Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Donat

2 Juni 2022   08:23 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:24 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin donat bermakna do or not, lakukan atau tidak lakukan, dan memakannya harus sampai menciptakan tekad bulat untuk do! atau not! Hanya ada dua pilihan. Karena itu donat umumnya berlubang, lubang dari bunyi “o” pada keduanya. Dan aku tak pernah yakin hingga sekarang bahwa ia makanan dari lidah-lidah berbahasa Inggris. Bahwa kemudian ia melejit di perkotaan sebagai makanan populer bergaya Barat, mungkin saja pada mulanya memang dari Barat. Yang jelas donat buatanku hanya donat dari pengalamanku sebagai seorang yang hampir gagal menembus hidup yang sempat tertutup.

Betapa, jika ingat bagaimana jadi pengusaha donat itu dimulai: semua berangkat dari salah kaprahku memandang guru donatku. Ia dulu kusangka guru yang “berbahaya”, yang haus pada “daging” anak-anak didiknya, yang kawin-cerai dengan beberapa orang terpandang di kota kami, yang materialistis, bahkan yang —mohon maaf— pelacur. Dulu kukira dia sangat jalang hingga kata “pelacur” pun masih belum tepat sebenarnya.

Waktu itu kelas satu SMP, dan aku lolos saringan kelas pilihan, satu-satunya anak lelaki yang lolos, hingga teman-temanku yang tidak lolos menakut-nakutiku suatu hari jadi bencong karena semua teman di kelasku adalah perempuan.

Kelas ini kelas D, paling dekat dengan Ruang Guru. Dan hanya kebetulan pada mulanya bahwa kelas “D” berarti “Kelas Donat”.

Begini guru hebatku itu bicara ketika pertama masuk kelas.

“Halo anak-anak Kelas D, Kelas Donat? Hanya di kelas ini ibu akan mengajarkan tataboga, tidak di kelas-kelas lainnya. Yang lain belajar keterampilan umum, di kelas ini, kita akan belajar seputar dapur. Suatu keterampilan khusus.” Lalu dia melirik ke arahku, “Dan kamu, akan jadi satu-satunya lulusan sekolah kita yang mengerti dunia perempuan, dunia dapur!”

Aku terdiam, teringat ibuku yang suka menghabiskan waktu di dapur. Benar juga dunia perempuan dalah dunia dapur.

“Tapi ingatlah, jarang sekali chef-chef ternama itu perempuan. Umumnya laki-laki. Ibu jamin kamu akan jadi chef ternama!” katanya. “Tak usah malu dieejek teman-temanmu yang tahu kamu belajar mengaduk tepung dan telur, memotong sayuran, juga… mencuci piring!”

Aku pun melamunkan ayahku yang tidak pernah mencuci piring dan terbayang ia akan kecewa jika ternyata aku lebih pandai mencuci piring daripada memecahkan soal-soal matematika. Ini kelas pilihan, mengapa juga harus belajar semua itu? Di awal pelajaran aku membatin dan menyesali mengikuti saringan dengan sungguh-sungguh.

Tidak kutahu bahwa ternyata sekolah kami ada perjanjian kerja sama (MoU) dengan SMK bidang tataboga dan kelas pilihanlah yang mendapatkan program persiapan itu. Aku tahu kemudian hari saja bahwa ada teman-teman sekelasku yang melanjutkan sekolah ke SMK tersebut tanpa melalui rangkaian tes yang panjang karena sudah berpengalaman dengan dapur di kelas kami. Beberapa dari temanku itu pernah pula juara lomba memasak antarpelajar.

Pertama-tama aku hanya pasrah, tapi sejak kelas pertama itu dimulai, perlahan-lahan aku mulai sangat jatuh cinta pada tataboga, terutama gurunya.

 Di hari pertama itu ia mengeluarkan sekantong penuh jeruk, apel, serta salak. Lalu tangannya yang lembut itu menunjukkan kepada kami bagaimana cara mengelupas kulit jeruk tanpa membuat sedikitpun kulitnya terlepas dan tercecer. Dia pun mengeluarkan pisau dan memutar buah apel sehingga kulit apel itu tidak terputus dari atas hingga bawah, kurang lebih satu meter kulit apel itu menjuntai dari tangannya hingga ke lantai. Dan pada saat ia membuka kulit salak dengan ajaib salak itu keluar bersih mulus sedangkan kulitnya tidak ada yang patah.

Aku memandang semua itu seperti adegan-adegan pesulap profesional dan makin terbukti ketika kami dibagi buah-buahan itu, tak seorang pun dari kami sanggup melakukan apa yang tadi ia lakukan. Jari tanganku malah terluka gores kulit salak, ada temanku yang matanya terkena semburan asam dari kulit jeruk, dan para pengelupas buah apel tak ada yang sanggup mengelupas lebih dari satu jengkal.

Semua gagal dan semua terpingkal-pingkal kesenangan menyadari semua itu tidak mudah. Pada kesempatan kedua kami masih juga gagal. Kesempatan ketiga gagal juga.

“Baiklah, mari lihat ke depan! Ibu akan lakukan lagi semuanya dengan pelan-pelan. Lihat salak ini, dia keras seperti kulit muka yang tak punya rasa malu!”

Kami pun tertawa-tawa.

“Tapi dia punya jiwa yang renyah, manis, dan bersih.”

Kami mendengarkan dengan tekun setiap kata yang dia lontarkan.

“Maka jagalah bagian jiwanya itu, jangan sampai kesakitan dan terkena kotor dari kulitnya sendiri. Kalian, anak-anak perempuan, suatu hari akan mengelupas salak suami kalian.” Matanya mendelik-delik menggoda anak-anak perempuan. Anak-anak perempuan pun tertawa-tawa tapi dengan serba-salah.

“Ya, itu benar. Kalian harus melakukan malam pertama kalian nanti dengan hati-hati. Jangan sampai kalian menjerit karena terluka!”

Kulihat wajah anak-anak perempuan berubah seakan dapat merasakan perihnya malam pertama.

“Kalian masih sangat muda, Ibu tahu, tapi ini memang tentang ilmu memahami kehidupan, bukan sekadar memahami buah salak. Dalam bahasa Sunda, kata ‘salak’ dekat bunyinya dengan ‘salaki’ yang berarti ‘suami’. Benar?”

“Benarrr!” anak-anak perempuan segera melepaskan ketegangan di wajah mereka dan terpingkal-pingkal tanda mengerti.

“Lakukan dengan mesra, seperti ini, dan…” dan terkelupaslah salak itu seperti yang ia lakukan di awal pelajaran. Sangat rapi, tanpa ceceran sampah.

“Selanjutnya mari kita kenali apel. Dalam bahasa Sunda kita mengenal kata ‘apél’, yaitu kunjungan anak cowok ke anak cewek di malam Minggu. Adakah yang pernah apél di sini, kamu?” dia melirik kepadaku. Teman-temanku menertawakanku. Aku pun kemalu-maluan dibuatnya.

“Jangan dulu, nanti kalau sudah kuliah ya!” Guru kami tersenyum menatapku, matanya nakal. Senyumnya seakan memaksa bibirku untuk tersenyum juga menatap masa depan: kuliah nanti! Ah, macam apa pula kuliah itu…

“Apel ini licin, seperti licinnya seorang lelaki di malam Minggu. Kelimis karena rambutnya diberi minyak dan disisir rapi. Wangi, karena memakai parfum. Hemm.”

Saat ia mengeluarkan pisau, ia mulai berkata “Cinta itu setajam pisau, salah melangkah, maka akan memutuskan kekasih kita dari kita sendiri. Lihatlah, jangan sampai mata pisau itu keluar jalur; fokus, harus fokus, sefokus mata cinta saat menatap cinta sejati.”

Luar biasa, dia tidak sekadar guru tataboga, dia terlihat sangat memahami urusan cinta sampai sedalam-dalamnya.

“Nah, kulit yang panjang ini, seperti cinta yang panjang, cinta yang tak kenal kata putus. Mengerti?”

“Mengertiii!” semua menyahut gembira.

“Dan apa artinya jeruk? Siapa bisa menjawab?”

Akulah yang menjawab: “Jeruk adalah buah yang kulitnya pahit.”

“Benar, Nak, kamu pintar. Hidup itu mengandung rasa pahit, bahkan beracun seperti cairan di kulit jeruk ini. Kena mata, maka pedihlah mata. Jangan sampai kita hidup sepahit kulit jeruk, dan jangan sampai pahitnya hidup membuat kita pedih dibuatnya.”

Gila! Gila! Aku terus memuji guruku itu.

“Jagalah jarak dengan kulit jeruk, arahkan semburan kulitnya ke luar sana, bukan ke muka kita sendiri, dan jagalah jarak dengan kepahitannya. Nah, kalau sudah terlepas, kita akan mendapatkan hidup yang manis.”

“Ada juga jeruk yang asam, Bu!” kataku makin berani.

“Benar, itu adalah jeruk yang jangan kamu makan kecuali kamu sedang ngidam!”

Terang saja semua temanku menertawakan aku karena mereka tahu aku kalah debat.

Di hari lainnya, ia datang dengan gerobak besi dipenuhi piring, gelas, garpu, dan sendok dari ruang guru. Mereka baru saja mengadakan parasmanan setelah rapat besar, dan beberapa bekas makannya didorong oleh guruku itu ke kelas kami. Lalu ia bertanya, benda apa yang seharusnya dicuci lebih awal, dan benda mana yang harus diakhirkan.

“Gelas, Bu!” jawabku.

“Piring!” jawab yang lain.

 “Tidak, yang harus diawalkan adalah benda mana yang mengandung ketajaman.”

Maka dikeluarkannya garpu-garpu dari berbagai barang yang menghimpitnya.

“Jika ada pisau, pisau harus lebih dahulu kalian cuci, baru garpu-garpu, sendok, pisin-pisin, piring-piring sedang, baru piring-piring besar. Jika ada piring retak, dahulukan juga. Hidup harus pandai menyingkirkan segala yang mengandung bahaya, dan memulai tahap berikutnya dari urutan yang sederhana, yang kecil-kecil sebelum menyelesaikan hal-hal besar. Mengerti?”

“Mengertiii!”

Luar biasa, bukan, guruku yang satu itu?

Bermacam sudah pelajaran yang kami terima, dan di satu hari sampailah kami pada pelajaran paling intim buatku. Ya, ini pelajaran buatku saja, karena hanya aku yang memiliki “jari”!

Inilah pelajaran membuat donat!

Tapi ada apa dengan “jari”?

Begini. Ketika kelompok-kelompok kecil mengaduk adonan donat itu, akulah satu-satunya yang tidak punya pasangan sehingga dengan dia sendirilah aku mengaduk adonan itu. Kami mengaduk adonan di meja paling belakang, berdiri berhadap-hadapan, dan pada bagian akhir pengadukan, dia menarik jari telunjuk kananku, meluruskan jariku itu dan mengatakan “Jangan sampai lemah, harus kuat, tegak, aduk, putar! Dan…”

Saat itulah dia menciptakan lubang kecil dengan jari-jari tangannya sendiri yang menggenggam sedikit adonan. Lalu jariku yang tegang tadi ditariknya masuk ke lubang tangannya itu. Suaranya mulai memelan dan berat: “Tekan, tekan, terus, terus, tancapkan, ya, kurang, tancapkan, ya…” Suaranya bagiku sangat hot, erotis. Entah benar entah tidak kejadian ini pernah kualami, tapi aku menderitakan kegelisahan yang parah sejak itu.

Saat aku menekan jariku hingga sangat dalam, dia berkata “Ah, luar biasa memang kamu! Benar, begitu, benar sekali,” sambil ia memegang erat jariku itu, “Seperti itulah cita-citamu harus ditancapkan hingga menciptakan lubang kehidupan!” Lalu dilepaskanlah jariku itu pelan-pelan dan badanku bergetar, jantungku bergeluduk-geluduk, dan kedua lututku seakan terkena siraman air es. Ya, entah benar entah tidak, aku hanya merasa itu semua terjadi tanpa tercampur khayalanku.

Suatu hari, kakak keduaku menikah dengan perempuan Sumatra, dan orang tua kami yang mau resepsi lagi di kampung kami di Bandung, disebutnya mulung mantu. Guru tatabogaku sangat dikenal hingga ke kampungku dan ibuku ingin sekali kakakku dirias olehnya. Ibuku beruntung, guruku itu sedang tidak ada job lain.

Sore itu ia datang ke rumah kami untuk memastikan segala sesuatunya. Saat aku datang menyalaminya, dia memelukku dengan erat seakan aku adalah anaknya sendiri yang sudah lama dia titipkan di pondok pesantren. Pelukan yang penuh rasa kangen hingga wajahku tenggelam di antara payudaranya itu. (Rasanya adegan ini tidak tercampur khayalan sama sekali). Dia pun mencium-cium kepalaku tanpa rasa sungkan dilihat ibuku dan seorang laki-laki yang mengantarnya ke rumah kami.

Laki-laki itu berdasi, tampak berwibawa, dan tersenyum senang melihatku dipelukan istrinya itu (sebentar, apakah benar dia suaminya? Saat itu aku tidak percaya, karena laki-laki tersebut jauh lebih tua).

Di hari resepsi kakakku, guruku datang diantar lelaki yang lain dengan mobil yang lain lagi pula, laki-laki yang berdasi pula, tampak makmur, dengan arloji yang mewah, sepatu yang menawan. Laki-laki ini kupikir tidak mungkin juga suaminya karena jauh lebih muda, mungkin seorang mahasiswa atau pengusaha muda.

Di hari-hari lain aku mulai gelisah dan kerap cemburu tiap kali melihat guruku itu dijemput mobil lain lagi dan laki-laki lain lagi ke sekolah. Cemburuku tambah parah ketika aku tahu dari anak-anak yang sok tahu bahwa dia adalah seorang janda, dan banyak guru tidak suka kepadanya karena terlalu glamor untuk ukuran guru.

“Janda?” batinku berkali-kali. “Jadi, semua laki-laki itu adalah pacar-pacarnya? Calon-calon suaminya? Mengapa berganti-ganti?”

Beberapa teman yang sok tahu sering juga menyebarkan desas-desus guruku itu doyan kawin, dan tak ada laki-laki yang dapat memuaskan dia. Ada juga yang mengatakan dia hanya akan kawin dengan lelaki kaya yang kalau sudah dia rampok kekayaannya maka dia akan cerai dari laki-laki itu.

Sampai-sampai aku merasa jijik dengannya, jijik pula dengan diriku karena sering teringat saat jari telunjukku ditekan-tekankan ke lubang kepalan tangannya itu, meski itu mungkin lebih banyak khayalanku saja. Sering aku berpikir bahwa ia sempat memancing hasrat daging mudaku, tapi lantas ia sadar aku belum punya uang untuk membayarnya.

Saat aku kelas dua, aku pun membenci tataboga sehingga memilih kelas keterampilan elektro, dan saat kelas tiga aku bergabung dengan kelas keterampilan komputer, tapi di rumah aku sebenarnya jadi senang membantu ibuku memasak atau beres-beres dapur. Setelah lulus aku pun masuk SMA terbaik di kota kami, tidak jadi ke SMK. Bertahun-tahun aku berusaha melupakan dia, sampai di satu masa aku daftar kuliah ke kampus terbaik di kota kami dan tidak lulus, dan benar-benar frustrasi. Hidup rasanya gelap, bagai adonan donat tanpa lubang.

Orang tuaku menyuruhku kuliah di kampus swasta, aku menolaknya, dan tidak yakin juga bisa lulus tahun berikutnya di kampus yang kuinginkan. Sampai kuputuskan untuk berdagang saja. Ya, aku berdagang pisau di Pasar Baru, dan bisa menabung dari usaha dagang. Kutolak segala keinginan kuliah itu. Aku sudah merasa gagal. Tak usah kusesali. Takdir harus kupilih sendiri. Dagang, hanya dagang.

Hampir dua tahun aku berdagang dan ibuku belum juga bosan menasehatiku untuk kuliah ke kampus swasta.

Aku tetap menolak.

“Biar aku jadi apa yang aku inginkan!” Meledak juga akhirnya kata-kataku di hadapan ibuku.

“Kamu anak yang berprestasi, sejak SD kamu selalu rangking satu. Sedangkan mereka yang pas-pasan saja bisa kuliah, mengapa kamu tidak?” Ibuku bisa juga marah, tak kalah keras suaranya.

Tiba-tiba ibuku bertanya pelan tapi memaksa: “Katakan terus terang, apa yang kamu inginkan?”

“Kawin!” kataku.

“Kawin? Edan kamu! Mau kamu kasih makan apa istri dan anak-anakmu? Mereka yang sarjana saja banyak yang susah hidup, kenapa kamu yakin sekali bisa hidup tanpa pernah kuliah!”

Aku menangis menatap ibuku yang berlalu meninggalkan aku. Aku tahu dia sudah sangat kesal menghadapi keputusasaanku, lebih-lebih mendengar keinginanku kawin.

Lalu entah mengapa wajah guru tatabogaku itu melintas, ia seakan datang sore itu dan mengukur tubuhku, bicara padaku tentang pakaian terbaik buatku jika mau jadi pengantin, hingga aku bertanya kepada bayang-bayangnya itu: “Siapakah yang harus kunikahi?” dan kuharap ia menjawab “Akulah, sebab akulah yang selalu kamu cintai!”

Tidak, bayang-bayang guruku itu berkata: “Nikahilah cita-citamu yang dulu kamu tancapkan di kelas D —Donat!”

Sambil masih meneteskan air mata, aku melangkah ke dapur, dan kuaduk tepung, telur, gula, sedikit garam, ragi, susu, margarin, dan jadilah adonan donat. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, tapi sadar pula bahwa kebiasaanku menyibukkan diri di dapur adalah pelarian semata. Air mataku makin menetes-netes lagi menyadari bahwa segalanya bermula dari kecemburuanku pada orang-orang yang ganti-berganti menjemput guruku itu. Aku cemburu, aku jatuh cinta padanya sejak kelas satu SMP!

Kulihat sendiri air mataku terus mengucur ke tanganku dan entah mengapa tiba-tiba aku dapat menikmatinya seakan menikmati hidup yang pahit sepahit kulit jeruk, menikmati perihnya takdir yang seakan tersayat kulit salak.

Tak tahu berapa lama aku menangis sambil mengaduk, hingga ibuku datang dan membantu menyiapkan loyang dan oven, mungkin dia kasihan melihatku yang tampak stres berat. Ibukulah yang melanjutkan adonan itu menjadi donat siap oven, yang ketika mulai matang ternyata mengeluarkan aroma yang tiada terkira dahsyatnya hingga habislah air mataku demi menyadari aku berhasil membuat donat dengan aroma terbaik.

“Enak banget!” ibuku membelalakkan kedua matanya. “Edan kamu itu!”

Lalu ia membuat video singkat mempromosikan donat itu, aku juga melakukan hal yang sama, dan sejak sore itu juga beberapa teman dan tetangga memesannya, membayarnya, dan beberapa pesan beberapa lagi untuk lain hari, begitu terus, begitu terus hingga kawan-kawan lamaku memesan juga melalui iklan-iklan yang kupasang di medsos, dan aku dapat menghitung dengan baik modal dan keuntungan yang kudapatkan, berlipat-lipat hingga beginilah sekarang: kubangun sebuah resto aneka Donat di tengah kota dengan merek dagang “Do/Not!” disertai gambar jari yang terkepal genggaman tangan yang tentu hanya aku yang tahu makna historisnya dan makna simboliknya.

Di manakah guruku itu sekarang? Dia masih ada dan  sering juga mampir ke restoku bersama ini dan itu, ganti berganti, hingga aku tahu bahwa dia memang dibutuhkan banyak orang dalam beragam urusan yang membutuhkan sentuhan kreatifnya. Dari percakapan mereka aku tahu guruku sering diminta membantu berbagai pesta. Dan apakah dia janda atau tidak, itu bukan urusanku. Kehidupan satu orang dengan satu yang lainnya selalu ada batas privasi yang tidak boleh saling dimasuki sesuka-sukanya. Seakrab apa pun dia kepadaku, aku kepadanya, tetap aku adalah muridnya sampai kapan pun.

Bahwa dulu aku berpikir dia juga menginginkan aku berhasrat kepadanya, itu pikiran kotorku belaka. Dia memintaku melakukan adukan-adukan yang tidak senonoh itu —jika semua itu tidak bercampur khayalanku— sebagai pendidikan simbolik yang mesti kukenang makna terdalamnya: tancapkan cita-citamu. Itu saja. Itu yang paling pokok. Tidak ada maksud dia menghantui pikiranku dengan kejorokkan hubungan guru dan murid, kecuali karena otakku saja yang bertahun-tahun sesudahnya selalu ngeres, menyampah, seperti kulit-kulit buah yang berlepasan tanpa aturan pengelupasan.

Menentukan hidup mau jadi apa, hanya satu kuncinya: do or not. Yakin saja dengan apa pun pilihan kamu seperti yang sudah kulakukan. Lanjut kuliah, bisnis, kawin, so what, bebas-bebas saja. Yang penting jangan menyampah dan jadi sampah, jangan pula berpikir kotor atau mengotori pikir. Mengerti? []

Serang, 2022

Cerpen-cerpen Arip Senjaya dimuat di berbagai media nasional dan di sejumlah buku antologi bersama seperti Hujan Klise (Kompas, 2018) dan Dokter Setengah Malaikat (basabasi.co, 2019). Kumpulan cerpen pertamanya Patung Kaki Kanan (2014).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun