Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Di era modern, Stoikisme dan afirmasi telah muncul sebagai dua pendekatan yang menonjol dalam menghadapi tantangan hidup, baik pada tingkat individu maupun sosial. Stoikisme, yang berakar pada filsafat Yunani kuno, menawarkan prinsip-prinsip seperti amor fati (mencintai nasib) dan dikotomi kontrol, yang mengajarkan individu untuk menerima apa yang berada di luar kendali mereka. Di sisi lain, afirmasi, yang banyak dipromosikan oleh gerakan self-help dan budaya populer, menekankan kekuatan pikiran positif dan pengulangan mantra optimistik untuk mempengaruhi perilaku dan hasil hidup.
Kedua pendekatan ini mendapatkan popularitas yang luar biasa dalam masyarakat yang dilanda ketidakpastian, ketidakadilan sosial, dan tantangan eksistensial yang kompleks. Stoikisme menawarkan ketenangan dalam menghadapi kesulitan, sementara afirmasi menjanjikan harapan dan optimisme. Namun, meskipun keduanya tampak memberikan solusi praktis, efektivitasnya dalam menciptakan transformasi yang signifikan pada level kolektif masih diragukan. Stoikisme sering berakhir menjadi filosofi pasif yang mendorong penerimaan atas status quo, tanpa menawarkan jalan keluar dari sistem atau struktur yang menindas. Sementara itu, afirmasi kerap mengabaikan kenyataan objektif, menciptakan ilusi kendali yang tidak realistis atas dunia yang kompleks dan sering kali tidak dapat diprediksi.
Fenomena ini menunjukkan adanya kesenjangan besar antara pendekatan-pendekatan tersebut dan kebutuhan masyarakat modern yang menghadapi krisis multidimensional. Dalam situasi seperti ini, kita membutuhkan paradigma yang tidak hanya fokus pada ketenangan atau optimisme, tetapi juga mampu menggerakkan transformasi yang mendalam dan berkelanjutan.
1.2 Identifikasi Masalah
Dua masalah utama dapat diidentifikasi dari popularitas Stoikisme dan afirmasi:
Stoikisme sebagai Filosofi Penerimaan Pasif
Stoikisme menganjurkan individu untuk membatasi fokus mereka pada hal-hal yang dapat mereka kendalikan, sambil menerima tanpa perlawanan apa pun yang berada di luar kendali mereka. Meskipun pendekatan ini mungkin memberikan ketenangan psikologis pada individu, ia cenderung mengabaikan dinamika sosial dan politik yang membutuhkan perubahan aktif. Akibatnya, Stoikisme sering dianggap tidak mampu memberikan solusi untuk tantangan kolektif seperti ketidakadilan sosial, perubahan iklim, atau ketimpangan ekonomi. Filosofi ini lebih cocok untuk menciptakan ketahanan individu dalam sistem yang ada daripada memotivasi perubahan terhadap sistem tersebut.Afirmasi sebagai Pendekatan yang Mengabaikan Realitas
Afirmasi sering kali bergantung pada keyakinan bahwa pikiran positif dapat mengubah dunia nyata. Namun, pendekatan ini memiliki kelemahan mendasar: ia mengabaikan keterbatasan individu, lingkungan, dan realitas objektif. Optimisme yang tidak realistis ini dapat menyebabkan kekecewaan dan bahkan memperparah masalah psikologis ketika individu menyadari bahwa harapan mereka tidak sesuai dengan kenyataan. Lebih jauh lagi, afirmasi sering mempromosikan individualisme ekstrem, yang mengalihkan perhatian dari kebutuhan untuk aksi kolektif dan solidaritas dalam menghadapi tantangan yang lebih besar.Â
Kedua pendekatan ini, meskipun berbeda dalam metode, berbagi kelemahan epistemologis yang mendalam: keduanya gagal mengenali kompleksitas interaksi manusia dengan lingkungan sosial, material, dan transenden.
1.3 Tujuan Penelitian