Nenek Nyon yang melihat hal itu, begitu terkejut sekaligus terheran-heran dengan kepolosan cucu satu-satunya. Dengan sigap, meski sudah cukup tua, nenek Nyon tiba-tiba berjalan menuju pintu. Arka masih berkeringat dingin, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.
"Eh, tuan muda? Apa maksudmu? Mengapa kau begitu kebingungan begitu?" tanya pengembara yang lebih pendek.
"I... i... i... ini cukup a.. a... aneh. Mengapa Anda be... be... be... begitu gegapan kaya gitu? To... tolong buka kan pintu. Itu saja!" lugas pengembara yang lebih tinggi.
"Sial!!! Tampaknya kami (berdua) sedang menghadapi keadaan yang begitu buruk," pikir pengembara yang lebih rendah.
Pintu kayu itu, yang sedari tadi ditatapin oleh kedua pengembara kedinginan itu, terbuka. Terlihat nenek Nyon dengan Arka yang ketakutan di belakangnya. Arka, dia kelihatan begitu pucat. Dengan erat dia memegangi neneknya itu. Keringat dingin masih berkucuran deras dari kulitnya.
"Silahkan masuk. Maafkan kepolosan cucuku ini. Kami selalu terbuka untuk pengembara, kapanpun itu."
 "Ah, baik, terima kasih. Maaf merepotkan."
Dengan demikian, akhirnya, kedua pengembara itu bisa merasakan kehangatan dari tempat perapian kedai nenek Nyo.
"Syukurlah. Akhirnya kita merasakan kehangatan setelah beberapa lama, Kakak!" ucap pengembara yang lebih rendah.
 "Iya, pada akhirnya, kita memiliki tempat untuk berteduh."
      -----------------------------------------------------------------------------------------------