Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Inner Sanctum" I, Sop Tomat Istimewa

22 November 2018   03:01 Diperbarui: 22 November 2018   03:31 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalannya masih tanah, tetapi tidak rapi. Terdapat banyak jalan berlubang, sering diisi air ketika musim hujan turun. Beberapa anak-anak ngenes sering menyebtu genangan itu sebagai telaga dewi. Kata mereka, dewi-dewi di kahyangan sudah bosan mandi di pemandian surgawi yang begitu mewah. Sesekali mereka turun dan mencoba pemandian unik di alam manusia. Datang lah mereka ke kubangan lumpur itu. 

Ketika para bidadari mandi di sana, hujan datang dengan lebat, penanda bahwa mereka tidak ingin diganggu oleh manusia. Ketika mereka merasa begitu nyaman (bidadari-bidadari itu), hujan turun semakin deras. Banjir pun datang. Tandanya para bidadari ingin menikmati waktu lebih lama di negeri itu. Sebuah kisah yang begitu memilukan. Lucunya, para tetua membenarkan pembodohan taik ini.

Sebagai penghubung, pasar berada di tengah-tengah antara bagian utara dengan bagian selatan. Tempat ini terlihat seperti bundaran. Kasta tidak begitu berlaku di sini. Para pedagang, baik dari kalangan kaya maupun dari kalangan miskin, dibebaskan berdagang di slot tempat penjualan manapun. 

Akan tetapi, mereka-mereka yahng kaya sering kali berjualan di tempat-tempat yang teduh dan terkesan mewah. Barang jualannya pun juga berada di luar jangkauan orang-orang ngenes. Ada yang menjual barang antik, ada yang menjual bagian tubuh hewan, ada juga yang menjual jimat-jimat penglaris. 

Sementara itu, para pedagang miskin hanya menjual kebutuhan sehari-hari: beras, telur, daging ayam kalau ada dan hasil buruan dari hutan. Di tengah-tengah pasar, terdapat sebuah pancuran air (fountain) yang sering digadang-gadang sebagai simbolisasi kehidupan sosial di TarukoPedang. Sebuah kolam dengan sebuah tampungan air kecil di atas yang besar. 

Hal ini melambangkan ketergantungan antar kelas. Yang kaya menyebarkan kekayaan mereka kepada yang miskin. Ketiadaan salah satu menyebabkan kekacauan. Jika tidak ada si kaya, si miskin akan hidup semakin merana. Jika tidak ada si miskin, si kaya bingung mau membuang uangnya kemana.

            ---------------------------------------------------------------------------------------------------

Hari sudah sore, para pelanggan sudah banyak yang pulang. Beberapa yang tersisa telah menghabiskan sup tomatnya dan merapikan diri dengan segera, penanda bahwa mereka memaklumi keadaan untuk segera pamit dari tempat itu. Masih banyak mangkuk kotor di atas meja, tetapi belum diambil oleh Arka karena dia masih sibuk mencuci dua tumpukan mangkuk kotor di dapur. Toh, hari sudah senja dan tidak ada lagi pelanggan yang datang. Jadi, mengapa harus buru-buru seperti tadi siang?

"Berapa bayarannya Nek?" tanya pelanggan terakhir.

"Apa kamu hanya memesan satu mangkuk saja, atau ada tambahan lain?" balas Nenek Nyon.

"Ah, aku memesan dua mangkuk dan aku juga memesan segelas kopi jahe panas," ingat pelanggan itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun