"Iya, Pak. Tapi itu nanti kalau rencana pertama saya ini sukses. Yang paling penting sekarang ini adalah menumbuhkan minat baca pada anak-anak karena mereka sekarang justru lebih suka nonton televisi atau main game di internet."
"Iya, betul juga," kata pak Sumaryoto manggut-manggut.
Naim menyeruput kopi buatan Ngesti. Nikmat betul, beda sekali rasanya kopi buatan tangan perawan cantik dengan kopi buatan tangan Mbah Atmo yang keriput pemilik warung pinggir jalan yang biasa ditongkronginya.
"Makanya, kalau Bapak mengijinkan, nanti saya perbaiki becak itu daripada jadi besi tua. Mungkin saya modifikasi sedikit biar bisa memuat banyak buku yang akan saya bawa berkeliling."
"Bagus, Nak Naim. Karena niatmu sangat mulia, Bapak setuju saja. Yang penting becaknya dijaga jangan sampai rusak. Itu benda kenangan buat Bapak."
"Kenangan waktu dulu masih belum sekaya sekarang, Pak?"
"Lambemu kuwi," kata pak Sumaryoto sambil tertawa.
Naim pun tertawa. Hatinya lega karena modal pertama telah didapatkannya. Semangatnya semakin menggebu-gebu untuk memperkenalkan buku-buku bacaan kepada anak-anak karena hanya itulah yang dia bisa lakukan sekarang. Mudah-mudahan kelak lebih banyak lagi.
"Diminum dulu kopinya, Nak Naim," kata pak Sumaryoto mempersilakan.
Naim cengengesan lagi.
"Tanpa dipersilakan sudah habis dari tadi, Pak. Saya sruput langsung."