"Mbakayuuuu ... sepeda siapa iniiii?"
Tri melongokkan kepala lewat jendela kamar depan.
"Lha, mbuh. Dari tadi di situ. Katanya hadiah ulang tahun buat Teguh. Tapi wong Teguh itu lagi nggak ulang tahun, je."
Margono pun melihat kartu ucapan itu dan penasaran membukanya. Ngakak dia.
"Waduh, Themel punya penggemar!" katanya. Tri menjulurkan tangannya dan melemparkan botol parfum bekas ke arah Margono, tapi luput. Klonthang!
"Penggemar jidatmu itu!" makinya. Margono ngakak.
"Tek coba ya, Mbakayu?"
"Hissh! Jangan! Barang belum jelas jangan diubah-ubah."
"Lha, cuma dinaikin aja muter latar gitu masa nggak boleh?"
"Sampai jelas dulu itu barang punya siapa, baru boleh!" tegas Tri lalu pergi ke dapur. Tinggallah margono yang klepas-klepus merokok sambil mengamati sepeda anak-anak itu. Margono bukanlah Margono jika begitu saja manut sama orang. Belum lima menit Tri melarangnya, sudah dua menit dia melanggar. Santai saja dia duduk di jok dan tubuhnya sengaja dimentul-mentulkan untuk merasai per jok sepeda itu. Tubuhnya kecil, tentu saja sepeda anak-anak itu tidak jebol seperti jika misalkan Sagrip yang menaikinya.
Di dapur, telepon genggam Tri berbunyi. Sebuah nomor asing nongol di layar. Tri mengernyitkan dahi. Jarang telepon genggamnya itu ada yang menghubungi kecuali bapak atau teman-teman kerjanya. Suaminya sendiri, Sagrip, tidak pernah punya telepon genggam.