Sialan! Ini semua gara-gara ayah. Betapa cerobohnya dia sampai bisa tertipu oleh rekan bisnisnya.
Aku Fahisya Natalia, dan aku benci kemiskinan
***
"Bangun sayang, mari ikut ibu keberanda rumah" Ibu menggoyangkan bahu kecilku, kebiasaan khas itu telah ku hafal sejak kami tinggal digubuk kumuh ini
Ibu tengah bersandar pada kursi goyang yang terbuat dari kayu jati, kakinya menghentak kecil, jemarinya mengetuk-ngetuk meja kayu yang dibubuhi dengan relif bunga mawar. Matanya memandang kearah Timur, ternyata ada cahaya kemerahan yang tengah dinikmatinya.
Kokokan ayam-ayam jantan
Terdengar lantang dari pintu dusun
Berjejer dibawah kaki gunung
Menepi dikediaman danau siapung
Kepalanya mulai mengangguk kecil, menetap hingga cahaya itu mulai datang. Ditemani alunan lagu kuno kesukaannya, ia bernyanyi dengan nada berayun.
"Sini sayang" ajaknya setelah melihatku diambang pintu
"Kau suka bukan?" Ia tersenyum manis kearahku, wajahnya masih sama seperti yang pernah ku lihat beberapa tahun lalu, ternyata waktu belum mampu untuk merubahnya.
Aku bergidik, untuk apa ia menjemur diri dibawah teduhan sinar rembulan yang hampir hilang dan matahari yang sama sekali belum naik kepermukaan bumi? "Ah! Ada-ada saja" fikirku.
Aku Fahisya Natalia, dan aku mulai jenuh dengan suasana pagi
***