Mohon tunggu...
Inspirasinews
Inspirasinews Mohon Tunggu... Ilmuwan - Arwan Syahputra

Idealisme adalah Kemewahan terakhir yang dimiliki pemuda. (Tan Malaka -Bapak republik yang terlupakan)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Fajar Terakhir bersama Ibu

24 Maret 2020   22:07 Diperbarui: 24 Maret 2020   22:10 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidak ada yang bisa dibanggakan dari gubuk ini!" Aku berkacak pinggang, memperhatikan seisi rumah yang bagiku sangat menjijikkan

"Sabar ya, ayah mu tengah berusaha" Ibu memotong ubi kuning menjadi beberapa bagian. "Nanti kalau sudah ada rezeki pasti kita akan seperti dulu lagi" Tambahnya sembari memasukkan potongan-potongan ubi itu kedalam kuali putih.

"Mau sampai kapan ibu terus berkata seperti ini? Aku bukan anak-anak yang bisa disuguhi dengan janji manis" Aku menendang kaki meja yang mulai lapuk dimakan masa.

"Fahisya! Bukannya ayah mu tengah berbanting tulang dikota orang? Sabarlah sedikit, semua juga butuh proses" Ibu membalas tendangan kaki ku dengan perkataan yang semakin membuatku jengkel.

***
Sudah tujuh kali ku putari rumah berukuran kecil ini, namun ibu tidak terlihat juga.

Aku menggigit bibir bawahku, bola mataku menetap pada burung Nuri yang tengah bertengger diatas pohon cemara. Biasanya ada ibu yang menggorengkan telur dadar setengah matang kesukaanku pada jam segini, namun kemana dia? Tak biasanya seperti ini.

20:00 WIB

Aku tidak bisa seperti ini, ku bereskan beberapa piring yang sedari tadi berserakan didepan pintu dapur, menutup pintu dan jendela lalu pergi dengan langkah kaki yang tak beraturan.

Tidak ada, ibu tidak ada didaerah tempat biasa ia mengistirahatkan diri. Aku melanjutkan langkah dengan engahan nafas yang mulai menyesak didadaku. Memperhatikan setiap beranda rumah warga, siapa tahu ibu ada disana.

Tidak ada, satu kampung ini kosong dengan kehadiran wanita yang jemarinya selalu menyentuh rambut panjangku setiap malam. Kali ini aku benar-benar bingung.

Ku lewati tanjakan bebatuan itu dengan sedikit isak tangis. Aku tak perduli dengan tubuhku yang mulai melemas, rambutku yang lengket diguyur keringat serta mataku yang mulai sembab dibantai keputusasaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun