Sap.... sap..... sap...
Beberapa meja yang sebelumnya kosong, sekarang telah terhidang beberapa mangkuk sup tomat panas di atasnya. Begitu juga, beberapa meja yang sebelumnya terdapat mangkuk kotor di atasnya, sekarang menghilang begitu saja. Gelak tawa yang begitu riuh itu pun menghilang. Para petani nyinyir itu saling menatap, dan sesekali mencoba menatap pelanggan lain, meski mereka berusaha mengalihkan pandangan. Kejadian aneh itu, ternyata memang terjadi. Dalam pikiran mereka, mereka mesti berkata, "Ternyata desas-desus itu benar. Nenek Nyon bisa mengendalikan sesuatu yang tidak terlihat."
      ----------------------------------------------------------------------------------------------------
Perbuktian di sekitar desa TarukoPedang memang menjadi daya tarik bagi para turis, yang biasanya terdiri dari golongan bangsawan atau bagi para penjelajah miskin. Udaranya yang sejuk, ditambah pemandangan hijau dari hamparan pesawahan dan padang rumpur yang luas, ditambah lagi beberapa penampakan domba yahng putih dari kejauhan, semua kombinasi itu cukup untuk membawa para kantong uang untuk datang ke daerah ini. Sektor pariwisata memang menggiurkan, entah itu karena memang eranya demikian atau karena alasan lain.
Akan tetapi, keadaan demikian tidak selalu membawa kemakmuran yang merata bagi penduduknya. Buktinya saja, desa TarukoPedang, yang seharusnya mengalami pertumbuhan yang pesar sebagai imbas dari arus para wisatawan, justru terkesan stagnan. Para petani terus-menerus menjadi buruh tani yang menyedihkan, ataupun para peternak yang selalu berbicara dengan hewan ternaknya, padahal nanti sore ternak-ternak itu akan diborong para pedagang dengan harga yang murah.
Sistem kasta, bagaimanapun juga, seakan-akan hadir dan berkembang di daerah ini, meski tidak terlihat secara gamblang. Secara umum, hanya ada dua kasta: orang kaya dan orang miskin. Orang-orang kaya, setidaknya, memiliki penghasilan 1000 lembar kertas negara dalam satu bulan. Berbeda dengan kaum melarat, yang rata-rata hanya menghasilkan 100 lembar kertas negara dalam waktu satu bulan, itu pun yang paling rajin dan hal yang demikian cukup jarang terjadi.
Tempat tinggal pun "seakan-akan" dipisah berdasarkan "kasta" yang telah ada. Desa ini terbagi menjadi dua, bagian utara dan bagian selatan. Bagian utara, yang lebih dekat dengan gerbang utama selaku satu-satunya pintu masuk formal ke desa ini, dihuni oleh para kaum kaya.Â
Rumah-rumah yang ada di sana pun, dilihat dari sudut pandang manapun, sangat mewah dan begitu bergaya. Tembok dari batu, beberapa jendela kayu dengan kaca yang begitu bening, atap rumah yang ditutupi genteng mahal, dan taman bunga pribadi yang membudidayakan beberapa tanaman langka dan mahal. Sistem drainasenya juga sangat bagus. Selokannya tidak terlalu lebar tetapi kedalamannya cukup untuk menampung air ketika musim hujan datang. Anehnya, tidak tercium bau-bauan apa pun dari selokan itu.
 Jalannya sudah dipercantik dengan susunan batako yang begitu teratur. Kuda-kuda nyaman berjalan di atasnya, apalagi manusia. Di beberapa tempat, terdapat beberapa lampu penerangan yang dihidupkan ketika senja datang menyapa.Â
Di samping jalanan itu, terdapat tembok setinggi pinggang orang dewasa yang disusun dari susunan batu sungai yang telah dipoles sedemikian rupa. Di luar tembok itu, terdapat padang rumpur hijau yang dijaga ketinggiannya. Di beberapa malam tertentu, terlihat banyak kunang-kunang yang menari-nari di atas rerumputan hijau tersebut. Hal demikian semakin menyemarakkan keindahan bagian utara ini.
Bagian selatan, bagaimanapun juga, terlihat jauh lebih ngenes daripada bagian utara. Perumahan kumuh; terbuat dari kayu, tidak ada taman bunga, selokan penuh lumut dan berbau tajam, atap jerami yang begitu kering, serta lobang di beberapa bagian tembok yang dianggap sebagai jendela.