Keterbatasan indera dan pengaruhnya terhadap pengetahuan.
Peran keraguan dalam pencarian kebenaran.
Kesamaan dan perbedaan antara epistemologi keraguan dalam Al-Qur'an dan filsafat Barat
Implikasi metode skeptisisme terhadap penelitian ilmiah
Setelah data dikelompokkan dalam tema-tema tersebut, penulis akan menganalisisnya dengan cara membandingkan hasil temuan dalam studi Islam dengan konsep-konsep skeptisisme dalam filsafat Barat serta praktik ilmiah kontemporer. Dengan menggunakan metode analisis komparatif, penulis akan mencari titik temu dan perbedaan di antara berbagai perspektif epistemologis ini.
6. Validitas dan Reliabilitas
Untuk memastikan validitas dan reliabilitas penelitian, pendekatan triangulasi akan diterapkan dengan memverifikasi hasil analisis teks Al-Qur'an dan teori-teori skeptisisme Barat menggunakan berbagai referensi akademik yang relevan, serta dengan membandingkan temuan penelitian ini dengan studi-studi serupa dalam literatur yang ada. Penulis juga akan melakukan pengecekan silang antara interpretasi yang didapat dari tafsir dan filsafat Barat untuk memastikan bahwa pemahaman yang dihasilkan adalah sahih dan kredibel.
Dengan pendekatan ini, penelitian ini berupaya untuk menggali secara mendalam epistemologi keraguan dalam QS. Al-Mulk ayat 3-4, menghubungkannya dengan konsep skeptisisme dalam filsafat Barat, serta menunjukkan relevansinya terhadap metode ilmiah modern. Metode yang digunakan akan memastikan bahwa penelitian ini tidak hanya berfokus pada tafsir teks, tetapi juga mengintegrasikan perspektif ilmiah kontemporer dalam menganalisis epistemologi keraguan.
Hasil dan Pembahasan
Penafsiran QS. Al-Mulk 3-4: Diskusi tentang Perintah Pengamatan Ulang dan Implikasinya terhadap Keterbatasan Inderawi
QS. Al-Mulk ayat 3-4 mengajak umat manusia untuk melakukan pengamatan ulang terhadap fenomena alam, suatu tindakan yang berhubungan dengan pengujian terhadap keterbatasan indera manusia. Ayat pertama menyatakan, "Apakah kamu tidak melihat langit yang tingginya?" yang mengundang manusia untuk merenungkan fenomena alam, sementara ayat kedua melanjutkan dengan perintah untuk melihat ulang hingga mata lelah, yang mengindikasikan bahwa meskipun manusia memiliki kemampuan penglihatan, kemampuan ini terbatas dan bisa menipu. "Mata lelah" dalam ayat tersebut lebih dari sekadar menggambarkan kelelahan fisik, tetapi juga keterbatasan dalam memahami kebenaran mutlak yang hanya dapat dicapai melalui pengamatan berulang dan refleksi kritis. Interpretasi ini menghubungkan penglihatan sebagai salah satu bentuk keterbatasan inderawi, yang sering kali tidak dapat menjangkau keseluruhan kebenaran yang lebih tinggi, baik secara ilmiah maupun spiritual. Oleh karena itu, ajakan untuk menguji berulang kali adalah kritik terhadap kecenderungan manusia untuk menerima pandangan pertama atau kesan inderawi tanpa mempertanyakan lebih dalam.