Untuk menjembatani kepentingan pendidikan di tengah darurat Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan kebijakan berupa Surat Edaran.
Melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020, Kemendikbud memberi rambu-rambu penyesuaian kedaruratan Pelaksanaan Ujian Nasional (UN), Proses Belajar Dari Rumah (BDR), Ujian Sekolah dan Kelulusan, Kenaikan Kelas, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), dan Penggunaan Dana BOS. Dikeluarkannya SE Mendikbud ini jelas menjawab tantangan yang diakibatkan terjadinya kondisi kedaruratan yang disebabkan pandemi Covid-19.
Menggarisbawahi penerapan “Belajar Dari Rumah” (BDR), maka siswa dan guru harus menyesuaikan dengan pola “Pembelajaran Jarak Jauh” (PJJ). Banyak tantangan dan kendala yang dihadapi, sebab PJJ membutuhkan sarana telekomunikasi yang mumpuni.
Mengingat dukungan sarana telekomunikasi dan informasi masih lemah, maka tantangan dan kendala ini terus bergulir dan menjadi diskursus di jagat media dan masyarakat luas.
Bahkan menjadi satu topik hangat dan cenderung memanas yang menyoroti “Ketidakmampuan Mendikbud Mengelola Lembaga Pendidikan di Masa Darurat”.
Polemik dan kendala dalam BDR menyangkut daya beli kuota internet, sinyal internet lemah dan tidak merata, masih ada daerah tidak teraliri listrik, tidak semua siswa mempunyai gawai, hingga kekhawatiran penyimpangan karakter anak.
Belum lagi orang tua yang merasa direpotkan, utamanya para ibu harus menjalani peran ganda sebagai ibu rumah tangga dan guru bagi anaknya di rumah. Ironisnya, eksistensi guru juga disorot, hingga viral pendapat “Guru Makan Gaji Buta”, sebab tidak nampak nyata di depan mata mereka aktivitas guru bekerja, sedangkan gaji mengalir seibarat air kran mengucur deras.
Sebagai guru, penulis juga merasakan langsung tantangan dan kendala BDR. Sedih rasanya, dapat info dari siswa yang kehabisan pulsa kuota internet.
Lebih sedih lagi, orang tua siswa ada yang dirumahkan dan mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK), sebagai dampak pandemi Covid-19.
Mereka mengeluh, jangankan untuk beli pulsa internet, untuk biaya hidup sehari-hari susah terpenuhi. Mereka harus menjual harta kekayaan yang bisa dijual. Juga banyak yang pinjam uang ke saudara ataupun tetangga.
Sedih juga rasanya, dapat kabar dari sahabat Kompasianer di Manggarai, hanya untuk mendapatkan sinyal internet, rela naik pohon tinggi. Bahkan ada yang naik bukit. Perjuangan tanpa batas dan belum terbebas dari beban berat.