Pandemi CoVid-19 Mengubah Cara Hidup
Coronavirus Disease yang muncul pada Desember 2019 di Wuhan, begitu mengagetkan manusia di belahan bumi manapun. Menyebar senyap dan tak kasat mata ke berbagai negara termasuk Indonesia.
Disingkat Covid-19, masih segar di ingatan kita, betapa cara hidup berubah drastis gara-gara virus yang mematikan ini. Virus pembunuh yang belum ada vaksin dan obatnya membuat jungkir balik sendi-sendi kehidupan.
Kalimat new normal yang semula asing begitu melekat di telinga. Imbauan “Jaga Jarak”, “Selalu Pakai Masker”, “Biasakan Cuci Tangan Pakai Sabun”, dan “Hindari Kerumunan” begitu gencar disosialisasikan oleh pemerintah. Peribahasa “Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh”, betul-betul runtuh tergantikan menjadi “Bersatu Kita Runtuh, Bercerai (Jaga Jarak) Kita Hidup”.
Berdasarkan data di Website Satuan Tugas Penanganan Covid-19 per tanggal 1 Agustus 2020, Covid-19 di Indonesia telah menyebar di 34 Provinsi.
Berarti, semua Provinsi di Indonesia sudah terpapar Covid-19. Dari 514 Kabupaten/Kota di Indonesia, sebanyak 496 Kabupaten/Kota juga terpapar Covid-19. Hanya 18 daerah yang tidak terpapar Covid-19.
Mengingat dan mempertimbangkan perkembangan luar biasa yang terjadi, pemerintah memutuskan untuk menutup kegiatan di sekolah. Aktivitas pembelajaran dialihkan ke rumah.
Siswa belajar dari rumah, guru bekerja dari rumah. Akibatnya, lingkungan sekolah menjadi sepi, tidak ada aktivitas kegiatan belajar di kelas. Begitupun kegiatan ekstrakurikuler, dihentikan untuk jangka waktu yang tidak bisa ditentukan.
Langkah ini diambil oleh pemerintah (khususnya Kemendikbud) semata-mata karena keadaan darurat demi mengutamakan keselamatan warga sekolah utamanya siswa dari paparan Covid-19 yang mematikan.
Polemik Belajar Dari Rumah
Penutupan sekolah dari aktivitas kegiatan pembelajaran tidak serta merta menghentikan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran yang semula tatap muka langsung di sekolah (direct), dihentikan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan.
Segala aktivitas pembelajaran berlangsung secara tidak tatap muka langsung (indirect). Siswa belajar dari rumah, guru bekerja dari rumah. Hingga istilah Work From Home (WFH) dan Study From Home (SFH) begitu bersahabat di telinga kita.
Untuk menjembatani kepentingan pendidikan di tengah darurat Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran.
Melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, Kemendikbud memberi rambu-rambu penyesuaian kedaruratan Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Proses Belajar Dari Rumah (BDR), Ujian Sekolah dan Kelulusan, Kenaikan Kelas, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan Penggunaan Dana BOS. Dikeluarkannya SE Mendikbud ini jelas menjawab tantangan yang diakibatkan terjadinya kondisi kedaruratan yang disebabkan pandemi Covid-19.
Menggarisbawahi penerapan “Belajar Dari Rumah” (BDR), maka siswa dan guru harus menyesuaikan dengan pola “Pembelajaran Jarak Jauh” (PJJ). Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi, sebab PJJ membutuhkan sarana telekomunikasi yang mumpuni.
Mengingat dukungan sarana telekomunikasi dan informasi masih lemah, maka tantangan dan kendala ini terus bergulir dan menjadi diskursus di jagat media dan masyarakat luas.
Bahkan menjadi satu topik hangat dan cenderung memanas yang menyoroti “Ketidakmampuan Mendikbud Mengelola Lembaga Pendidikan di Masa Darurat”.
Polemik dan kendala dalam BDR menyangkut daya beli kuota internet, sinyal internet lemah dan tidak merata, masih ada daerah tidak teraliri listrik, tidak semua siswa mempunyai gawai, hingga kekhawatiran penyimpangan karakter anak.
Belum lagi orang tua yang merasa direpotkan, utamanya para ibu harus menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan guru bagi anaknya di rumah. Ironisnya, eksistensi guru juga disorot, hingga viral pendapat “Guru Makan Gaji Buta”, sebab tidak nampak nyata di depan mata mereka aktivitas guru bekerja, sedangkan gaji mengalir seibarat air kran mengucur deras.
Sebagai guru, penulis juga merasakan langsung tantangan dan kendala BDR. Sedih rasanya, dapat info dari siswa yang kehabisan pulsa kuota internet.
Lebih sedih lagi, orang tua siswa ada yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagai dampak pandemi Covid-19.
Mereka mengeluh, jangankan untuk beli pulsa internet, untuk biaya hidup sehari-hari susah terpenuhi. Mereka harus menjual harta kekayaan yang bisa dijual. Juga banyak yang pinjam uang ke saudara ataupun tetangga.
Sedih juga rasanya, dapat kabar dari sahabat Kompasianer di Manggarai, hanya untuk mendapatkan sinyal internet, rela naik pohon tinggi. Bahkan ada yang naik bukit. Perjuangan tanpa batas dan belum terbebas dari beban berat.
Padahal, Menteri Telekomunikasi dan Informatika di Kabinet Indonesia Maju berasal dari Kabupaten Manggarai-Nusa Tenggara Timur. Inilah tantangan lintas sektoral.
Tantangan yang harus mampu dijawab nyata dengan menghadirkan pemerataan akses telekomunikasi dan informatika yang menyentuh di segala lini kehidupan.
Banyaknya polemik belajar dari rumah atau apapun istilahnya, menimbulkan riak-riak kejenuhan dan naiknya tensi darah. Pengamat, netizen, apalagi orang tua mendorong untuk membuka kegiatan belajar di sekolah. Penerapan BDR dianggap lebih banyak menyiksa daripada membahagiakan anak dan orang tua. Sebegitu dalamnya penilaian ini menyengat.
Niat baik pemerintah melalui Kemendikbud yang diberi kuasa penuh menggerakkan pendidikan kedaruratan di masa pandemi Covid-19 seakan tiada manfaat. Hilang oleh pendapat yang mengemuka bahwa BDR lebih banyak mudarat.
Padahal, kebijakan yang diambil oleh pemerintah lebih mengutamakan kesehatan dan keselamatan serta bahaya yang dihadapi oleh anak-anak mereka.
Bahkan perkiraan pengamat akan ada begitu banyak anak terpapar CoVid-19, tidak digubris sama sekali. Demikian juga pemikiran sekolah dapat menjadi kluster baru penyebaran Covid-19, tidak diindahkan. Miris dan sungguh ironis.
Solusi Itu Ada, Kembalikan ke Sosok Guru
Pandemi Covid-19 membuka mata kita, selebar-lebarnya tentang pentingnya peran telekomunikasi dan informatika, khususnya di bidang pendidikan. Jangan lagi meremehkan kemampuan guru di bidang teknologi informasi. Mereka mulai melek Google Apps, Microsoft 365, dan sejenisnya.
Dikutip dari Wikipedia, teknologi Informasi (TI), atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Information technology (IT) adalah istilah umum untuk teknologi apa pun yang membantu manusia dalam membuat, mengubah, menyimpan, mengomunikasikan dan/atau menyebarkan informasi. TI menyatukan komputasi dan komunikasi berkecepatan tinggi untuk data, suara, dan video.
Contoh dari Teknologi Informasi bukan hanya berupa komputer pribadi, tetapi juga telepon, TV, peralatan rumah tangga elektronik, dan peranti genggam modern (misalnya ponsel).
Jangan dikira guru hanya diam menyikapi tantangan new normal. Apalagi distempel “Hanya Makan Gaji Buta”. Mereka terdepan bergerak menyesuaikan keadaan.
Sebagian gaji yang kadang cukup untuk kebutuhan sehari-hari (karena lebih dialihkan untuk cicilan bank guna memiliki rumah, biaya sekolah atau kuliah anak dan sebagainya), mereka gunakan untuk belanja sarana telekomunikasi seperti komputer, smartphone, webcam, modem dan sarana lainnya.
Sarana ini perlu untuk meningkatkan kompetensi penguasaan teknologi informasi lewat webimtek, webinar, tutorial youtube, dan lainnya.
Semua usaha ini membutuhkan sarana yang mumpuni dan harus menyesuaikan dengan kapasitas memori perangkat untuk meminimalkan kendala akses teknologi dan informasi. Peningkatan kompetensi ini mereka butuhkan guna memberikan layanan terbaik untuk anak didik masa depan bangsa.
Guru tetap mendampingi siswa dari rumah sesuai jadwal pembelajaran dari satuan pendidikan. Jam kerja mereka tidak kasat mata, bahkan cenderung membuka layanan pembelajaran kapanpun yang siswa inginkan yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan lainnya.
Malam hari hingga kadang bahkan dini hari, guru mengolah nilai dan menyiapkan perangkat pembelajaran berikutnya. Waktu memang lebih banyak tersita untuk membuat media pembelajaran yang sekiranya dapat diakses oleh semua siswa dan tidak menyedot pulsa internet kedua belah pihak.
Kembali ke masalah pembelajaran jarak jauh, masalah yang dihadapi siswa juga dialami oleh guru. Masalah yang dihadapi orang tua siswa juga dihadapi oleh guru.
Belanja pulsa internet yang menguras kantong, sinyal lemot karena ketersediaan jaringan yang berbeda dari perusahaan penyedia telekomunikasi, pembiasaan new normal yang cenderung dilanggar, dan terkikisnya karakter siswa karena lepas dari “pendidikan guru di sekolah” perlu dikembalikan ke guru.
Lantas, bagaimana caranya? Apa perlu guru dan siswa kembali ke sekolah di bawah ancaman masih ganasnya virus korona menyerang yang tak kasat mata? Sedangkan sebagian besar wilayah di Indonesia masih zona kuning, oranye, dan merah.
Solusi itu ada. Sekali lagi solusi itu ada. Wujudkan “Internet Rumah Guru”. Alokasikan sebagian dana Kemendikbud membentuk “internet rumah guru”.
Ide ini muncul (oleh penulis) dengan mengamati semakin merebaknya langganan wifi anak-anak di rumah-rumah atau warung yang ada wifi-nya. Mereka (siswa) rata-rata membayar dua ribu rupiah tiap hari untuk bisa mengakses internet secara bebas tanpa batasan kuota.
Warung-warung yang ada iklan “Free Wifi” bahkan gratis tanpa bayar, padahal biaya langganan internet warung ini diambilkan dari harga makanan dan minuman yang sedikit dinaikkan (mana ada bisnis yang tidak cari untung).
Fenomena merebaknya “Wifi Rumahan Murah” dan “Free Wifi” di warung atau kafe sebetulnya bisa diadopsi Kemendikbud membentuk “Internet Rumah Guru”. Jelas ada perbedaan dan keunggulan “Internet Rumah Guru” dibanding layanan internet lainnya, antara lain:
Pertama, Gratis dan Bukan Bisnis. Kemendikbud membiayai dengan subsidi internet berlangganan untuk “internet rumah guru”.
Dengan cara ini, guru dan siswa tidak lagi belanja pulsa internet yang menguras kantong. Sehingga keluhan orang tua baik yang ekonomi mampu dan kurang mampu serta guru dapat terbantu dalam melaksanakan pembelajaran jarak jauh.
Kedua, Lebih Merata. Rumah guru tersebar di kota hingga pelosok desa. Memungkinkan siswa untuk lebih mudah menjangkau tempat tersedianya jaringan internet.
Tetapi, tugas Kemenkominfo dan Kemendikbud untuk lebih masuk lebih dalam lagi menyediakan sarana dan prasarana telekomunikasi secara memadai. Inilah saatnya bekerja untuk bangsa dan negara.
Tunjukkan bahwa negara hadir di tengah-tengah masyarakat dalam kondisi apapun. Jangan hanya puas sekedar meresmikan proyek-proyek prestisius. Tunjukkan bahwa Kemenkominfo mampu menghadirkan “akses internet ngebut dan tanpa kendala” secara merata.
Ketiga, Siswa Terdampingi. Bukan rahasia lagi, siswa lebih “menurut” pada sosok guru. Dengan adanya guru (meskipun bukan guru mapel atau guru kelasnya), sikap “kenakalan mereka” lebih dapat dikontrol. Terpenting, protokol kesehatan dapat tetap terjaga, beda dengan "Wifi Rumahan" dan kafe yang cenderung longgar.
Batasi hanya paling banyak melayani 12 anak yang dibagi tiga kelompok di tiap “Internet Rumah Guru”. Penjadwalan dapat diatur fleksibel sedemikian rupa untuk menghindari “ke rumunan berlebihan”.
Misalkan dalam 1 sampai 2 jam, kelompok 1 yang terdiri 4 anak memanfaatkan "Internet Rumah Guru" dan bergulir bergantian ke kelompok lainnya. Sehingga guru lebih mudah mengontrol pelaksanaan protokol kesehatan serta fungsi fasilitator pembelajaran jarak jauh.
Dengan demikian, tidak ada lagi kekhawatiran melanggar protokol kesehatan di masa pandemi korona dan penyimpangan nilai-nilai sosial budaya lainnya (pembentukan karakter).
Keempat, Orang Tua Terbantu. Fungsi peran ganda orang tua khususnya ibu sebagai “ibu rumah tangga dan guru rumahan” lebih ringan, karena siswa (anak mereka) dapat belajar lebih terlayani berkolaborasi dengan siswa lainnya di bawah guru sebagai fasilitator di “Internet Rumah Guru”.
Kelima, Pembelajaran Jarak Jauh Menjadi Lebih Menyenangkan. Walaupun dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat di “Internet Rumah Guru”, para siswa (anak-anak) dapat bersosialisasi dan berkolaborasi secara terpantau.
Tidak lagi terkungkung dan jenuh belajar sendirian di rumah. Kalaupun ada anak yang tidak mempunyai gawai, pihak Kemendikbud bisa meminjamkan lewat “Internet Rumah Guru”.
Kemendikbud bisa pula melanjutkan “Program Pengadaan Sejuta Tablet” untuk anak yang kurang mampu dan betul-betul tidak mempunyai gawai.
Program “Internet Rumah Guru” tentunya butuh tahapan, tetapi harus gerak cepat. Tidak semua guru bisa menjalankan program ini.
Hanya guru yang kompeten di bidang teknologi informasi yang bisa membantu anak dalam pembelajaran jarak jauh. Hanya rumah guru yang dapat memenuhi protokol kesehatan dapat ikut program ini.
Pemetaan zona rumah guru juga perlu dilakukan agar dalam satu wilayah "tidak menumpuk", banyak aplikasi yang bisa digunakan untuk pemetaan ini.
Terakhir, ide “Internet Rumah Guru” ini hanyalah ide sederhana penulis. Lahir dari hasil pengamatan fenomena di lingkungan penulis tinggal.
Kalau bisa melibatkan guru dan mendekatkan jarak jangkau akses internet dengan siswa secara gratis, mengapa tidak dicoba untuk direalisasikan. Terpenting, program ini betul-betul butuh kerja keras lintas sektoral.
Kemendikbud dan Kemenkominfo harus hadir memberikan “layanan gratis akses internet ngebut tanpa kendala hingga ke pelosok desa dan kota” lewat program “Internet Rumah Guru”.
Kesampingkan faktor bisnis, jangan terlalu berpikir hitung rugi-laba. Rakyat di masa terjepit ini betul-betul butuh hadirnya sosok Mendikbud dan Menkominfo. Titip pula Dirut PLN untuk segera menghadirkan listrik di pelosok manapun. Semoga.
Daftar Rujukan: covid19.go.id | wiki/Teknologi_informasi | kemdikbud.go.id/main/blog.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H