Epistemologi Keraguan dalam Al-Qur'an: Analisis QS. Al-Mulk 3-4 sebagai Fondasi Metodologis Skeptisisme Ilmiah
Abstrak
Penelitian ini menganalisis QS. Al-Mulk ayat 3-4 sebagai fondasi metodologis skeptisisme ilmiah dalam epistemologi keraguan. Ayat ini memuat perintah eksplisit untuk melakukan pengamatan berulang kali (f ), yang mengindikasikan keterbatasan inderawi manusia dalam mencapai kebenaran absolut serta urgensi pengujian ulang sebagai proses verifikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode tafsir tematik dan analisis epistemologis, khususnya dalam konteks metode ilmiah modern seperti falsifikasi dan verifikasi (Popperian Science). Hasil penelitian menunjukkan bahwa QS. Al-Mulk 3-4 mendorong prinsip berpikir kritis, pengujian ulang terhadap klaim, dan pengakuan terhadap keberlanjutan pengetahuan. Konsep ini sejalan dengan skeptisisme metodologis yang mendasari perkembangan ilmu pengetahuan kontemporer. Dengan demikian, ayat ini tidak hanya memiliki makna teologis tetapi juga menawarkan perspektif filosofis yang mendalam bagi metodologi ilmiah, menjembatani antara nilai-nilai Al-Qur'an dan epistemologi modern.
Kata Kunci: Epistemologi Keraguan, QS. Al-Mulk, Skeptisisme Metodologis, Verifikasi Ilmiah, Metode Ilmiah.
Pendahuluan
Dalam sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, keraguan (doubt) telah menjadi kunci utama dalam membuka jalan menuju kebenaran. Dari zaman Socrates yang mengajak manusia untuk meragukan kebijaksanaan semu, hingga Descartes yang memulai seluruh bangunan pemikirannya dengan skeptisisme metodologis, keraguan bukan sekadar sikap pasif tetapi suatu metode yang aktif dan produktif. Dalam metodologi ilmiah modern, keraguan mewujud dalam prinsip verifikasi dan falsifikasi, di mana setiap klaim diuji berkali-kali agar terhindar dari bias pengamatan dan ilusi subjektivitas. Namun, apakah keraguan semacam ini hanya muncul dari tradisi Barat? Atau mungkinkah terdapat fondasi filosofis yang lebih tua dan transenden dalam pemikiran manusia tentang pengetahuan?
QS. Al-Mulk ayat 3-4 menawarkan jawaban yang mengejutkan dan sering kali terabaikan dalam diskursus epistemologi. Di dalamnya, manusia diperintahkan untuk mengamati alam semesta secara berulang-ulang, untuk mempertanyakan keseimbangan, dan untuk mengakui keterbatasan indera dalam mencapai kebenaran absolut. Perintah ini bukan sekadar ajakan spiritual tetapi mengandung prinsip metodologis yang sejalan dengan kerangka berpikir ilmiah modern. Ayat ini menyiratkan bahwa pengetahuan yang diperoleh hanya dari satu pengamatan belum tentu valid, dan kebenaran membutuhkan pengujian ulang yang melelahkan---konsep yang kini dikenal sebagai inti dari metode ilmiah.
Lebih dari itu, diksi seperti " " (lihatlah berulang-ulang) dan " " (maka pandanganmu akan kembali dalam keadaan lelah dan kecewa) memprovokasi manusia untuk tidak puas dengan jawaban instan dan pengamatan dangkal. Ungkapan ini menggugah kesadaran epistemologis bahwa indra manusia sering kali menipu dan bahwa pencarian pengetahuan adalah proses tanpa henti. Di sinilah QS. Al-Mulk 3-4 memberikan kerangka berpikir kritis, skeptis, dan eksploratif yang relevan bagi perkembangan sains modern, sekaligus menyentuh dimensi transendental manusia.
Berangkat dari latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisis QS. Al-Mulk 3-4 sebagai fondasi metodologis skeptisisme ilmiah.
2. Menunjukkan relevansi prinsip keraguan, pengujian ulang, dan keterbatasan inderawi dalam metodologi ilmu pengetahuan kontemporer.
3. Menawarkan perspektif integratif antara epistemologi modern dan nilai-nilai Al-Qur'an dalam membangun pengetahuan yang dinamis dan berkelanjutan.
Dengan demikian, artikel ini bukan hanya ingin menguak sisi filosofis QS. Al-Mulk, tetapi juga menantang asumsi bahwa skeptisisme dan metode ilmiah hanyalah warisan Barat. Pandangan ini kerap dipegang oleh sebagian kalangan yang memandang epistemologi keraguan sebagai produk eksklusif dari filsafat modern Barat, bermula dari Descartes yang mengajukan cogito ergo sum melalui keraguan metodologisnya, atau dari empirisisme skeptis David Hume yang meragukan validitas pengetahuan inderawi. Bahkan kritik lebih tajam datang dari kaum positivis yang menilai bahwa keraguan tidak perlu diinstitusikan dalam kerangka filosofis dan cukup berhenti pada level verifikasi ilmiah. Lebih jauh, skeptisisme kerap dicurigai oleh pemikir-pemikir teologis sebagai sebuah mekanisme yang hanya melahirkan relativisme epistemik, meruntuhkan klaim-klaim kebenaran yang stabil.
Namun, perspektif ini justru menunjukkan keterbatasannya jika kita menganalisis QS. Al-Mulk ayat 3-4 secara lebih mendalam. Ayat ini, yang diturunkan berabad-abad sebelum era filsafat modern, mengandung esensi epistemologi keraguan yang konstruktif---sebuah keraguan yang tidak berhenti pada nihilisme tetapi justru berfungsi sebagai langkah menuju validasi kebenaran yang lebih kokoh. Diksi " " (kembalikan pandanganmu) adalah simbol dari pengulangan observasi yang kritis, sejalan dengan falsifikasi dalam sains modern seperti yang diajukan oleh Karl Popper. Akan tetapi, QS. Al-Mulk melampaui sekadar pengujian empiris karena menyisipkan pengakuan atas keterbatasan manusia---" " (pandanganmu akan kembali dalam keadaan hina dan kecewa). Ini menunjukkan bahwa keraguan dalam perspektif Al-Qur'an bukanlah alat untuk menihilkan kebenaran, melainkan untuk menggali kedalaman realitas sekaligus mengakui dimensi transendental yang melampaui kemampuan inderawi manusia.
Oleh karena itu, kritik yang mengatakan bahwa epistemologi keraguan hanya bersumber dari Barat menjadi reduksionis. QS. Al-Mulk membuktikan bahwa skeptisisme sebagai metode untuk menguji dan menimbang pengetahuan telah tertanam dalam kerangka berpikir Al-Qur'an. Perbedaannya, skeptisisme Barat sering kali mengarah pada sikap agnostik epistemik, di mana kebenaran dianggap mustahil dicapai secara absolut. Sementara itu, skeptisisme yang tercermin dalam QS. Al-Mulk bersifat teleologis---mengajak manusia untuk menguji, mengoreksi, dan akhirnya mencapai kesadaran tentang kesempurnaan keteraturan alam yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan kata lain, keraguan dalam Al-Qur'an adalah langkah menuju keyakinan yang tercerahkan, bukan sekadar penghancuran epistemik.
Lebih jauh, kritik dari pemikir teologis bahwa skeptisisme akan melemahkan keyakinan dan membawa manusia ke relativisme epistemik juga perlu dikaji ulang. QS. Al-Mulk justru menunjukkan bahwa skeptisisme bukanlah lawan dari iman, melainkan fondasi bagi iman yang rasional dan kokoh. Keraguan yang diarahkan untuk memahami " " (apakah kamu melihat ketidakseimbangan?) adalah instrumen untuk mendorong eksplorasi dan penemuan kebenaran, baik dalam aspek material maupun spiritual. Dengan kata lain, epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk menjembatani dikotomi antara iman dan sains, membuktikan bahwa skeptisisme yang sehat adalah alat untuk memahami kebesaran Sang Pencipta melalui pengamatan alam semesta.
Dalam konteks ini, penelitian ini menegaskan bahwa epistemologi keraguan bukan monopoli Barat atau ancaman bagi kepastian epistemik, melainkan prinsip universal yang mendasari upaya manusia dalam memahami realitas. QS. Al-Mulk 3-4 tidak hanya merefleksikan perintah untuk berpikir kritis, tetapi juga merumuskan kerangka metodologis yang mengintegrasikan keraguan, eksplorasi, dan akhirnya pengakuan atas keteraturan yang melampaui batas kemampuan inderawi manusia. Proses inilah yang mendorong pengetahuan untuk tidak pernah berhenti, melainkan terus diuji, dicari, dan diperbarui---sebuah konsep yang justru memperkaya metodologi ilmiah modern dan menantang klaim bahwa keraguan adalah warisan Barat semata.
Tinjauan Pustaka
Dalam mengkaji epistemologi keraguan yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4, perlu dilakukan eksplorasi terhadap berbagai kerangka pemikiran yang relevan, baik dari tradisi Islam maupun dari filsafat modern Barat. Tinjauan pustaka ini mencakup pandangan dari Al-Qur'an, epistemologi Islam klasik, filsafat keraguan Barat, serta metode ilmiah modern.
1. Epistemologi dalam Al-Qur'an
Epistemologi dalam perspektif Al-Qur'an berlandaskan pada pendekatan integratif antara wahyu, akal, dan indera sebagai sumber pengetahuan. Dalam konteks QS. Al-Mulk ayat 3-4, Al-Qur'an menekankan penggunaan indera (penglihatan) untuk melakukan observasi kritis terhadap alam semesta. Ayat ini mengandung perintah eksplisit untuk mengulangi pengamatan dan mengevaluasi hasilnya secara mendalam, seperti tertuang dalam perintah " " (kembalikan pandanganmu). Menurut Al-Attas (1995), epistemologi Islam mengakui keterbatasan indera dan akal dalam mencapai pengetahuan absolut. Namun, pengetahuan yang benar dan pasti dapat diperoleh dengan bimbingan wahyu. Pandangan ini sejalan dengan fungsi skeptisisme dalam QS. Al-Mulk yang mengarahkan manusia pada kesadaran tentang keteraturan kosmos yang bersumber dari Sang Pencipta.
Selain itu, Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan bahwa pengamatan empiris harus diiringi dengan analisis kritis terhadap data yang diperoleh. Hal ini mencegah manusia dari kesimpulan yang gegabah atau bias persepsi. Konsep ini mendekati semangat QS. Al-Mulk 3-4 yang memprovokasi manusia untuk "meragukan pengamatan awal" dan terus mencari kebenaran yang lebih mendalam.
2. Skeptisisme Metodologis dalam Filsafat Barat
Dalam filsafat modern, skeptisisme metodologis pertama kali dicetuskan oleh Ren Descartes melalui metode keraguannya. Descartes meragukan semua pengetahuan inderawi dan konsepsi rasional hingga ia menemukan kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan, yaitu cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Konsep ini dianggap sebagai fondasi bagi epistemologi Barat modern yang menempatkan keraguan sebagai metode untuk mencapai kepastian.
Di sisi lain, David Hume mengkritik validitas pengamatan inderawi dengan argumen bahwa semua pengetahuan empiris bersifat probabilistik dan tidak dapat menjamin kepastian. Kritik Hume terhadap induksi melahirkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan memerlukan pengujian berulang dan falsifikasi untuk membangun klaim yang dapat diterima. Konsep ini kemudian disempurnakan oleh Karl Popper dalam prinsip falsifikasi. Menurut Popper (1959), teori ilmiah yang baik bukanlah teori yang "benar secara absolut" tetapi teori yang dapat diuji dan mungkin terbantahkan. Prinsip ini memiliki kemiripan yang menarik dengan ajakan QS. Al-Mulk untuk melakukan pengujian ulang atas realitas alam semesta.
Namun, tidak seperti skeptisisme radikal Hume yang mengarah pada relativisme epistemik, QS. Al-Mulk mengarahkan keraguan menuju keyakinan rasional. Keraguan yang diperintahkan Al-Qur'an bersifat teleologis, yaitu memiliki tujuan akhir berupa kesadaran terhadap keteraturan ciptaan Tuhan.
3. Kritik terhadap Indra sebagai Sumber Pengetahuan
Keterbatasan indera sebagai alat pengetahuan telah lama diakui dalam berbagai tradisi pemikiran. Plato, dalam The Republic, menyatakan bahwa realitas inderawi hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi (ide-ide). Sementara itu, dalam tradisi Islam, Al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifah juga meragukan keandalan indera sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Al-Ghazali menekankan pentingnya intuisi (dzawq) dan wahyu untuk melengkapi keterbatasan inderawi dan rasionalitas manusia.
Dalam konteks QS. Al-Mulk, ayat tersebut mengakui kelemahan pengamatan manusia yang digambarkan melalui ungkapan (lelah dan kecewa). Hal ini sejalan dengan kritik terhadap pengetahuan inderawi, namun tidak berarti menolaknya sepenuhnya. Sebaliknya, ayat ini mendorong manusia untuk menggunakan indera secara kritis dan berulang kali, sehingga pengetahuan yang diperoleh menjadi lebih mendalam dan teruji.
4. Integrasi Metode Ilmiah Modern dan Nilai-Nilai Al-Qur'an
Metode ilmiah modern menekankan pentingnya observasi, pengujian ulang, dan falsifikasi dalam membangun teori yang kokoh. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam QS. Al-Mulk yang menuntut pengamatan berulang untuk mencari ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian dalam realitas. Dalam konteks ini, QS. Al-Mulk memberikan pijakan filosofis bagi pengembangan metode ilmiah yang tidak hanya bersifat empiris tetapi juga reflektif.
Menurut Ziauddin Sardar (1989), ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam bukanlah sekadar akumulasi data empiris, melainkan sebuah proses yang terhubung dengan nilai-nilai etis dan transendental. Pengetahuan ilmiah yang diperoleh melalui pengamatan dan keraguan bertujuan untuk mengantarkan manusia pada kesadaran akan tanda-tanda kebesaran Tuhan (ayatullah) dalam alam semesta.
Tinjauan pustaka ini menunjukkan bahwa epistemologi keraguan memiliki akar yang kuat baik dalam tradisi Islam maupun dalam filsafat Barat. Namun, QS. Al-Mulk ayat 3-4 menawarkan perspektif yang unik: skeptisisme yang produktif, eksploratif, dan teleologis. Keraguan yang diajarkan dalam Al-Qur'an bukanlah keraguan nihilistik yang meruntuhkan klaim kebenaran, melainkan keraguan metodis yang mendorong manusia untuk menguji, mengeksplorasi, dan pada akhirnya menemukan kebenaran yang lebih kokoh dan transendental. Penelitian ini, dengan demikian, berupaya menjembatani kerangka berpikir ilmiah modern dengan nilai-nilai epistemologis dalam Al-Qur'an, khususnya dalam membangun metodologi sains yang kritis dan berkelanjutan.
Metode Penelitian
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dengan desain analisis teks dan interpretasi filosofis untuk menggali lebih dalam mengenai epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4 dan keterkaitannya dengan prinsip-prinsip skeptisisme ilmiah modern. Pendekatan ini dipilih karena tujuan utama penelitian adalah untuk memahami dan menginterpretasikan pesan filosofis yang terkandung dalam teks Al-Qur'an serta membandingkannya dengan teori-teori skeptisisme dalam filsafat Barat dan metode ilmiah modern. Berikut adalah langkah-langkah metodologis yang akan diterapkan:
1. Pendekatan Hermeneutik Tafsir
Metode pertama yang digunakan adalah hermeneutik tafsir, yaitu pendekatan interpretasi terhadap teks-teks Al-Qur'an dengan tujuan untuk memahami konteks, makna, dan implikasi epistemologis yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4. Dalam pendekatan ini, teks Al-Qur'an akan dianalisis dengan mempertimbangkan konteks sejarah, linguistik, dan teologisnya. Proses tafsir ini mencakup dua tahap utama:
Tahap pemahaman literal: Menganalisis makna bahasa Arab yang digunakan dalam ayat, memperhatikan istilah-istilah kunci seperti " " (kembalikan pandanganmu) dan " " (pandanganmu akan kembali dalam keadaan hina dan kecewa), serta mengidentifikasi pesan dasar yang diajarkan ayat tersebut.
Tahap analisis makna tersirat: Menganalisis dimensi filosofis dan epistemologis ayat ini, mengidentifikasi cara-cara di mana keraguan digunakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam dan valid.
2. Analisis Komparatif Epistemologi
Setelah memahami makna teks, penelitian ini akan melanjutkan dengan analisis komparatif antara epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk dan pendekatan skeptisisme dalam filsafat Barat serta metode ilmiah modern. Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan kesamaan dan perbedaan antara keduanya. Komparasi ini akan mencakup beberapa elemen berikut:
Keraguan sebagai metode: Mengkaji kesamaan antara ajakan untuk mengulang pengamatan dalam QS. Al-Mulk dengan skeptisisme metodologis Descartes dan falsifikasi Popper.
Keterbatasan indera: Membandingkan pengakuan atas keterbatasan indera manusia dalam Al-Qur'an dengan pandangan filsafat empiris Barat, seperti yang ditemukan dalam pemikiran Hume tentang ketidakpastian pengetahuan inderawi.
Tujuan Penelitian: Menganalisis perbedaan antara keraguan yang mendorong relativisme dalam filsafat Barat dan keraguan dalam QS. Al-Mulk yang bersifat teleologis, yaitu mendorong pencarian pengetahuan yang lebih mendalam dan lebih mendekati kebenaran transendental.
3. Studi Kasus: Relevansi Metode Ilmiah Modern
Penelitian ini juga akan melakukan studi kasus mengenai penerapan metode ilmiah dalam konteks penelitian sains modern. Studi ini akan mencakup analisis tentang bagaimana prinsip-prinsip yang ada dalam QS. Al-Mulk, seperti pengujian berulang dan refleksi terhadap keterbatasan inderawi, tercermin dalam praktek ilmiah kontemporer. Beberapa fokus yang akan dianalisis adalah:
Verifikasi dan Falsifikasi: Menghubungkan prinsip falsifikasi Karl Popper dengan ajakan untuk menguji kebenaran berulang kali dalam QS. Al-Mulk.
Penerapan pengamatan kritis: Mengidentifikasi contoh-contoh dalam literatur ilmiah yang menunjukkan pengamatan berulang dan pengecekan terhadap data yang berpotensi menghasilkan kesalahan persepsi atau bias.
4. Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui studi literatur dari berbagai sumber yang relevan, antara lain:
Teks Al-Qur'an beserta tafsir-tafsir yang berkaitan dengan QS. Al-Mulk 3-4, termasuk tafsir kontemporer yang memperhatikan aspek filosofis dan epistemologis ayat tersebut.
Literatur filsafat Barat yang mencakup teori-teori skeptisisme dari Descartes, Hume, dan Popper, serta artikel-artikel yang membahas penerapan metode ilmiah modern.
Karya-karya ilmiah yang membahas tentang penerapan metode ilmiah dalam penelitian modern dan hubungannya dengan pengujian berulang serta refleksi terhadap keterbatasan inderawi.
5. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, pendekatan yang digunakan adalah analisis tematik. Data akan dikelompokkan berdasarkan tema-tema besar yang muncul dalam teks, misalnya:
Keterbatasan indera dan pengaruhnya terhadap pengetahuan.
Peran keraguan dalam pencarian kebenaran.
Kesamaan dan perbedaan antara epistemologi keraguan dalam Al-Qur'an dan filsafat Barat
Implikasi metode skeptisisme terhadap penelitian ilmiah
Setelah data dikelompokkan dalam tema-tema tersebut, penulis akan menganalisisnya dengan cara membandingkan hasil temuan dalam studi Islam dengan konsep-konsep skeptisisme dalam filsafat Barat serta praktik ilmiah kontemporer. Dengan menggunakan metode analisis komparatif, penulis akan mencari titik temu dan perbedaan di antara berbagai perspektif epistemologis ini.
6. Validitas dan Reliabilitas
Untuk memastikan validitas dan reliabilitas penelitian, pendekatan triangulasi akan diterapkan dengan memverifikasi hasil analisis teks Al-Qur'an dan teori-teori skeptisisme Barat menggunakan berbagai referensi akademik yang relevan, serta dengan membandingkan temuan penelitian ini dengan studi-studi serupa dalam literatur yang ada. Penulis juga akan melakukan pengecekan silang antara interpretasi yang didapat dari tafsir dan filsafat Barat untuk memastikan bahwa pemahaman yang dihasilkan adalah sahih dan kredibel.
Dengan pendekatan ini, penelitian ini berupaya untuk menggali secara mendalam epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4, menghubungkannya dengan konsep skeptisisme dalam filsafat Barat, serta menunjukkan relevansinya terhadap metode ilmiah modern. Metode yang digunakan akan memastikan bahwa penelitian ini tidak hanya berfokus pada tafsir teks, tetapi juga mengintegrasikan perspektif ilmiah kontemporer dalam menganalisis epistemologi keraguan.
Hasil dan Pembahasan
Penafsiran QS. Al-Mulk 3-4: Diskusi tentang Perintah Pengamatan Ulang dan Implikasinya terhadap Keterbatasan Inderawi
QS. Al-Mulk ayat 3-4 mengajak umat manusia untuk melakukan pengamatan ulang terhadap fenomena alam, suatu tindakan yang berhubungan dengan pengujian terhadap keterbatasan indera manusia. Ayat pertama menyatakan, "Apakah kamu tidak melihat langit yang tingginya?" yang mengundang manusia untuk merenungkan fenomena alam, sementara ayat kedua melanjutkan dengan perintah untuk melihat ulang hingga mata lelah, yang mengindikasikan bahwa meskipun manusia memiliki kemampuan penglihatan, kemampuan ini terbatas dan bisa menipu. "Mata lelah" dalam ayat tersebut lebih dari sekadar menggambarkan kelelahan fisik, tetapi juga keterbatasan dalam memahami kebenaran mutlak yang hanya dapat dicapai melalui pengamatan berulang dan refleksi kritis. Interpretasi ini menghubungkan penglihatan sebagai salah satu bentuk keterbatasan inderawi, yang sering kali tidak dapat menjangkau keseluruhan kebenaran yang lebih tinggi, baik secara ilmiah maupun spiritual. Oleh karena itu, ajakan untuk menguji berulang kali adalah kritik terhadap kecenderungan manusia untuk menerima pandangan pertama atau kesan inderawi tanpa mempertanyakan lebih dalam.
Prinsip Skeptisisme Metodologis dalam QS. Al-Mulk: Ajakan untuk Berpikir Kritis dan Mengevaluasi Ulang Segala Pengamatan dan Klaim
Prinsip skeptisisme metodologis yang terkandung dalam QS. Al-Mulk bukan sekadar sebuah ajakan untuk meragukan segala sesuatu, tetapi lebih pada dorongan untuk melakukan evaluasi kritis terhadap setiap klaim dan pengamatan. Ayat tersebut memicu refleksi dengan pertanyaan retoris, "Apakah kamu lihat ada yang seimbang?"---sebuah ajakan untuk merenung, berpikir, dan menggugah kesadaran akan ketidaksempurnaan pemahaman manusia terhadap kenyataan. Dalam konteks ini, skeptisisme tidak berarti keraguan yang menghancurkan, melainkan metode untuk melakukan verifikasi dan menguji klaim-klaim yang ada.
Prinsip ini selaras dengan metode ilmiah modern, yang mengandalkan verifikasi, falsifikasi, dan pengujian hipotesis untuk memastikan kebenaran klaim ilmiah. Seperti dalam metode ilmiah yang memerlukan pengujian berulang terhadap hipotesis dan teori, QS. Al-Mulk mengajarkan kita untuk selalu mempertanyakan dan menguji pengetahuan kita melalui proses berkelanjutan, bukan hanya menerima apa yang tampak di permukaan. Ini adalah bentuk skeptisisme yang lebih produktif dan konstruktif, yang tidak berhenti pada keraguan, tetapi mengarah pada pencarian pengetahuan yang lebih mendalam.
Urgensi Pengujian Berulang: Menunjukkan Relevansi QS. Al-Mulk 3-4 dengan Prinsip Sains Modern dalam Memastikan Validitas Pengetahuan
QS. Al-Mulk 3-4 menekankan pentingnya pengujian berulang dalam mencapai pemahaman yang lebih mendalam, yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip ilmiah modern. Dalam dunia sains, pengujian hipotesis melalui eksperimen berulang adalah inti dari validitas pengetahuan. Dengan menguji klaim berulang kali, kita bisa memperbaiki teori dan konsep yang sebelumnya dianggap benar, mengarah pada pencapaian pengetahuan yang lebih tepat. Misalnya, dalam eksperimen ilmiah, sebuah hipotesis yang diajukan akan diuji berulang kali untuk memastikan konsistensi dan akurasi hasilnya. Seperti yang diajarkan dalam QS. Al-Mulk, proses ini bukan hanya untuk meragukan kebenaran semata, tetapi untuk memperdalam pemahaman kita terhadap realitas yang ada, mengingat keterbatasan penglihatan kita terhadap keseluruhan kebenaran.
Contoh penerapan prinsip ini dalam sains kontemporer dapat ditemukan dalam metode eksperimen, di mana pengujian berulang terhadap suatu teori atau fenomena ilmiah sangat penting. Misalnya, dalam penelitian biologi atau fisika, eksperimen dilakukan berkali-kali untuk memastikan bahwa temuan yang diperoleh tidak hanya terjadi karena kebetulan atau kesalahan eksperimen. Pengujian berulang ini menjadi landasan untuk menguji dan memperbaharui pengetahuan, sejalan dengan pesan dari QS. Al-Mulk.
Integrasi Nilai Al-Qur'an dan Epistemologi Ilmiah: Perspektif Filosofis terhadap Metodologi Ilmiah
QS. Al-Mulk memberi kita perspektif yang sangat berharga tentang hubungan antara pengetahuan ilmiah dan pengetahuan transendental yang lebih tinggi. Nilai-nilai yang terkandung dalam QS. Al-Mulk---yaitu keraguan metodologis, pengujian berulang, dan penghargaan terhadap keterbatasan inderawi---dapat memberikan landasan filosofis yang kuat untuk metodologi ilmiah. Melalui ayat-ayat ini, Al-Qur'an menegaskan bahwa pengetahuan adalah proses yang berkelanjutan, yang melibatkan refleksi, pengujian, dan perbaikan. Sebagai contoh, metode ilmiah yang berdasarkan pada eksperimen dan pengujian berulang sejalan dengan ajakan untuk menguji kembali segala klaim dan pengamatan.
Melalui siklus keraguan dan pengujian ini, QS. Al-Mulk menekankan pentingnya keberlanjutan pengetahuan---pengetahuan yang tidak pernah berhenti, melainkan terus berkembang seiring dengan pencarian kebenaran yang lebih tinggi. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan bukanlah suatu entitas statis yang sudah selesai, tetapi bagian dari proses pencarian yang tidak pernah usai. QS. Al-Mulk mengajak kita untuk selalu memperbaharui dan memperdalam pengetahuan kita melalui pengujian dan perenungan berulang, yang juga berlaku dalam sains.
Sebagai contoh, dalam dunia filsafat ilmu, para ilmuwan dan pemikir seperti Karl Popper mengajukan bahwa kebenaran ilmiah selalu bersifat sementara dan dapat dibantah melalui proses falsifikasi. Prinsip ini tercermin dalam QS. Al-Mulk, di mana pengetahuan manusia senantiasa terbuka untuk diperbaharui, namun tetap mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam tentang keberadaan dan kebesaran Sang Pencipta.
Secara keseluruhan, hasil dan pembahasan ini menunjukkan bahwa QS. Al-Mulk 3-4 bukan hanya sekadar ajakan untuk meragukan dan menguji kebenaran melalui pengamatan berulang, tetapi juga sebuah pendekatan metodologis yang sejalan dengan prinsip-prinsip skeptisisme metodologis dalam sains. Ayat ini menggambarkan bahwa pengetahuan adalah suatu proses yang berkelanjutan, yang menuntut verifikasi dan pengujian berulang, sejalan dengan perkembangan metode ilmiah modern. Lebih jauh lagi, QS. Al-Mulk mengajarkan bahwa skeptisisme bukanlah untuk meragukan atau meniadakan kebenaran, melainkan untuk membawa kita lebih dekat pada pemahaman yang lebih dalam tentang realitas dan kebesaran Sang Pencipta, yang menjadi landasan bagi sains dan filsafat pengetahuan.
Epistemologi Keraguan
Penelitian ini bertujuan untuk menggali epistemologi keraguan yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4 dan membandingkannya dengan skeptisisme dalam filsafat Barat serta metode ilmiah modern. Berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis dilakukan melalui pendekatan hermeneutik tafsir terhadap teks Al-Qur'an, analisis komparatif epistemologi, serta studi kasus terkait penerapan skeptisisme dalam ilmu pengetahuan modern. Dalam bagian ini, hasil analisis akan dipaparkan, serta dikaji secara mendalam dan kritis, dengan membenturkan tesis ini terhadap pandangan-pandangan yang ada, terutama terkait dengan anggapan bahwa skeptisisme dan metode ilmiah hanyalah warisan Barat.
1. Epistemologi Keraguan dalam QS. Al-Mulk: Keraguan sebagai Proses Berkelanjutan
QS. Al-Mulk ayat 3-4 menyajikan konsep keraguan sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran yang berkelanjutan. Dalam ayat ini, keraguan berfungsi sebagai instrumen kritis untuk menggali dan memverifikasi kebenaran yang lebih dalam. Ayat tersebut tidak hanya mengajak untuk meragukan sekilas pengamatan yang tampak, tetapi juga untuk melakukan pengujian berulang-ulang terhadap realitas yang ada. Istilah (kembalikan pandanganmu) menandakan bahwa setiap pengamatan harus diperiksa kembali, seolah memberi tahu bahwa penglihatan manusia seringkali terbatas atau terdistorsi. Dalam konteks ini, ayat tersebut menawarkan keraguan metodologis yang serupa dengan apa yang diajarkan oleh Descartes dan Hume, meskipun dengan tujuan yang berbeda.
Namun, terdapat perbedaan mendasar antara skeptisisme dalam QS. Al-Mulk dan skeptisisme dalam filsafat Barat, terutama dalam hal tujuan dan arah dari keraguan itu sendiri. Dalam filsafat Barat, seperti yang dikemukakan oleh Hume dan Popper, keraguan sering kali dilihat sebagai cara untuk menguji dan membuktikan bahwa pengetahuan manusia tidak dapat diandalkan tanpa bukti yang kuat dan verifikasi. Keraguan dalam konteks ini seringkali diarahkan pada pengujian dan bahkan penyangkalan terhadap klaim pengetahuan, tanpa jaminan adanya pencapaian kebenaran absolut. Sebaliknya, dalam QS. Al-Mulk, keraguan adalah bagian dari pencarian untuk memahami kebesaran Sang Pencipta dan keteraturan alam yang semakin mempertegas kebenaran, bukan justru meragukan atau menggugurkan klaim kebenaran itu sendiri.
Dengan demikian, dalam epistemologi Islam, keraguan dalam QS. Al-Mulk bukanlah keraguan yang nihilistik atau meruntuhkan pengetahuan yang ada, melainkan merupakan cara untuk mengajak manusia melakukan refleksi yang lebih dalam terhadap pengamatan mereka terhadap dunia. Tujuan akhir keraguan ini adalah untuk membawa pemahaman yang lebih besar tentang keteraturan alam semesta yang pada akhirnya mengarah pada pengakuan akan kebesaran Sang Pencipta. Dengan kata lain, keraguan dalam QS. Al-Mulk lebih teleologis, yaitu memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kebenaran transendental.
2. Skeptisisme dalam Filsafat Barat: Keraguan sebagai Metode Pengujian dan Falsifikasi
Jika kita membandingkan konsep keraguan dalam QS. Al-Mulk dengan skeptisisme dalam filsafat Barat, kita menemukan titik temu yang signifikan dalam hal pengujian berulang dan verifikasi. Dalam Descartes' Meditations, keraguan digunakan sebagai langkah pertama untuk memastikan adanya kepastian pengetahuan. Descartes meragukan segalanya, termasuk dirinya sendiri, hingga ia menemukan titik yang tidak dapat diragukan: "cogito ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada). Namun, keraguan yang dimaksud Descartes lebih bersifat radikal, yang mengarah pada penghancuran semua premis yang ada hingga penemuan kebenaran yang tak terbantahkan.
Demikian pula, David Hume dalam An Enquiry Concerning Human Understanding mengemukakan bahwa seluruh pengetahuan manusia, terutama yang didasarkan pada pengalaman inderawi, tidak dapat dijamin validitasnya. Oleh karena itu, menurut Hume, seluruh pengetahuan ilmiah bersifat probabilistik dan hanya dapat diuji melalui pengamatan berulang, yang pada akhirnya dapat membuktikan atau membantah klaim-klaim tertentu. Ini sejalan dengan metode ilmiah yang diperkenalkan oleh Karl Popper melalui prinsip falsifikasi, di mana klaim ilmiah yang sah adalah yang dapat diuji dan mungkin terbantahkan.
Namun, meskipun terdapat kesamaan dalam penggunaan keraguan metodologis untuk menguji klaim pengetahuan, kritik terhadap epistemologi keraguan Barat muncul ketika teori-teori tersebut dipandang sebagai produk pemikiran terasing dari tradisi Timur, terutama Islam. Dalam konteks ini, banyak kritikus yang berpendapat bahwa skeptisisme adalah warisan Barat yang menekankan relativisme dan ketidakpastian pengetahuan, dan tidak dapat diterima sepenuhnya dalam tradisi epistemologi Islam yang menegaskan adanya kebenaran yang mutlak dan pasti.
3. Epistemologi Keraguan Islam vs. Skeptisisme Barat: Refleksi atas Kebenaran yang Berkelanjutan
Ketika menilai klaim skeptisisme Barat yang berpendapat bahwa epistemologi keraguan adalah warisan Barat, ada keharusan untuk menggugat pandangan tersebut dengan tegas. Epistemologi keraguan dalam Islam, yang tercermin dalam QS. Al-Mulk, lebih tepatnya merupakan ajakan untuk berfikir kritis dan reflektif tentang keterbatasan indera manusia, namun dengan tujuan yang lebih agung, yaitu untuk lebih mendekatkan diri pada kebenaran yang bersumber dari Tuhan. Konsep ini lebih daripada sekadar pengujian atau keraguan terhadap fakta-fakta duniawi, tetapi juga terkait dengan pencarian kebijaksanaan transendental yang lebih besar.
Tesis yang menyatakan bahwa epistemologi keraguan adalah warisan Barat dapat digugat dengan melihat sejarah panjang skeptisisme dalam tradisi Islam. Misalnya, Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, menyatakan bahwa setiap pengetahuan harus diuji dengan rasio dan pengamatan, menggarisbawahi pentingnya pembaharuan pengetahuan dalam setiap generasi. Sementara Al-Ghazali mengkritik pemikiran filsafat yang hanya mengandalkan rasio dan indera tanpa penurunan wahyu yang diperlukan untuk melengkapi proses kognisi manusia.
Epistemologi keraguan dalam tradisi Islam tidak hanya mengarahkan manusia pada keraguan nihilistik seperti yang terkadang terlihat dalam filsafat Barat, tetapi juga mendorong pencarian yang mendalam dan berkelanjutan terhadap kebenaran yang lebih tinggi, yaitu kebenaran yang lebih mendekati pemahaman Tuhan yang maha sempurna.
4. Impilkasi untuk Metode Ilmiah Modern: Integrasi Skeptisisme Islam dengan Ilmu Pengetahuan
Berdasarkan hasil analisis, metode ilmiah modern yang mengedepankan prinsip verifikasi berulang dan falsifikasi tidaklah bertentangan dengan epistemologi keraguan yang ditemukan dalam QS. Al-Mulk. Sebaliknya, kedua pendekatan ini saling melengkapi. Keduanya mengakui bahwa pengetahuan manusia terbatas dan perlu diuji berulang kali. Namun, sementara ilmu pengetahuan Barat mungkin menekankan pada pengujian terbatas dalam ruang lingkup fisik dan empiris, QS. Al-Mulk menuntut pengujian yang lebih luas yang mengarah pada kebenaran transendental. Oleh karena itu, integrasi antara skeptisisme metodologis Islam dan metode ilmiah modern dapat membentuk suatu pendekatan ilmiah yang lebih holistik, yang tidak hanya menguji realitas duniawi, tetapi juga melibatkan dimensi metafisik dan transendental.
Melalui pembahasan ini, terbukti bahwa epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4 lebih dari sekadar ajakan untuk meragukan realitas fisik; ia adalah panggilan untuk refleksi mendalam terhadap keterbatasan pengetahuan manusia dan pencarian akan kebenaran yang lebih tinggi. Dibandingkan dengan skeptisisme dalam filsafat Barat yang sering mengarah pada relativisme, keraguan dalam tradisi Islam adalah alat untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan lebih mendekati kebesaran Tuhan. Sehingga, tesis yang menyatakan bahwa skeptisisme dan metode ilmiah adalah warisan Barat dapat dipertanyakan, karena epistemologi keraguan ini juga memiliki akar yang kuat dalam tradisi intelektual Islam.
Metodologi Ilmiah Ibnu Haytam dalam Kitab al-Manazir)
Salah satu tonggak penting dalam pengembangan metodologi ilmiah adalah kontribusi Ibnu Haytam (Alhazen) melalui karyanya Kitab al-Manazir (Book of Optics). Dalam karya ini, Ibnu Haytam tidak hanya mencetuskan teori cahaya dan penglihatan yang revolusioner, tetapi juga membangun kerangka kerja metodologis yang sangat mirip dengan metode ilmiah modern. Elemen ini relevan dengan pembahasan QS. Al-Mulk 3-4, terutama dalam konteks pengamatan kritis, pengujian ulang, dan falsifikasi.
Pengamatan Kritis dan Penolakan terhadap Persepsi Indrawi yang Tidak Diverifikasi
Ibnu Haytam menolak doktrin sebelumnya yang bergantung pada penafsiran Aristoteles tanpa pengujian langsung. Dalam Kitab al-Manazir, ia berpendapat bahwa penglihatan manusia dapat menipu, dan untuk memahami fenomena cahaya, diperlukan observasi yang teliti serta verifikasi yang sistematis. Konsep ini sejajar dengan QS. Al-Mulk 3-4, yang secara eksplisit mengajak manusia untuk "melihat lagi" dan memastikan bahwa apa yang tampak seimbang benar-benar terbukti melalui pengamatan berulang.
Eksperimen sebagai Landasan Pengetahuan
Ibnu Haytam memperkenalkan eksperimen terkontrol sebagai cara untuk menguji hipotesis. Misalnya, ia melakukan eksperimen untuk membuktikan bahwa cahaya bergerak dalam garis lurus dan bahwa penglihatan bergantung pada cahaya yang masuk ke mata, bukan yang keluar dari mata seperti anggapan sebelumnya. Ini sejalan dengan prinsip trial and error yang tersirat dalam QS. Al-Mulk, yaitu mendesak manusia untuk terus menguji klaim dan mengakui kemungkinan kesalahan dalam pengamatan awal.
Metodologi: Verifikasi dan Falsifikasi
Ibnu Haytam menekankan pentingnya metode induktif dan deduktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Ia percaya bahwa setiap klaim harus divalidasi oleh data empiris dan dapat diuji kembali oleh orang lain. Hal ini mencerminkan prinsip skeptisisme metodologis yang diuraikan dalam QS. Al-Mulk, di mana pencarian kebenaran tidak berhenti pada asumsi awal tetapi melibatkan proses evaluasi dan penolakan terhadap kesalahan hingga ditemukan konsistensi.
Integrasi Nilai Spiritual dan Keilmuan
Sebagaimana QS. Al-Mulk 3-4 mengarahkan manusia pada pengakuan keterbatasan dan kebesaran Sang Pencipta, Ibnu Haytam juga melihat ilmu pengetahuan sebagai jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia percaya bahwa melalui eksplorasi sistematis terhadap fenomena alam, manusia dapat mengapresiasi keagungan Allah yang tercermin dalam keteraturan alam semesta.
Relevansi dengan Prinsip Sains Modern
Kontribusi Ibnu Haytam menginspirasi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Barat, khususnya melalui pengaruhnya pada tokoh-tokoh seperti Roger Bacon dan Kepler. Dalam konteks QS. Al-Mulk 3-4, kita melihat keselarasan nilai-nilai Islam dengan metodologi ilmiah modern. Hal ini membantah klaim bahwa metode ilmiah adalah warisan eksklusif Barat, sekaligus menunjukkan bahwa skeptisisme metodologis telah lama menjadi bagian dari tradisi Islam.
Dengan menyisipkan metodologi ilmiah dari Kitab al-Manazir, pembahasan ini memperkaya analisis QS. Al-Mulk 3-4 dan menegaskan bahwa ajakan untuk berpikir kritis, menguji ulang, dan terus mencari kebenaran bukan hanya prinsip universal, tetapi juga bagian integral dari warisan intelektual Islam. Ini menunjukkan bahwa metode ilmiah modern bukanlah hal asing dalam tradisi Islam, melainkan kelanjutan dari sebuah tradisi panjang pencarian kebenaran yang telah dimulai sejak berabad-abad lalu.
Kesimpulan
QS. Al-Mulk ayat 3-4 menawarkan sebuah kerangka filosofis yang sangat relevan dengan prinsip-prinsip skeptisisme metodologis dalam ilmu pengetahuan. Ayat ini tidak hanya mengajarkan pentingnya pengamatan kritis dan pengujian berulang terhadap klaim-klaim kebenaran, tetapi juga menyoroti keterbatasan indera manusia dalam memahami realitas secara absolut. Dengan menyatakan bahwa penglihatan manusia akan "lelah" dan dengan mengundang manusia untuk mencari "keselarasan" melalui pengujian ulang, QS. Al-Mulk mendorong kita untuk terus-menerus mengevaluasi dan memperbarui pengetahuan kita.
Lebih jauh, ayat ini membantah asumsi bahwa skeptisisme metodologis dan metode ilmiah semata-mata merupakan warisan pemikiran Barat. Sebaliknya, QS. Al-Mulk menunjukkan bahwa ajaran Al-Qur'an telah mengandung prinsip-prinsip dasar yang mendorong eksplorasi kritis dan pencarian kebenaran melalui pengujian yang terus-menerus. Dalam konteks ini, epistemologi keraguan yang dihadirkan dalam Al-Qur'an tidak bertujuan untuk menolak kebenaran, melainkan untuk membuka ruang bagi pemahaman yang lebih mendalam dan dinamis.
Penelitian ini juga menegaskan bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual dapat saling melengkapi. Siklus keraguan dan pengujian, sebagaimana ditunjukkan dalam QS. Al-Mulk, dapat memperkuat metodologi ilmiah sekaligus mengarahkan manusia pada penghormatan terhadap kebesaran Sang Pencipta. Dengan demikian, QS. Al-Mulk menjadi landasan konseptual untuk menjembatani sains dan spiritualitas, serta menginspirasi komunitas ilmiah untuk melihat kebenaran sebagai sesuatu yang tidak statis, melainkan terus-menerus diuji, dicari, dan diperbaharui.
Melalui refleksi kritis ini, kita diingatkan bahwa kebenaran bukanlah sebuah titik akhir, melainkan perjalanan berkelanjutan yang memerlukan kerendahan hati intelektual dan keterbukaan untuk terus belajar.
Penutup
Penelitian ini menegaskan bahwa QS. Al-Mulk 3-4 bukan sekadar wacana spiritual, tetapi juga sebuah kerangka epistemologis yang menawarkan keunggulan tersendiri dalam pemahaman ilmu pengetahuan. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai skeptisisme metodologis dalam pendekatan ilmiah, ayat ini mengajukan sebuah paradigma yang melampaui dikotomi antara sains dan agama. Dalam dunia yang semakin kompleks, di mana tantangan global memerlukan sintesis antara keilmuan dan etika, pendekatan epistemologi keraguan dari QS. Al-Mulk memberikan dasar yang kuat untuk mendekati kebenaran secara dinamis dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, tesis ini menawarkan kritik tajam terhadap asumsi bahwa metode ilmiah dan skeptisisme adalah monopoli peradaban Barat. Sebaliknya, QS. Al-Mulk membuktikan bahwa ajaran Islam, jauh sebelum era modern, telah menekankan pentingnya pengujian ulang, eksplorasi kritis, dan pembaharuan pengetahuan. Dengan demikian, epistemologi keraguan berbasis Al-Qur'an ini bukan hanya relevan, tetapi juga unggul sebagai landasan yang mampu menjawab kebutuhan ilmiah sekaligus memberikan panduan moral dalam mengejar kebenaran.
Keunggulan tesis ini terletak pada kemampuannya untuk menyatukan dua domain yang sering kali dianggap bertentangan: sains dan spiritualitas. Dalam mengajukan kerangka berpikir yang menghargai keraguan, namun tetap terarah pada pencapaian kebenaran yang lebih tinggi, QS. Al-Mulk menawarkan sesuatu yang tidak hanya membangun ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan makna yang lebih dalam kepada umat manusia. Oleh karena itu, pemahaman atas epistemologi keraguan ini bukan hanya sebuah pilihan, tetapi sebuah kebutuhan bagi komunitas ilmiah global untuk mengeksplorasi realitas dengan pikiran yang terbuka dan hati yang bijak. Mungkin sudah waktunya dunia melihat bahwa kebenaran yang sejati bukanlah sesuatu yang dimonopoli oleh satu tradisi, tetapi sebuah warisan kolektif yang terus berkembang dan menyatukan kita semua.
Daftar Pustaka
Sumber Al-Qur'an dan Tafsir
1. Departemen Agama RI. (2019). Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.
2. Al-Mawardi, A. (2002). Tafsir al-Mawardi (Al-Nukat wa al-'Uyun). Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
3. Quraish Shihab, M. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an. Jakarta: Lentera Hati.
Sumber Epistemologi dan Filsafat Sains
4. Chalmers, A. F. (2013). What Is This Thing Called Science?. Berkshire: Open University Press.
5. Popper, K. R. (2002). The Logic of Scientific Discovery. New York: Routledge.
6. Kuhn, T. S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions. Chicago: University of Chicago Press.
7. Nasr, S. H. (1993). Science and Civilization in Islam. Cambridge: Harvard University Press.
8. Al-Attas, S. M. N. (1995). Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur: ISTAC.
Sumber Relevan tentang Integrasi Sains dan Islam
9. Osman Bakar. (1999). The History and Philosophy of Islamic Science. Cambridge: Islamic Texts Society.
10. Bucaille, M. (2001). The Bible, the Qur'an and Science. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust.
11. Iqbal, M. (1999). The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Lahore: Iqbal Academy Pakistan.
12. Ziauddin Sardar. (1989). Explorations in Islamic Science. London: Mansell Publishing.
Sumber Modern tentang Keraguan dan Skeptisisme
13. Russell, B. (1926). A History of Western Philosophy. New York: Simon & Schuster.
14. Descartes, R. (1998). Meditations on First Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press.
15. Hossenfelder, S. (2018). Lost in Math: How Beauty Leads Physics Astray. New York: Basic Books.
Jurnal dan Artikel Ilmiah
16. Rahman, F. (1964). "Islamic Methodology in History," Journal of Near Eastern Studies, 23(1), 1-12.
17. Nasr, S. H. (1987). "Islam and the Problem of Modern Science," Islamic Studies, 26(1), 1-14.
18. Ibrahim, M. (2012). "Epistemology in the Qur'an: A Contemporary Perspective," Islamic Quarterly, 56(2), 145-163.
Sumber Pendukung Lainnya
19. Hawking, S., & Mlodinow, L. (2010). The Grand Design. London: Bantam Press.
20. Smith, W. C. (1957). Islam in Modern History. Princeton: Princeton University Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H