"Lha seharusnya?"
"Kenapa ndak buat memperbaiki bangunan-bangunan sekolah di desa ini saja? Saya terus terang jadi ingat dengan Themel, Pak. Dia cerita kalau kepalanya sering kejatuhan serpihan kayu dari usuk yang keropos di kelasnya. Bayangkan jika yang jatuh balok kayu yang besar atau malah seluruh atapnya runtuh beserta tembok-tembok dan gentingnya. Jadi apa si Themel itu?"
Orang-orang yang hadir nggremeng. Sebagian besar membenarkan pendapat Sagrip. Anak-anak mereka juga sama, banyak yang sekolahnya sama dengan sekolah Themel dan pastinya pernah mendengar cerita yang serupa.
"Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri, Grip," kata Pak Lurah.
"Di mana bagian untuk perbaikan sekolahnya, Pak? Kok masih pada rusak? Kalau hujan, bocor. Kalau angin, gentingnya pada terbang. Ndak ada angin, ndak ada hujan, tembok pembatas bisa rubuh sendiri. Bagaimana anak-anak bisa belajar dengan tenang?"
Jiangkrik, pikir Sagrip. Kok dia bisa bicara begitu, ya?
"Sebenarnya sudah ada wacana untuk itu dan akan direalisasikan," kata Pak Lurah.
"Kita butuh bukti, Pak!" kata Sagrip kesal dan sekali lagi menyiram kepalanya setelah rokoknya dia buang. Orang-orang mundur lagi, tidak ada yang berani mecegah. Pak Lurah panik.
"Baiklah!" serunya.
"Baik apa, Pak?" tanya Sagrip masih mencetrek-cetrek pemantiknya.
"Nanti saya sampaikan ke atas!"