"Sudah, Pak. Tapi saya tidak tahu bakal disambut atau tidak. Mungkin urusan seperti ini tidak terlalu penting buat mereka, tapi bagi saya ini berarti banyak."
Orang itu mengangguk-angguk lagi.
"Kalau hanya buku-buku bekas, insya Allah saya pribadi punya, Mas. Kebetulan anak-anak saya juga hobi membaca dan mengoleksi buku yang sekarang justru terbengkalai di gudang. Mas boleh bawa semua kalau mau."
Naim bengong, tidak percaya pada pendengarannya.
"Serius, Pak?"
"Sangat serius, Mas. Kalau Mas mau, datang saja ke rumah," kata orang itu lagi sambil memberikan kartu namanya.
Naim tidak tahu, saat itu dia harus menangis atau berteriak kegirangan. Tapi yang jelas, hatinya mengucap syukur.
"Baik, Pak," katanya setelah terpukau beberapa lama memegang dan membaca kartu nama di tangannya, "saya pasti akan ke rumah Bapak membawa becak saya."
*****
Seminggu kemudian, Taman Baca Mahanani yang kali itu digelar di sebuah lahan kosong beberapa blok dari rumah Naim ramai sekali dengan pembaca anak-anak. Beberapa ibu-ibu yang menemani anak-anaknya pun turut membaca majalah wanita yang memang disediakan oleh Naim khusus untuk mereka.
Dengan bahagia, Naim duduk di kursi plastiknya sambil mengawasi mereka dari bawah bayang rindang pohon jambu. Di hadapannya, segelas kopi hitam pekat beraroma aduhai masih mengepulkan uap. Ngesti berdiri di dekatnya menutup termos berisi kopi yang baru dituangkannya.