Sebagai contoh, afirmasi seperti "Saya mampu melakukan segalanya" berpotensi menciptakan disonansi psikologis ketika realitas objektif tidak mendukung. Sebaliknya, epistemologi keterbatasan mengarahkan manusia untuk menerima fakta seperti "Ada hal-hal yang berada di luar kendali saya" sebagai landasan untuk berpikir strategis dan mencari cara-cara konkret dalam mengatasi tantangan.
Pendekatan ini menekankan pentingnya pemahaman diri melalui refleksi kritis terhadap kelemahan dan potensi. Nabi Musa AS adalah contoh klasik dalam hal ini. Ketika diperintahkan oleh Allah untuk menghadapi Firaun, Musa dengan jujur mengakui keterbatasannya dalam berbicara (QS. Taha: 25-28). Namun, pengakuan ini tidak menjadikannya pasif atau menyerah, melainkan mendorongnya untuk mencari solusi melalui kolaborasi (meminta Harun sebagai pendamping) dan mengandalkan kekuatan transenden.
3.2 Transendensi sebagai Sumber Kekuatan
Transendensi, dalam konteks ini, merujuk pada kemampuan untuk melampaui batasan manusia melalui kekuatan yang berada di luar dirinya. Kekuatan ini bisa berupa kekuatan Ilahi atau bentuk solidaritas sosial yang terorganisir. Pendekatan transenden tidak mengabaikan keterbatasan manusia, tetapi justru menjadikannya sebagai alasan untuk bersandar pada sesuatu yang lebih besar.
Dari tradisi Abrahamik, kita menemukan contoh-contoh revolusioner yang didorong oleh kesadaran transenden. Nabi Musa AS menghadapi Firaun tidak hanya dengan modal keberanian individu, tetapi dengan keyakinan pada bantuan Ilahi yang memampukan dirinya melakukan hal-hal yang tampaknya mustahil. Demikian pula, Nabi Muhammad SAW membangun komunitas yang didasarkan pada nilai-nilai solidaritas, keadilan, dan pengorbanan bersama, menciptakan transformasi sosial yang mendalam di Jazirah Arab.
Dalam konteks modern, transendensi juga dapat dimaknai secara kolektif, seperti gerakan sosial yang digerakkan oleh keyakinan pada prinsip-prinsip universal, seperti keadilan dan kesetaraan. Sumber transendensi ini memberikan energi dan arah bagi upaya manusia untuk melampaui keterbatasan individu dan mencapai perubahan yang bersifat kolektif.
3.3 Dinamika Realitas
Realitas bukanlah sesuatu yang statis atau sepenuhnya deterministik, melainkan sistem kompleks yang dapat diintervensi melalui tindakan strategis. Dalam kerangka ini, perubahan dipahami sebagai proses dinamis yang melibatkan interaksi antara berbagai faktor internal dan eksternal.
Pendekatan progresif yang dimaksud adalah kemampuan untuk memetakan realitas, mengidentifikasi titik-titik kritis (leverage points), dan melakukan intervensi yang bertahap namun signifikan. Hal ini kontras dengan Stoikisme yang cenderung pasif dan afirmasi yang sering kali bergantung pada ilusi perubahan instan.
Sebagai contoh, transformasi sosial yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW tidak terjadi dalam semalam. Beliau memulai dengan mendidik individu, membangun komunitas kecil, dan secara bertahap memperluas pengaruhnya hingga mencapai perubahan struktural di masyarakat. Pendekatan ini mencerminkan dinamika realitas, di mana perubahan besar membutuhkan kombinasi antara kesabaran, strategi, dan visi jangka panjang.
Dalam sistem modern, dinamika realitas juga mencakup pemahaman akan kompleksitas ekonomi, politik, dan ekologi. Sebagai contoh, dalam upaya mengatasi ketimpangan sosial, pendekatan ini menuntut analisis mendalam terhadap hubungan antara kebijakan publik, distribusi sumber daya, dan pola perilaku individu. Dengan memahami interaksi ini, intervensi yang dilakukan tidak hanya bersifat kosmetik, tetapi juga membawa dampak sistemik yang lebih luas.