2. Skeptisisme Metodologis dalam Filsafat Barat
Dalam filsafat modern, skeptisisme metodologis pertama kali dicetuskan oleh Ren Descartes melalui metode keraguannya. Descartes meragukan semua pengetahuan inderawi dan konsepsi rasional hingga ia menemukan kebenaran yang tidak dapat dipertanyakan, yaitu cogito ergo sum (aku berpikir, maka aku ada). Konsep ini dianggap sebagai fondasi bagi epistemologi Barat modern yang menempatkan keraguan sebagai metode untuk mencapai kepastian.
Di sisi lain, David Hume mengkritik validitas pengamatan inderawi dengan argumen bahwa semua pengetahuan empiris bersifat probabilistik dan tidak dapat menjamin kepastian. Kritik Hume terhadap induksi melahirkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan memerlukan pengujian berulang dan falsifikasi untuk membangun klaim yang dapat diterima. Konsep ini kemudian disempurnakan oleh Karl Popper dalam prinsip falsifikasi. Menurut Popper (1959), teori ilmiah yang baik bukanlah teori yang "benar secara absolut" tetapi teori yang dapat diuji dan mungkin terbantahkan. Prinsip ini memiliki kemiripan yang menarik dengan ajakan QS. Al-Mulk untuk melakukan pengujian ulang atas realitas alam semesta.
Namun, tidak seperti skeptisisme radikal Hume yang mengarah pada relativisme epistemik, QS. Al-Mulk mengarahkan keraguan menuju keyakinan rasional. Keraguan yang diperintahkan Al-Qur'an bersifat teleologis, yaitu memiliki tujuan akhir berupa kesadaran terhadap keteraturan ciptaan Tuhan.
3. Kritik terhadap Indra sebagai Sumber Pengetahuan
Keterbatasan indera sebagai alat pengetahuan telah lama diakui dalam berbagai tradisi pemikiran. Plato, dalam The Republic, menyatakan bahwa realitas inderawi hanyalah bayangan dari realitas yang lebih tinggi (ide-ide). Sementara itu, dalam tradisi Islam, Al-Ghazali melalui Tahafut al-Falasifah juga meragukan keandalan indera sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Al-Ghazali menekankan pentingnya intuisi (dzawq) dan wahyu untuk melengkapi keterbatasan inderawi dan rasionalitas manusia.
Dalam konteks QS. Al-Mulk, ayat tersebut mengakui kelemahan pengamatan manusia yang digambarkan melalui ungkapan (lelah dan kecewa). Hal ini sejalan dengan kritik terhadap pengetahuan inderawi, namun tidak berarti menolaknya sepenuhnya. Sebaliknya, ayat ini mendorong manusia untuk menggunakan indera secara kritis dan berulang kali, sehingga pengetahuan yang diperoleh menjadi lebih mendalam dan teruji.
4. Integrasi Metode Ilmiah Modern dan Nilai-Nilai Al-Qur'an
Metode ilmiah modern menekankan pentingnya observasi, pengujian ulang, dan falsifikasi dalam membangun teori yang kokoh. Hal ini sejalan dengan prinsip dalam QS. Al-Mulk yang menuntut pengamatan berulang untuk mencari ketidakseimbangan atau ketidaksesuaian dalam realitas. Dalam konteks ini, QS. Al-Mulk memberikan pijakan filosofis bagi pengembangan metode ilmiah yang tidak hanya bersifat empiris tetapi juga reflektif.
Menurut Ziauddin Sardar (1989), ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam bukanlah sekadar akumulasi data empiris, melainkan sebuah proses yang terhubung dengan nilai-nilai etis dan transendental. Pengetahuan ilmiah yang diperoleh melalui pengamatan dan keraguan bertujuan untuk mengantarkan manusia pada kesadaran akan tanda-tanda kebesaran Tuhan (ayatullah) dalam alam semesta.
Tinjauan pustaka ini menunjukkan bahwa epistemologi keraguan memiliki akar yang kuat baik dalam tradisi Islam maupun dalam filsafat Barat. Namun, QS. Al-Mulk ayat 3-4 menawarkan perspektif yang unik: skeptisisme yang produktif, eksploratif, dan teleologis. Keraguan yang diajarkan dalam Al-Qur'an bukanlah keraguan nihilistik yang meruntuhkan klaim kebenaran, melainkan keraguan metodis yang mendorong manusia untuk menguji, mengeksplorasi, dan pada akhirnya menemukan kebenaran yang lebih kokoh dan transendental. Penelitian ini, dengan demikian, berupaya menjembatani kerangka berpikir ilmiah modern dengan nilai-nilai epistemologis dalam Al-Qur'an, khususnya dalam membangun metodologi sains yang kritis dan berkelanjutan.