh macam-macam. Karena dekat dengan yang berkuasa, banyak duit, mahir dan ampuh merekayasa keunggulan mutlak lewat survei dan sebagainya.