Mohon tunggu...
A K Basuki
A K Basuki Mohon Tunggu... karyawan swasta -

menjauhi larangan-Nya dan menjauhi wortel..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Naim, Becak dan Taman Bacaan Anak-anak

1 Juli 2011   14:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:00 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13297258961030383726

Pak Sumaryoto memandangi anak muda kerempeng di depannya yang sedari tadi serius memberikan penjelasan tentang alasan untuk meminjam becak yang memang sudah lama dinonaktifkannya.

"Alangkah lebih bijaksana jika becak yang sudah tidak terpakai itu kita manfaatkan untuk sesuatu yang berguna, Pak. Misalkan seperti yang sudah saya ceritakan tadi, sebagai sarana saya dalam mewujudkan sebuah taman bacaan keliling untuk anak-anak."

"Iya, bapak paham maksud nak Naim, tapi terus terang saja Bapak sudah ndak sanggup lagi mengayuh becak, itu makanya becak Bapak dipensiunkan."

"Loh, Bapak ini gimana, to? Maksud saya, saya hanya ingin memanfaatkan becaknya saja, ndak meminta Bapak jadi pilotnya."

"Oo.."

Tepat pada saat itu, Ngesti anak bungsu pak Sumaryoto keluar menyuguhkan kopi dan makanan ringan dalam toples.

"Apalagi," Naim berdehem, "masa saya berani memberdayakan calon mertua sendiri?"

Sebuah cubitan langsung melayang ke lengan Naim. Ngesti melotot.

"Apa, Nak Naim? Sampeyan juga sekalian mau membudayakan orang tua?"

Naim cengengesan.

"Iya, Pak. Tapi itu nanti kalau rencana pertama saya ini sukses. Yang paling penting sekarang ini adalah menumbuhkan minat baca pada anak-anak karena mereka sekarang justru lebih suka nonton televisi atau main game di internet."

"Iya, betul juga," kata pak Sumaryoto manggut-manggut.

Naim menyeruput kopi buatan Ngesti. Nikmat betul, beda sekali rasanya kopi buatan tangan perawan cantik dengan kopi buatan tangan Mbah Atmo yang keriput pemilik warung pinggir jalan yang biasa ditongkronginya.

"Makanya, kalau Bapak mengijinkan, nanti saya perbaiki becak itu daripada jadi besi tua. Mungkin saya modifikasi sedikit biar bisa memuat banyak buku yang akan saya bawa berkeliling."

"Bagus, Nak Naim. Karena niatmu sangat mulia, Bapak setuju saja. Yang penting becaknya dijaga jangan sampai rusak. Itu benda kenangan buat Bapak."

"Kenangan waktu dulu masih belum sekaya sekarang, Pak?"

"Lambemu kuwi," kata pak Sumaryoto sambil tertawa.

Naim pun tertawa. Hatinya lega karena modal pertama telah didapatkannya. Semangatnya semakin menggebu-gebu untuk memperkenalkan buku-buku bacaan kepada anak-anak karena hanya itulah yang dia bisa lakukan sekarang. Mudah-mudahan kelak lebih banyak lagi.

"Diminum dulu kopinya, Nak Naim," kata pak Sumaryoto mempersilakan.

Naim cengengesan lagi.

"Tanpa dipersilakan sudah habis dari tadi, Pak. Saya sruput langsung."

"Badhalah..dasar tamu lancang kamu!"

*****

Naim memarkirkan becaknya di ujung gang. Sudah dua minggu ini, setiap senin, rabu dan kamis dia mangkal di sana. Kebetulan tempatnya tidak begitu jauh dari rumahnya sehingga dia belum merasa apa yang dilakukannya itu melelahkannya. Mungkin minggu depan dia akan menjelajah daerah yang lebih jauh lagi.

Becak pak Sumaryoto telah dimodifikasinya sedemikian rupa sehingga mampu memuat banyak sekali buku-buku bacaan menyerupai lemari berjalan dengan rak-rak yang bersekat-sekat. Dibagian dasbor belakang, sebuah bendera bertuliskan "Taman Baca Mahanani" berkibar gagah ditiup angin.

Seorang anak berlari-lari kecil mendekat, melihat-lihat sebentar tetapi kemudian nampak kecewa. Tingkahnya itu tak luput dari perhatian Naim.

"Kenapa, Le?"

"Buku-bukunya belum diganti?"

"Sementara memang belum. Kenapa?"

"Saya sudah habis semuanya, Mas."

"Badhalah..tenane?"

"Tenan, Mas."

"Baru beberapa hari sudah habis dilahap semua? Hebat," kata Naim tak percaya.

"Iya, betul. Saya suka sekali membaca, Mas. Tapi karena saya ndak pernah punya uang jadinya ndak pernah bisa beli buku bacaan."

"Kamu pasti punya uang jajan. Kenapa ndak ditabung saja uang jajanmu itu? Hitung-hitung prihatin ndak jajan beberapa bulan, pasti bisa beli buku."

"Sudah pernah."

"Lha, terus?"

"Duitnya dipakai ibu."

"Haduh."

"Habisnya buku-buku begini kan mahal, Mas. Mendingan duitnya buat beli gas, bayar listrik atau belanja beras."

"Badhalah..pinter tenan omonganmu, dari mana kamu bisa ngomong begitu?"

"Itu ibu yang bilang, kok. Sudah ya, Mas. Kalau nanti sudah ada buku-buku yang lain, saya mau baca lagi," kata anak itu kemudian sambil berlari pergi.

Naim tercenung.

*****

"Maaf, untuk buku-buku yang mas minta, tidak bisa dibeli eceran. Lagipula pembeli tetapnya sudah ada dan minimal 500 eksemplar," kata pimpinan personalia sebuah perusahaan percetakan yang didatangi Naim.

Hari itu Naim memberanikan diri menemui orang itu untuk menanyakan kemungkinannya mendapatkan buku-buku sisa produksi yang tidak lolos klasifikasi untuk didistribusikan. Tapi apa daya, buku-buku yang dimaksudnya itu justru telah ada yang biasa menampungnya. Dia yang hanya bermodal uang beberapa ratus ribu saja hasil membobok celengan bebeknya tentu saja tidak mampu untuk membeli 500 eksemplar.

Jangkrik, pikir Naim. Sia-sia saja dia datang kemari. Dari mana dia bisa mendapatkan duit sebanyak itu?

"Barang 10 atau 20 buku saja, Pak. Masa ndak bisa? Ini ndak untuk saya jual lagi, kok. Ini untuk kepentingan anak-anak di daerah saya," kata Naim memelas, mencoba membujuk.

"Maaf, Mas. Kalau nanti saya perbolehkan, semua akan melakukan yang sama dan akhirnya malah kacau."

Masih berharap, Naim lalu menceritakan usaha yang sedang dirintisnya itu. Bagaimana bermanfaatnya semua yang dilakukannya itu dalam kerangka untuk meningkatkan minat membaca pada anak-anak sekaligus mencerdaskan mereka. Dia tidak tahu hasilnya akan bagaimana, tapi setidaknya apa yang dilakukannya itu demi anak-anak bangsa tanpa mempedulikan keuntungan pribadi.

Orang itu mengangguk-angguk.

"Betul-betul mulia hati Mas ini," katanya.

"Karena saya prihatin, Pak. Selagi saya mampu, saya tentu akan berusaha. Tapi kemampuan saya memang hanya sebatas itu."

"Sudah mencoba meminta dukungan pihak lain, sumbangan buku-buku bekas, misalnya?"

"Sudah, Pak. Tapi saya tidak tahu bakal disambut atau tidak. Mungkin urusan seperti ini tidak terlalu penting buat mereka, tapi bagi saya ini berarti banyak."

Orang itu mengangguk-angguk lagi.

"Kalau hanya buku-buku bekas, insya Allah saya pribadi punya, Mas. Kebetulan anak-anak saya juga hobi membaca dan mengoleksi buku yang sekarang justru terbengkalai di gudang. Mas boleh bawa semua kalau mau."

Naim bengong, tidak percaya pada pendengarannya.

"Serius, Pak?"

"Sangat serius, Mas. Kalau Mas mau, datang saja ke rumah," kata orang itu lagi sambil memberikan kartu namanya.

Naim tidak tahu, saat itu dia harus menangis atau berteriak kegirangan. Tapi yang jelas, hatinya mengucap syukur.

"Baik, Pak," katanya setelah terpukau beberapa lama memegang dan membaca kartu nama di tangannya, "saya pasti akan ke rumah Bapak membawa becak saya."

*****

Seminggu kemudian, Taman Baca Mahanani yang kali itu digelar di sebuah lahan kosong beberapa blok dari rumah Naim ramai sekali dengan pembaca anak-anak. Beberapa ibu-ibu yang menemani anak-anaknya pun turut membaca majalah wanita yang memang disediakan oleh Naim khusus untuk mereka.

Dengan bahagia, Naim duduk di kursi plastiknya sambil mengawasi mereka dari bawah bayang rindang pohon jambu. Di hadapannya, segelas kopi hitam pekat beraroma aduhai masih mengepulkan uap. Ngesti berdiri di dekatnya menutup termos berisi kopi yang baru dituangkannya.

"Mas Naim hebat, bukunya tambah banyak dan anak-anak jadi terlihat gembira," kata Ngesti, matanya melihat pada anak-anak yang berpencar mencari tempat dengan sebuah buku di tangan masing-masing. Entah kenapa, hatinya merasa kagum dan bangga pada Naim.

"Itu karena ada yang membantu, Nges. Aku sendiri ndak akan bisa berbuat banyak. Orang-orang itu termasuk bapakmulah yang hebat."

"Ah, Bapak cuma meminjamkan becaknya saja. Apa hebatnya?"

"Tetap hebat menurutku, karena...eh, beliau bisa punya anak secantik kamu."

"Ih, mas Naim. Gombal, ah!" sahut Ngesti. Pipinya semburat merah, tapi senyum tersungging di bibirnya.

Naim betah memandanginya sambil menyeruput kopi kental manis buatan gadis itu. Terasa tambah manis saja rasanya.

"Nanti sore Ngesti ndak ke mana-mana?"

"Kenapa, Mas?" tanya Ngesti, tapi ketika pandangan mereka beradu, gadis cantik itu menunduk dan tersipu malu.

"Mau ajak Ngesti jalan-jalan."

"Kemana?"

"Kemana saja."

Ngesti terdiam beberapa lama. Sementara mata Naim tajam menatapnya seperti menunggu jawaban. Lagi-lagi dia tidak mampu balas menatap mata pemuda itu dan menunduk. Tapi sebuah gerakan mengangguk yang kecil dan tidak terlalu jelas dari Ngesti karena sang pemilik anggukan itu memang benar-benar malu sudah cukup buat Naim.

Tiba-tiba dia meloncat dan berteriak dengan tangan terkepal:

"Yes!"

Anak-anak yang sedang membaca hampir semuanya menoleh dan memandangi mereka dengan pandangan ingin tahu, tapi Naim tidak peduli. Ditariknya tangan Ngesti dan bibirnya mendekat pada kuping gadis itu membisikkan sesuatu. Ngesti mengangguk-angguk sambil tersenyum.

"Ya," katanya, "Ngesti ndak keberatan kita jalan-jalan naik becak."

Ah, hari yang benar-benar indah buat Naim.

Cigugur, 1 Juli 2011

Note: Terinspirasi seorang kompasianer, penulis puisi yang handal, seorang yang penuh kepedulian dengan mendirikan Taman Baca "Mahanani"...sahabat saya, Naim Ali.

Gambar dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun