Atep menjawab dengan tenang, "Kita tetap bisa maju meski dalam keterbatasan, Asep. Jalanan rusak itu kenyataan, tapi bukan berarti kita nggak bisa buat hidup kita lebih baik."
Tresna tersenyum, "Kalau kita terus-terusan berpikir buruk, ya kita nggak akan pernah bisa keluar dari masalah. Lebih baik jalani aja, selagi bisa."
Sementara itu, angkot terus melaju, melewati jalan-jalan yang berlubang dan semakin jember ketika musim hujan seperti sekarang. Penumpang lainnya ada yang terlelap, ada yang mendekap tas, ada pula yang sibuk main hape. Sementara ibu-ibu yang hendak berbelanja di Pasar Baru tampak bersiap turun karena tujuan sudah dekat.
Asep menatap keluar jendela dengan kecewa, "Gini-gini aja terus. Kalau nggak ada yang berani ngelakuin sesuatu, kita nggak akan pernah berubah."
Atep menatapnya dengan sabar, "Ya udah, Asep, kalau kamu merasa bisa buat perubahan, mulai aja dari yang kecil. Kita nggak bisa ubah semuanya sekaligus."
Tresna mengangguk pelan, "Iya, Asep. Kita semua punya cara masing-masing buat menghadapi hidup. Mungkin kita nggak bisa ngubah jalanan, tapi kita bisa ngubah cara kita melihatnya."
Di tengah perdebatan itu, angkot terus melaju, dan matahari perlahan mulai terbit di ujung horizon. Mungkin, memang ada banyak cara melihat jalan yang rusak, tapi sepertinya setiap orang punya cara sendiri untuk menghadapinya.
Abstrak
Pendekatan Stoikisme dan afirmasi telah lama menjadi pedoman populer dalam mengelola tantangan hidup, tetapi keduanya mengandung kelemahan epistemologis yang signifikan. Stoikisme cenderung mempromosikan penerimaan pasif terhadap keadaan eksternal, sementara afirmasi sering kali mengandalkan optimisme tanpa dasar yang mengabaikan realitas kompleks. Paper ini mengajukan kerangka epistemologi alternatif yang mengintegrasikan kesadaran diri, relasi sosial, dan keterhubungan dengan kekuatan transenden.
Kerangka ini menempatkan kehidupan sebagai arena ujian dinamis yang membutuhkan keberanian transformatif, dengan inspirasi dari model kepemimpinan revolusioner Nabi Musa dan Nabi Muhammad SAW. Pendekatan ini menantang filsafat penerimaan pasif dan ilusi afirmatif, menggantinya dengan paradigma yang menekankan pada aksiologis keberanian, tujuan kolektif, dan intervensi progresif yang realistis.
Paper ini tidak hanya mengkritik Stoikisme dan afirmasi sebagai pendekatan yang statis dan individualistis, tetapi juga menawarkan pondasi baru untuk membangun mentalitas yang mampu mendorong perubahan spiritual dan sosial. Dengan kerangka teoritis berbasis epistemologi keterbatasan dan transendensi, tulisan ini bertujuan memprovokasi diskusi kritis di era kontemporer yang membutuhkan keberanian, bukan sekadar ketenangan atau harapan tanpa dasar.