"Lha, Mbakayu apa sebentar lagi mau mati? Kok omongannya aneh. Aku merkinding kiye," kata Margono sambil menekan rem.
Plakk!
Tangan Tri sigap menampar belakang kepala Margono lagi, "Jalan terus! Jangan sampai berhenti!"
"Baru minta maaf, sudah ngeplak lagi."
"Jalan terus pokoknya!"
Semakin bingunglah Margono. Di saat-saat genting itulah Sagrip kemudian datang dengan memanggul Themel di bahunya. Seperti lega dan bebannya lepas walaupun belum sepenuhnya merasa aman, Tri langsung menubruk suami dan anaknya itu lalu dengan panik berteriak, "Ada bom dalam ban sepeda! Kalau sampai sepedanya berhenti, bomnya meledak. Badan Margono bisa pecah, ususnya nanti diether-ether kucing sampai perapatan!"
"Apaaa?!" teriak Sagrip.
"Haaa?!" teriak Margono.
"What the hell ..." gumam Themel yang suka nonton film-film ngamrik.
Margono langsung panik mendengar kata-kata Tri itu. Reflek, kakinya langsung bertambah kencang menggowes pedal sepeda. Ngebut berputar-putar di halaman rumah presis seperti balap sepeda individual time trial di velodrome. Mulutnya berteriak, "Gimana ini, Brooo ...?! Waaaa ...!"
Sagrip menurunkan Themel dari bahunya yang langsung disambar Tri untuk dibawa menjauh ke jalan. Dahinya berkerut. Seumur hidup, Sagrip belum pernah mendengar ada bom bisa ditaruh dalam ban sepeda. Hubungannya dengan putaran roda, lagi. Presis film ngamrik saja. Dengan berani, dia kemudian berdiri di lintasan yang dilalui Margono. Saat Margono melewatinya, Sagrip menangkap tubuhnya yang kecil itu, merenggutnya paksa dari atas sepeda lalu melemparkannya ke rimbun tanaman teh-tehan. Tubuh Margono yang setipis kondom 25 itu temangsang dengan nyaman di sana. Gusraakkk! Sepeda maut itu sendiri terus melaju, menabrak undak-undakan teras rumah dan rubuh tergelimpang.