Mohon tunggu...
Inspirasinews
Inspirasinews Mohon Tunggu... Ilmuwan - Arwan Syahputra

Idealisme adalah Kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda. (Tan Malaka -Bapak republik yang terlupakan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fajar Terakhir bersama Ibu

24 Maret 2020   22:07 Diperbarui: 24 Maret 2020   22:10 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis oleh: Wanda Handayani (Mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris UINSU, Medan)

Ibu
Lampionnya mulai menyala
Ayo kita terbangkan
Ada cahaya merah yang sedang menuxnggu di ufuk Timur

***
"Dasar gubuk kumuh!" Aku menolehkan pandangan keatas langit-langit rumah tua. Ada ibu yang tengah membersihkan debu disetiap celah kayunya.

"Jadi kapan kita akan pergi dari gubuk ini?" Aku melipat kedua tanganku diatas dada, memperhatikan anyaman dinding bambu yang mulai menjatuhkan bubuk lapuk.

Ibu menarik kedua garis bibirnya. "Sabar ya sayang. Kalau ayah mu punya rezeki lebih, kita akan pindah dari rumah ini" Tuturnya sembari menyiapkan bekal siang untuk sekolahku

"Tapi aku malu sama temen-temen bu" Dengusku kesal, menghentakkan kaki lalu masuk kembali kedalam kamar

Aku Fahisya Natalia, gadis ningrat yang jatuh miskin karena kecerobohan ayah

***

"Jadi bagaimana rencana liburanmu semester ini?" Tanya Rumi, meluruskan tatapannya kearahku

"Oh aku akan pergi ke Itali," Jawabku singkat. "Setelah itu aku akan tinggal diJakarta selama beberapa hari" Tersenyum, berusaha menutupi kegugupan

"Bagaimana keadaan anggora putih mu? Apakah sudah sembuh?" Aku mengalihkan topik agar Rumi tak membahasnya lebih dalam lagi

Sialan! Ini semua gara-gara ayah. Betapa cerobohnya dia sampai bisa tertipu oleh rekan bisnisnya.

Aku Fahisya Natalia, dan aku benci kemiskinan

***
"Bangun sayang, mari ikut ibu keberanda rumah" Ibu menggoyangkan bahu kecilku, kebiasaan khas itu telah ku hafal sejak kami tinggal digubuk kumuh ini

Ibu tengah bersandar pada kursi goyang yang terbuat dari kayu jati, kakinya menghentak kecil, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang dibubuhi dengan relif bunga mawar. Matanya memandang kearah Timur, ternyata ada cahaya kemerahan yang tengah dinikmatinya.

Kokokan ayam-ayam jantan
Terdengar lantang dari pintu dusun
Berjejer dibawah kaki gunung
Menepi dikediaman danau siapung

Kepalanya mulai mengangguk kecil, menetap hingga cahaya itu mulai datang. Ditemani alunan lagu kuno kesukaannya, ia bernyanyi dengan nada berayun.

"Sini sayang" ajaknya setelah melihatku diambang pintu

"Kau suka bukan?" Ia tersenyum manis kearahku, wajahnya masih sama seperti yang pernah ku lihat beberapa tahun lalu, ternyata waktu belum mampu untuk merubahnya.

Aku bergidik, untuk apa ia menjemur diri dibawah teduhan sinar rembulan yang hampir hilang dan matahari yang sama sekali belum naik kepermukaan bumi? "Ah! Ada-ada saja" fikirku.

Aku Fahisya Natalia, dan aku mulai jenuh dengan suasana pagi

***

"Tidak ada yang bisa dibanggakan dari gubuk ini!" Aku berkacak pinggang, memperhatikan seisi rumah yang bagiku sangat menjijikkan

"Sabar ya, ayah mu tengah berusaha" Ibu memotong ubi kuning menjadi beberapa bagian. "Nanti kalau sudah ada rezeki pasti kita akan seperti dulu lagi" Tambahnya sembari memasukkan potongan-potongan ubi itu kedalam kuali putih.

"Mau sampai kapan ibu terus berkata seperti ini? Aku bukan anak-anak yang bisa disuguhi dengan janji manis" Aku menendang kaki meja yang mulai lapuk dimakan masa.

"Fahisya! Bukannya ayah mu tengah berbanting tulang dikota orang? Sabarlah sedikit, semua juga butuh proses" Ibu membalas tendangan kaki ku dengan perkataan yang semakin membuatku jengkel.

***
Sudah tujuh kali ku putari rumah berukuran kecil ini, namun ibu tidak terlihat juga.

Aku menggigit bibir bawahku, bola mataku menetap pada burung Nuri yang tengah bertengger diatas pohon cemara. Biasanya ada ibu yang menggorengkan telur dadar setengah matang kesukaanku pada jam segini, namun kemana dia? Tak biasanya seperti ini.

20:00 WIB

Aku tidak bisa seperti ini, ku bereskan beberapa piring yang sedari tadi berserakan didepan pintu dapur, menutup pintu dan jendela lalu pergi dengan langkah kaki yang tak beraturan.

Tidak ada, ibu tidak ada didaerah tempat biasa ia mengistirahatkan diri. Aku melanjutkan langkah dengan engahan nafas yang mulai menyesak didadaku. Memperhatikan setiap beranda rumah warga, siapa tahu ibu ada disana.

Tidak ada, satu kampung ini kosong dengan kehadiran wanita yang jemarinya selalu menyentuh rambut panjangku setiap malam. Kali ini aku benar-benar bingung.

Ku lewati tanjakan bebatuan itu dengan sedikit isak tangis. Aku tak perduli dengan tubuhku yang mulai melemas, rambutku yang lengket diguyur keringat serta mataku yang mulai sembab dibantai keputusasaan.

Dimana dia sekarang?

"Kau mencari ibu mu?" Seorang wanita dengan nampan besar diatas kepalanya

"Dimana ibu ku?" Aku tak bertanya siapa dia terlebih dahulu, aku hanya ingin ibu, semoga dia tahu keberadaan ibuku

"Ibumu sedang berada dirumah sakit, tadi ayahmu yang membawanya kesana" Kata wanita itu sembari mengarahkan jari telunjuknya ke Selatan

Aku berlari dengan kecepatan yang aku sendiri pun tak dapat untuk memperkirakannya. Ku pandangi setiap gang lenggang yang didalamnya dipenuhi oleh pohon rindang. Gelap, sepi dan ketakutan semua menjadi satu. Ibu, yang penting aku dapat melihatnya untuk saat ini.

***
Aku menelan ludah dengan kasar. Ada sosok wanita dengan pakaian serba biru terbaring diatas ranjang tiga kaki berwarna putih. Matanya terpejam, tangan kanannya ditusuk oleh jarum yang panjangnya sekitar 5cm. Begitupun dengan tangan kirinya, terhempas perlahan dari atas perut menuju ke permukaan kasur.

Ayah, ada ayah disana. Tangannya mengelus pelan rambut hitam setengah bahu itu. Tatapannya lurus, penuh linang juga rasa khawatir yang terpancar dari irisnya yang berwarna hitam kecokelatan. Entahlah, mengapa dia bisa pulang secepat ini?

"Ibu" Aku mendekat, tidak ada yang ku tatap selain wajahnya yang memucat

"Ibumu mengalami dehidrasi berat. Ia pergi keatas bukit gajah untuk membuat lampion kesukaanmu" Ayah menatapku dengan sayu

Tubuhku melemas, jantungku melamban seperti ditimpa batu besar pada bagian atasnya, nafasku sesak tertutup air asin yang menggumpal pada ujung hidung. Ku panggil nama itu "Ibu" lalu roboh terjatuh diatas lantai.

Nama ku Fahisya Natalia, dan aku mulai sadar akan bodohku

***
Senyum itu menyapaku tepat pada pukul enam pagi. Meski kecut tapi ia berusaha untuk terlihat sebaik mungkin.

"Fahisya" Tangan ringkihnya menyentuh pipi bulatku

"Iya bu" Ku timpakan sentuhan itu dengan ujung jemariku

"Coba kau buka laci putih itu" Bola matanya menoleh kearah kotak persegi disebelah kiri.

"Lampion?" Kataku mengangkat benda indah itu diatas tangan

"Kau ingat tidak? Dulu suaktu kau kecil, kita selalu menerbangkan lampion kearah Timur?" Tanyanya dengan mata setengah terbuka

"Ingat bu"

"Kau mau tidak mengulang hal itu difajar hari ini?" Kepalanya sedikit mendongak, ada harapan yang sedang ia taruhkan kepada ku.

"Mau, mari bu" Aku memapah tubuh sempoyongannya, ku dorong dengan kursi roda lalu membawanya ke taman berbukit yang tak jauh dari kamar ia dirawat.

Merah dengan sisipan kuning disetiap tebal warnanya. Cahaya itu memancar dengan horizontal, menyentuh pipi kiri ku dengan hangat yang rasanya seperti sebuah pengharapan. Perlahan naik meninggalkan garis cakrawala, menyeringai seperti awan yang bertemu dengan langitnya.

"Ibu, lampionnya mulai menyala. Ayo kita terbangkan, ada cahaya merah yang sedang menunggu di ufuk Timur" Semangat ku terasa bangkit, ada sesuatu yang kembali setelah hilang selama beberapa tahun lamanya.

Terbang, melayang dengan tenang, menari diatas kayangan.

Indah sekali. Rangka bambu yang dibalut dengan sutera putih, yang ditengahnya berdiri tegak parafin bercahaya. Terbang, menjauh lalu hilang ditelan dekapan fajar.

"Setelah fajar ini berakhir akan kau temui harapan dan lembaran hidup yang baru. Kau akan hidup didalamnya dengan waktu yang entah sampai kapan" Ibu memeluk erat tubuhku, mengusap rambutku lalu mencium dahiku yang menguning terpapar sinaran fajar.

***
"Ada apa ini yah?" Tanya ku pada ayah yang matanya mulai menyembab, juga bendera merah yang tergenggam ditangannya

Ramai sekali gang kecil itu. Ramai sampai keujung dapur rumahku. Ada nenek,bibi, para tetangga dan beberapa orang yang tak ku kenal sama sekali raut wajahnya.

"Ibu mu telah tiada" Jawab ayah dengan sesenggukan

Byarrrr

Gelas putih itu terjatuh begitu saja dari genggamanku

"Tidak mungkin. Bukannya ibu yang menyuruh ku untuk mengambil gelas kesayangannya yang tertinggal dirumah sakit?" Aku menggeleng dengan tidak percaya, tersenyum kecut lalu menoleh keambang pintu.

Benar saja. Ada wanita yang rahimnya pernah ku tumpangi membujur kaku diatas tikar berwarna cokelat. Seluruh tubuhnya ditutup oleh kain tebal berwarna putih, serta lantunan ayat suci Al-qur'an yang dibacakan tepat disampingnya.

"Ibu " Teriakku histeris lalu menggoncang kuat tubuh kaku itu

Semua orang menyaksikan tangis ku yang menjadi-jadi. Ku goncang tubuh itu sekali lagi namun ibu tak kunjung bangun dari lelapnya. Aku terisak mengingat semua perkataannya suaktu fajar tadi. Bodoh sekali aku yang tidak menyadari bahwa itu adalah sebuah isyarat kepergiannya.

Aku benar-benar menyesal. Andai waktu bisa diulang kembali, tak akan pernah ku lewatkan setiap fajar bersamanya barang sedetikpun.

"Dimana akan ku temukan sosok itu lagi?" Manis senyumnya, indah rambutnya juga lembut sentuhan tangannya. Semua pergi, pergi seperti lampion yang takkan kembali karena hanyut dalam dekapan fajar.

Aku meringis pedih bersandar pada dinding bambu, menarik nafas dengan dalam lalu menghelanya agar rasa ini segera hilang.

"Fajar terakhir kita begitu indah ya bu" Kataku tersenyum lirih

Aku Fahisya Natalia, kini aku tahu arti sebuah fajar yang sesungguhnya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun