Mohon tunggu...
Arip Senjaya
Arip Senjaya Mohon Tunggu... Dosen - Dosen, pengarang, peneliti

Pengarang buku, esai, dan karya sastra

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Donat

2 Juni 2022   08:23 Diperbarui: 2 Juni 2022   08:24 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kamu anak yang berprestasi, sejak SD kamu selalu rangking satu. Sedangkan mereka yang pas-pasan saja bisa kuliah, mengapa kamu tidak?” Ibuku bisa juga marah, tak kalah keras suaranya.

Tiba-tiba ibuku bertanya pelan tapi memaksa: “Katakan terus terang, apa yang kamu inginkan?”

“Kawin!” kataku.

“Kawin? Edan kamu! Mau kamu kasih makan apa istri dan anak-anakmu? Mereka yang sarjana saja banyak yang susah hidup, kenapa kamu yakin sekali bisa hidup tanpa pernah kuliah!”

Aku menangis menatap ibuku yang berlalu meninggalkan aku. Aku tahu dia sudah sangat kesal menghadapi keputusasaanku, lebih-lebih mendengar keinginanku kawin.

Lalu entah mengapa wajah guru tatabogaku itu melintas, ia seakan datang sore itu dan mengukur tubuhku, bicara padaku tentang pakaian terbaik buatku jika mau jadi pengantin, hingga aku bertanya kepada bayang-bayangnya itu: “Siapakah yang harus kunikahi?” dan kuharap ia menjawab “Akulah, sebab akulah yang selalu kamu cintai!”

Tidak, bayang-bayang guruku itu berkata: “Nikahilah cita-citamu yang dulu kamu tancapkan di kelas D —Donat!”

Sambil masih meneteskan air mata, aku melangkah ke dapur, dan kuaduk tepung, telur, gula, sedikit garam, ragi, susu, margarin, dan jadilah adonan donat. Entah mengapa hal itu bisa terjadi, tapi sadar pula bahwa kebiasaanku menyibukkan diri di dapur adalah pelarian semata. Air mataku makin menetes-netes lagi menyadari bahwa segalanya bermula dari kecemburuanku pada orang-orang yang ganti-berganti menjemput guruku itu. Aku cemburu, aku jatuh cinta padanya sejak kelas satu SMP!

Kulihat sendiri air mataku terus mengucur ke tanganku dan entah mengapa tiba-tiba aku dapat menikmatinya seakan menikmati hidup yang pahit sepahit kulit jeruk, menikmati perihnya takdir yang seakan tersayat kulit salak.

Tak tahu berapa lama aku menangis sambil mengaduk, hingga ibuku datang dan membantu menyiapkan loyang dan oven, mungkin dia kasihan melihatku yang tampak stres berat. Ibukulah yang melanjutkan adonan itu menjadi donat siap oven, yang ketika mulai matang ternyata mengeluarkan aroma yang tiada terkira dahsyatnya hingga habislah air mataku demi menyadari aku berhasil membuat donat dengan aroma terbaik.

“Enak banget!” ibuku membelalakkan kedua matanya. “Edan kamu itu!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun