Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Epistemologi Keraguan dalam Al-Qur'an: Analisis QS Al-Mulk 3-4 sebagai Fondasi Metodologis Skeptisisme Ilmiah

18 Desember 2024   07:44 Diperbarui: 18 Desember 2024   07:44 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Epistemologi Keraguan

Penelitian ini bertujuan untuk menggali epistemologi keraguan yang terkandung dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4 dan membandingkannya dengan skeptisisme dalam filsafat Barat serta metode ilmiah modern. Berdasarkan metode penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis dilakukan melalui pendekatan hermeneutik tafsir terhadap teks Al-Qur'an, analisis komparatif epistemologi, serta studi kasus terkait penerapan skeptisisme dalam ilmu pengetahuan modern. Dalam bagian ini, hasil analisis akan dipaparkan, serta dikaji secara mendalam dan kritis, dengan membenturkan tesis ini terhadap pandangan-pandangan yang ada, terutama terkait dengan anggapan bahwa skeptisisme dan metode ilmiah hanyalah warisan Barat.

1. Epistemologi Keraguan dalam QS. Al-Mulk: Keraguan sebagai Proses Berkelanjutan

QS. Al-Mulk ayat 3-4 menyajikan konsep keraguan sebagai bagian dari proses pencarian kebenaran yang berkelanjutan. Dalam ayat ini, keraguan berfungsi sebagai instrumen kritis untuk menggali dan memverifikasi kebenaran yang lebih dalam. Ayat tersebut tidak hanya mengajak untuk meragukan sekilas pengamatan yang tampak, tetapi juga untuk melakukan pengujian berulang-ulang terhadap realitas yang ada. Istilah (kembalikan pandanganmu) menandakan bahwa setiap pengamatan harus diperiksa kembali, seolah memberi tahu bahwa penglihatan manusia seringkali terbatas atau terdistorsi. Dalam konteks ini, ayat tersebut menawarkan keraguan metodologis yang serupa dengan apa yang diajarkan oleh Descartes dan Hume, meskipun dengan tujuan yang berbeda.

Namun, terdapat perbedaan mendasar antara skeptisisme dalam QS. Al-Mulk dan skeptisisme dalam filsafat Barat, terutama dalam hal tujuan dan arah dari keraguan itu sendiri. Dalam filsafat Barat, seperti yang dikemukakan oleh Hume dan Popper, keraguan sering kali dilihat sebagai cara untuk menguji dan membuktikan bahwa pengetahuan manusia tidak dapat diandalkan tanpa bukti yang kuat dan verifikasi. Keraguan dalam konteks ini seringkali diarahkan pada pengujian dan bahkan penyangkalan terhadap klaim pengetahuan, tanpa jaminan adanya pencapaian kebenaran absolut. Sebaliknya, dalam QS. Al-Mulk, keraguan adalah bagian dari pencarian untuk memahami kebesaran Sang Pencipta dan keteraturan alam yang semakin mempertegas kebenaran, bukan justru meragukan atau menggugurkan klaim kebenaran itu sendiri.

Dengan demikian, dalam epistemologi Islam, keraguan dalam QS. Al-Mulk bukanlah keraguan yang nihilistik atau meruntuhkan pengetahuan yang ada, melainkan merupakan cara untuk mengajak manusia melakukan refleksi yang lebih dalam terhadap pengamatan mereka terhadap dunia. Tujuan akhir keraguan ini adalah untuk membawa pemahaman yang lebih besar tentang keteraturan alam semesta yang pada akhirnya mengarah pada pengakuan akan kebesaran Sang Pencipta. Dengan kata lain, keraguan dalam QS. Al-Mulk lebih teleologis, yaitu memiliki arah dan tujuan yang jelas untuk mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kebenaran transendental.

2. Skeptisisme dalam Filsafat Barat: Keraguan sebagai Metode Pengujian dan Falsifikasi

Jika kita membandingkan konsep keraguan dalam QS. Al-Mulk dengan skeptisisme dalam filsafat Barat, kita menemukan titik temu yang signifikan dalam hal pengujian berulang dan verifikasi. Dalam Descartes' Meditations, keraguan digunakan sebagai langkah pertama untuk memastikan adanya kepastian pengetahuan. Descartes meragukan segalanya, termasuk dirinya sendiri, hingga ia menemukan titik yang tidak dapat diragukan: "cogito ergo sum" (aku berpikir, maka aku ada). Namun, keraguan yang dimaksud Descartes lebih bersifat radikal, yang mengarah pada penghancuran semua premis yang ada hingga penemuan kebenaran yang tak terbantahkan.

Demikian pula, David Hume dalam An Enquiry Concerning Human Understanding mengemukakan bahwa seluruh pengetahuan manusia, terutama yang didasarkan pada pengalaman inderawi, tidak dapat dijamin validitasnya. Oleh karena itu, menurut Hume, seluruh pengetahuan ilmiah bersifat probabilistik dan hanya dapat diuji melalui pengamatan berulang, yang pada akhirnya dapat membuktikan atau membantah klaim-klaim tertentu. Ini sejalan dengan metode ilmiah yang diperkenalkan oleh Karl Popper melalui prinsip falsifikasi, di mana klaim ilmiah yang sah adalah yang dapat diuji dan mungkin terbantahkan.

Namun, meskipun terdapat kesamaan dalam penggunaan keraguan metodologis untuk menguji klaim pengetahuan, kritik terhadap epistemologi keraguan Barat muncul ketika teori-teori tersebut dipandang sebagai produk pemikiran terasing dari tradisi Timur, terutama Islam. Dalam konteks ini, banyak kritikus yang berpendapat bahwa skeptisisme adalah warisan Barat yang menekankan relativisme dan ketidakpastian pengetahuan, dan tidak dapat diterima sepenuhnya dalam tradisi epistemologi Islam yang menegaskan adanya kebenaran yang mutlak dan pasti.

3. Epistemologi Keraguan Islam vs. Skeptisisme Barat: Refleksi atas Kebenaran yang Berkelanjutan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun